sayangnya bukan kamu.

1.3K 104 4
                                    

Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui fakta bahwa kamu adalah cinta pertama seseorang yang telah tersimpan belasan tahun lalu? Dan seseorang itu ternyata adalah suamimu? Pasti berjuta rasanya. Serasa diguyur hujan kelopak bunga sakura. Oooohhhh...indahnya.... Bahkan jika itu bohong, aku tak ingin mengetahui kebenarannya.

Ada rasa nyaman dan hangat di benak. Hangat dan berdetak-detak. Berdetak? Aku membuka mata cepat. Tubuhku kaku mendapati kondisi aku  tertidur memeluk tubuh Radit. Aku bahkan berbantal dada kirinya sehingga kudengar detak jantungnya. Tak kuperhatikan apakah detakannya teratur atau tidak karena detak jantungku sendiri ritmenya amburadul.

Aku berharap si empunya badan masih terlelap nyaman sehingga aku tidak malu melihatnya. Kutarik tubuhku perlahan agar tak mengusiknya. Kugeser tubuhku pelan-pelan tanpa melihat mukanya. Tak sanggup aku menahan malu ini. Aku langsung memutar tubuh membelakanginya.

Aku siap mengambil langkah superjet namun tiba-tiba tanganku ditahan. Aku kembali membeku. Dia sudah bangun? Dia tahu apa yang kulakukan?

"Kenapa buru-buru?" Tanyanya berat seraya menegakkan tubuh untuk  duduk. Aku masih tak sanggup menoleh.

"Aku harus sholat shubuh. Kamu juga harus segera ke masjid." Jawabku grogi. Dia menguap.

"Ini baru jam 03.00 pagi. Kamu mau sholat shubuh?"

Aku memutar leher mencari letak jam dinding. Ah iya, ketahuan banget kalau aku grogi. Kenapa seperti ini...???

"Aku mau tahajud dulu." Sahutku lagi. Dia melonggarkan pegangannya pada lenganku. Alhamdulillah. Sepertinya dia tak menyadari apa yang terjadi. Dia juga belum bangun tadi.

"Tapi kenapa kamu membelakangiku?" Tanyanya lagi. Tenang, Fa. Dia tak tahu betapa konyolnya kamu tadi. Aku memutar tubuh menghadap ke arahnya. Seraya tersenyum sok manis.

"Ngga papa."

"Oh, kirain kamu malu sudah tidur di atas dadaku." Aku melotot. Apaaaa??? Dia sadar? Buru-buru aku keluar kamar saking malunya. Duh Gusti, mau ditaruh di mana mukaku iniiiiii????
.
.
.
.
.
Akibat insiden (menurutku) tadi pagi, kami terjebak dalam situasi canggung. Kami sarapan dalam diam, sesekali kami kepergok saling mencuri pandang. Membuat situasi semakin canggung.

Dia punya banyak senjata untuk mengintimidasiku namun tak ia keluarkan. Mungkin mengingat fakta bahwa aku adalah cinta pertamanya telah membuatnya merasa terintimidasi terlebih dahulu. Cinta pertama? Aku selalu ingin tersenyum jika mengingatnya.

"Kenapa kamu tersenyum? Kamu ingat kejadian tadi pagi?" Tanya Radit sebelum beranjak dari meja makan. Senyumku tenggelam seketika. Wajahku memerah lagi.

"Ngga. Cuma pengen senyum aja." Jawabku sekenanya.

"Aku sudah menceritakan masa laluku. Nanti giliran kamu yang cerita. Tapi masa sih kamu ngga pernah lihat aku? Aku ketua osis lho?"

"Aku ingat-ingat dulu ya. Soalnya memoriku hanya mengingat yang indah-indah." Sahutku. Radit menatap sebal ke arahku. Apalagi melihatku cengengesan.

"Aku dulu terkenal. Sekarang pun masih populer. Kamu aja mungkin yang kuper."

"Eeeeiittt!?" Perang akan pecah jika saja Radit tidak melarikan diri untuk bersiap. Apa? Kuper? Enak aja. Masa istri sendiri dibilang kuper sih.

"Nanti aku lembur. Mungkin jam 7 sampai rumah." Pamitnya kala mau berangkat. Kucium punggung tangannya dengan senyum yang dipaksakan. Lembur? Bagaikan makanan pokok baginya.

"Aku berangkat ya, assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

"Oh,iya. Kamu cantik kalau senyum." Ucapnya sebelum melajukan motor, meninggalkan seberkas senyuman di antara kedua pipi ku yang semakin merona untuk kesekian kalinya di pagi ini. Aku merasa butuh es batu untuk mendinginkannya.

Mr. WorkaholicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang