Istri sholehah itu yang berbakti pada suaminya selama suaminya benar. Dia menjaga dirinya dan harta suaminya saat suaminya tidak ada. Yang menjadi penyejuk di setiap saat, menjadi bidadari yang mampu menciptakan surga di rumahnya. Menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya.
Istri yang membuat suami selalu merindukan rumahnya. Istri yang membuat keluarganya betah di rumah. Istri yang selalu mendukung suaminya beramar ma'ruf nahi mungkar.
Aku mengingat semua pesan ibu sebelum aku menikah. Entah mengapa air mataku kembali mengalir. Aku belum melakukan semua pesan ibu. Aku belum bisa menjadi istri sholehah. Tapi bagaimana aku bisa menjadi istri sholehah jika aku tak bisa mencintai suamiku. Dan bagaimana aku bisa mencintainya jika ia tak mencintaiku. Dia lebih mencintai pekerjaannnya daripada istrinya.
Kembali aku menyalahkan ayah atas kekecewaan ini. Ingin rasanya aku mengadu sama ayah agar beliau tahu bahwa anaknya tak bahagia. Namun bukankah ketika sudah menikah, orangtua sebaiknya tak tahu masalah rumah tangga anaknya? Selain itu, jika ayah tahu aku tertekan karena pernikahan ini, pasti ia kepikiran dan tensi darahnya naik lagi. Aku tak mau itu terjadi. Bisa-bisa beliau stroke beneran. Naudzubillah.
"Assalamualaikum," suara Radit terdengar dari depan pintu.
"Wa'alaikumussalam," jawabku pelan dari dalam kamar. Sekedar penggugur kewajiban menjawab salam. Tak ada niat bagiku untuk membukakan pintu. Pintunya tak dikunci dan dia biasa membuka sendiri jika pulang larut karena dia bawa kunci serep.
Aku merasa tak perlu keluar kamar. Semua keperluannya sudah kusiapkan. Air hangat untuk mandi, secangkir teh hangat juga makanan untuk makan malam (kalau dia belum makan). Biarpun aku marah dan kecewa tapi tetap saja hal-hal yang demikian tak kulalaikan.
Kupasang telinga baik-baik. Tak terdengar suara orang masuk rumah. Jangan-jangan tamu? Tapi dari suaranya itu Raditya. Kutunggu lagi. Masih kudengar suara salam dari luar.
Aku bergegas keluar kamar. Niatku mau mengurung diri di kamar gagal. Entah siapa yang bertamu malam-malam begini. Kuintip keluar dari balik gorden jendela. Iyalah, kalau orang jahat bagaimana. Tapi yang kulihat adalah Raditya di sana. Ngapain dia berdiri di depan pintu bukannya masuk. Bikin tambah sebel aja.
"Assalamu'alaikum, Fa. Aku pulang."
"Wa'alaikumussalam," jawabku sekali lagi dengan lirih. Udah tahu kalau dia pulang. Aku mau beranjak meninggalkannya. Biar saja dia di sana kalau tak mau masuk. Toh sebenarnya dia bisa masuk.
"Fa, aku tahu kamu berada di balik pintu ini. Aku ngga akan masuk jika kamu ngga mengizinkanku masuk." Ucapnya membuat langkahku terhenti. Tanganku mengepal. Ada gejolak di hatiku, apakah aku menjawabnya atau membiarkannya.
"Fa?" Panggilnya lagi. Kali ini air mataku meleleh akibat menahan amarah yang sangat. Dan aku membenci air mata yang tak dapat kubendung ini.
"Ini kan rumahmu, jadi tak perlu izinku untuk masuk. Lagipula pintu itu tak dikunci kok, kamu bisa membukanya sendiri." Aku tak tahan untuk tak menjawab.
"Fa, aku minta maaf. Aku akan jelaskan semuanya."
"Apa yang perlu dijelasin? Mas, aku tahu kamu capek pulang dari kerja. Aku juga capek menunggumu tanpa kepastian, jadi sebaiknya kita istirahat saja. Tak usah bahas apapun." Sahutku dengan suara serak. Aku semakin membenci diriku yang tak bisa menahan diri.
"Aku akan tetap di sini sampai kamu maafin aku. Kalau kamu sudah maafin aku, tolong bukakan pintu untukku."
Egois. Manja. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri. Tak peduli denganku, dengan perasaanku. Mungkin karena ia tak pernah tinggal dengan keluarga lain atau karena seluruh hidupnya hanya untuk kerja. Bagaimana bisa aku merelakan sisa hidupku bersama robot pekerja seperti dia.
