Raditya Kusuma, dia bekerja sebagai manajer pemasaran di perusahaan tekstil. Perusahaan yang sama dengan tempat ayahku bekerja. Ya, ayahku kerja di sana juga. Sebagai Manajer Produksi. Meskipun di bidang berbeda, tapi beliau sering bertemu dengan Raditya di mushola kantor saat sholat. Atau sering bersama di masjid dekat kantor saat sholat jum'at. Jadi di sanalah tumbuh rasa cinta ayah pada Raditya.
Raditya mungkin telah mempersembahkan seluruh hidupnya untuk perusahaan. Ia hampir tak punya waktu libur. Bahkan hari libur pun ia tetap kerja. Ada even-even yang diselenggarakan pada hari libur. Cuti menikah saja hanya 3 hari. Sementara aku seminggu full.
Raditya adalah seorang piatu. Ibunya telah meninggal sejak ia SMP, kemudian ayahnya menikah lagi. Saudaranya hanya satu. Seorang kakak perempuan yang saat ini telah menikah dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Ia tinggal di Bandung bersama suaminya.
Raditya adalah seorang pekerja keras. Ia berkomitmen punya rumah sendiri sebelum menikah. Dan benar, rumah yang ia tinggali yang hanya menjadi rest area baginya ini adalah rumahnya sendiri. Meskipun pembangunannya secara bertahap dan saat ini belum sempurna benar.
Suatu ketika, ini cerita versi ayahku. Ayah sedang duduk-duduk di teras mushola setelah sholat maghrib. Masih ada sedikit waktu untuk istirahat sebelum kerja kembali. Raditya keluar dari mushola dan duduk di dekatnya untuk mengenakan sepatunya kembali. Mereka awalnya berbasa-basi, tanya lembur sampai jam berapa.
"Mas Radit ini di rumah sendirian no?" Tanya ayah menggoda.
"Iya,Pak. Makanya betah di kantor." Jawab Radit iseng.
"Makanya cari istri. Menikah. Biar ada temennya, ada yang ngurus rumah." Sahut ayah (mulai modus ini).
"Belum ada yang mau,Pak." Sahut Radit malu-malu.
"Lha pacarnya?"
"Tidak punya pacar Pak. Waktu saya sibuk buat kerja, tak ada waktu buat kencan. Lagipula saya tidak suka pacaran. Pengennya kenal langsung nikah."
"Kamu itu kaya putri sulung saya. Dia juga ga mau pacaran. Suruh nikah juga nanti-nanti. Padahal usianya sudah 27." Dalam hati sebel juga waktu dengar ayah cerita. Masak
beliau singgung soal umur sih."Kerja apa Pak?"
"Guru SD."
"PNS?"
"Belum. Tapi sudah GTY. Dia ngajar di sana setelah lulus kuliah."
"Tidak pacaran Pak?"
"Tidak. Dulu saya selalu nasehatin biar ngga pacaran dulu. Eh,nurut. Tapi sampai sekarang ngga ada laki-laki yang dikenalin ke saya. Ibunya senewen. Khawatir kalau anaknya telat nikah. Tapi anaknya santai saja. Katanya jodoh itu urusan Allah. Ngga akan kemana kalau sudah datang waktunya. Bener juga sih. Saya dulu ngga perlu nyari repot-repot, nongol juga jodohnya." Jawab ayah panjang lebar, membuat Raditya terkekeh.
"Wanita seperti apa yang Mas Radit cari?" Tanya ayah disambut tatapan aneh Raditya.
"Tidak muluk-muluk Pak. Yang penting sholehah. Mau menerima kondisi saya, juga mengerti kesibukan saya."
"Sudah siap nikah?"
"Kalau ditanya siap apa tidak, jawabnya ya tidak siap Pak. Tapi siap tidak siap, nikah itu kan mencontoh sunnah. Masa iya melajang terus."
"Bapak lihat kamu lelaki yang bertanggung jawab. Kenapa tidak ada yang dekat?"
"Kenalan wanita saya sedikit Pak. Biarpun sering berinteraksi dengan orang banyak tapi saya tidak bisa langsung akrab dengan mereka. Lagipula yang selama ini saya temui belum ada yang sreg dengan hati."
"Kamu mau saya kenalkan dengan putri saya?" Tanya Ayah langsung start. Tak mau buang tempo lama-lama buat berbasa-basi. Anak baik, sayang kalau dilewatin. Begitu pikir ayah setengah licik.
Pipi Radit tiba-tiba merona dengan pertanyaan langsung dari ayah. Ia menggaruk kepalanya ragu. Si bapak, cari kesempatan dalam kesempitan.
"Apa putri bapak mau?"
"Mau atau tidak itu urusan belakang. Nanti jodoh atau tidak, lanjut atau tidak, itu keputusan kalian. Kalau belum kenal kan ngga tau apa-apa."
"Eemmm..."Radit grogi berat. Baru kali ini ia ditawari kenalan dengan wanita oleh ayah si wanita langsung. Mau nolak, pekewuh. Mau nerima, malu dan gengsi dikit lah.
"Tidak usah dijawab sekarang. Pikirkan saja dulu! Ini waktu istirahat sudah habis. Kalau mau, nanti atau kapan-kapan kita bisa ngobrol lebih banyak di waktu yang longgar."
Ayah berdiri dan meninggalkan Raditya yang masih shock terapi. Mungkin lumrah bagi laki-laki pada umumnya. Tapi tak lumrah jika itu pada Radit yang introvert, pemalu dan lugu.
Raditya bukan tipe laki-laki yang menghabiskan malam minggu buat nongkrong. Juga bukan laki-laki yang suka touring saat liburan. Kalau ada waktu libur, ia gunakan untuk istirahat. Benar-benar istirahat, atau mengikuti kajian keagamaan di masjid sekitar rumahnya. Waktunya sangat berharga, sayang jika harus habis untuk hal-hal yang menurutnya kurang produktif.
🍃🍃🍃🍃
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Workaholic
General FictionKetika hidupmu terikat oleh ikatan yang tak kamu inginkan. Mengubah benci menjadi cinta, ambisi menjadi pengertian "Buat dia mencintaimu," pesan ayah kepada Raditya, si robot pekerja. Lalu... Lalu silakan dibaca,.😊😊 Alur cerita ringan tanpa drama...