Thank you readers yang sudah baca 'n tekan bintang⭐
Episode kali ini kita kembali ke sudut pandang Shafa ya... Jangan bingung.
__________________________________________________
Sepulang kerja, Radit mengajakku bicara. Wajahnya sumringah bak mentari di siang hari. Apa gerangan yang membuatnya bersemangat?
"Fa, akhir pekan kamu ada acara?"
"Em, ngga deh kayanya. Ada apa?"
"Ikut family gathering kantor ya." Aku mengerutkan kening. Aku tidak kenal teman-teman Radit. Dan family gathering kantor? Yakin Radit tidak membicarakan kerjaan dengan rekannya? Aku nanti dikacangin dong. Tapi bukankah ada Serena di sana?
Ah, Serena lagi, Serena lagi. Aku benci pada diriku yang su'udzan dengannya. Mengapa aku merasa tersaingi olehnya?
"Boleh."
Radit tersenyum. Dia memang lebih banyak senyum akhir-akhir ini. Meskipun bukan berarti dia punya lebih banyak waktu untukku. Waktunya tetap buat kerja yang utama.
Family gathering kantor Radit dilaksanakan di puncak pada Sabtu pagi. Jadwalnya mereka akan menginap semalam dan akan pulang Minggu siang. Acara ini diikuti oleh karyawan se divisi dengan Radit. Divisi pemasaran.
Sabtu pagi jam 08.00, semua karyawan beserta keluarganya telah standby di lobi kantor. Aku sempat menyapa beberapa teman Radit dan keluarganya. Radit termasuk atasan di sini jadi kuputuskan untuk bersikap ramah untuk menjaga nama baiknya. Lagipula aku juga butuh teman ngobrol selama dua hari ke depan. Karena tak mungkin Radit akan membersamaiku sepanjang waktu.
Sekilas kulihat Serena. Dia cantik seperti biasa. Dia datang bersama putrinya yang berusia sekitar tiga tahunan. Cantik seperti ibunya. Aku jadi membayangkan betapa harmonisnya keluarga itu seharusnya. Ibu cantik, anak cantik, ayah ganteng. Pasti seandainya saat ini mereka masih lengkap, orang-orang di kantor ini akan iri pada mereka. Siapa sangka kesempurnaan fisik ternyata bukan jaminan kebahagiaan seseorang.
"Ehm, lagi lihatin apa sih?" Tiba-tiba Radit berdehem di dekatku. Dia telah kembali dari menyapa seluruh karyawannya. Rumornya Radit itu dingin dan cuek. Tapi faktanya kulihat sendiri dia itu ramah pada semua orang. Bahkan pada anak kecil. Mungkin yang dimaksud dingin dan cuek menurut rumor itu adalah dia yang terkesan sopan dan menjaga jarak terhadap perempuan. Ah, salut aku sama dia.
"Kasihan ya anaknya Serena dan Mas Vano. Anak sekecil itu jadi korban perceraian orangtuanya. coba kalau saat ini mereka masih lengkap. Pasti jadi pasangan paling serasi." Jawabku pelan. Radit menaikkan alis kanannya tanda dia akan menyanggah ucapanku.
"Kamu kira kita ngga serasi?" Tanyanya lagi. Aku berpikir sejenak kemudian menggeleng. Dia menghela napas sejenak.
"Aku itu heran kenapa wanita selalu insecure pada dirinya. Tidak pede. Selalu menganggap orang lain lebih baik darinya. Menganggap orang lain lebih sempurna." Sambungnya. Aku sedikit tercubit. "Mungkin itu sebabnya banyak wanita yang merelakan puluhan juta rupiah demi perawatan tubuh..."
"Tapi aku tidak begitu." Tukasku cepat. Iyalah. Aku kan ngga pernah skincare-ran. Paling cuci muka pake pelembab lalu bedak, sudah.
"Iya, aku ralat. Kecuali kamu." Ucapnya sembari mengerling. "Tapi sebagian besar begitu. Sebenarnya bukan itu yang mau aku sampaikan. Kebanyakan wanita merasa tak aman dengan apa yang dimilikinya. Menganggap kehidupan orang lain itu lebih sempurna. Padahal orang lain melihatnya lebih dari sempurna. Kata orang Jawa, urip ki sawang sinawang. Sesekali jangan hanya lihat ke atas, lihat pula ke bawah."
"Simpulannya?" Maaf, otak celeronku kadang tidak mengerti apa yang tersirat dalam ucapannya. Dia mengacak-acak kepalaku. Untung pakai jilbab kalau tidak, pasti sudah awut-awutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
General FictionKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...