Aku membalikkan badan dan membuka pintu. Bukan karena aku memaafkannya tapi karena ini kekanak-kanakan. Aku lelah dengan permainan ini.
"Kamu memaafkan aku?"tanya Radit dengan tatapan berbinar namun wajahnya entah apakah merasa bersalah atau tidak.
"Pikirkan saja sendiri."sahutku ketus. Ya Allah, maafkan aku karena telah bersikap seperti ini pada suami.
Aku berbalik hendak meninggalkannya namun tiba-tiba dia menarikku dan memelukku erat. Membuat perasaanku campur aduk. Jantungku yang dari tadi berdegup kencang lantaran marah, kini semakin tak karuan karena hal lain. Ini kontak fisik pertama kami.
"App...appa yang kamu lakukan??" Tanyaku sedikit terbata.
"Maafkan aku. Tolong dengarkan aku." Jawabnya dengan suara bergetar. Aku terdiam sesaat. Tapi aku tak semurah itu.
"Lepaskan aku!" Ucapku dingin. Tak pernah aku mengeluarkan kata-kata sedingin ini. Radit sepertinya juga merasakannya. " Kita punya perjanjian kan? Tidak ada kontak fisik sampai kita saling menyukai."
"Aku tak peduli. Aku akan melepaskanmu jika kamu memaafkan aku," sahutnya mengabaikan dinginnya ucapanku. Aku mencoba melepaskan diri namun dekapannya semakin erat.
"Mas, lepasin!!!! Kamu baru pulang, bau keringat!!!" Aku meronta.
"Biar saja. Makanya dengerin penjelasanku. Oke, jahat jika aku memintamu memaafkan aku." Itu tahu kalau dirinya jahat, " Dengerin penjelasanku setelah itu terserah kamu mau maafin atau tidak."
"Kamu mandi dulu, kita bicara nanti." Ucapku masih dingin. Sepertinya Radit merasa tak bisa membujukku dengan cara ini. Dia melepaskan dekapannya. Membuatku bernapas lega karena tadi napasku terus memburu.
"Kamu sudah makan? Aku bawakan sate kambing." Tanyanya seraya menyodorkan kantong plastik beraroma menggoda. Mau menyogokku rupanya.
Aku ingin jual mahal dengan mengatakan tak mau atau sudah makan tapi perutku tak bisa diajak kompromi. Baru digoda sebungkus sate saja sudah keroncongan. Aku menahan perutku malu. Marah memang menguras energi dan bikin lapar. Radit tersenyum menggoda membuatku ingin menusuknya dengan tusukan sate. Walaahh..kok kejam banget diriku.
.
.
.
.
Aku dan Radit duduk berhadapan di meja makan. Dalam jarak aman jika nanti ada piring atau gelas melayang. Dia sudah selesai mandi."Kita makan dulu, nanti baru kita bicarakan." Ucap Radit. Katanya pengen jelasin tapi kesannya kok mengulur waktu." Aku tak mau merusak selera makanmu."
Usai makan kami kembali hening. Saat makan pun kami hening. Dia tak segera memulai pembicaraan. Dalam hati aku menghitung, dalam hitungan kesepuluh dia tak juga bersuara maka kutinggalkan saja dia. Aku tak mau dengar apapun darinya.
"Maaf," Kata itu keluar saat hitunganku sampai kesembilan. Aku tak menyahut. Rasanya kata maaf saja tak cukup. "Tadi jam 3 pekerjaanku sudah selesai. Tapi tiba-tiba ada undangan bertemu klien. Kupikir masih ada waktu sejam sambil nunggu kamu. Tapi acaranya molor, klien kami datang pukul 4. Pukul 5 baru selesai. Aku bergegas menemuimu tapi sampai sana kamu sudah tidak ada."
"Bohong! Aku menunggu di sana sampai maghrib dan tak kulihat kamu datang."
"Motorku mogok saat perjalanan kembali ke bioskop." Jawabnya lirih seolah tak ingin mengatakan itu. Mungkin jika kondisinya tak seperti ini aku akan khawatir dan panik, dan ingin tahu kronologi kejadiannya. Namun kali ini aku justru menyangsikan kebenaran ceritanya.
"Terserah lah. Kuharap ini yang pertama dan terakhir kalinya." Ucapku mengakhiri diplomasi. Kubereskan meja makan dan beranjak untuk sholat isya'.
Mungkin dia merasa bersalah namun dia sama sekali tak berusaha memperbaiki keadaan. Statis saja. Bahkan selepas isya' pun dia malah sibuk dengan pekerjaannya. Apa benar dia menyesal?
🍂🍂🍂🍂
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
General FictionKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...