19 ; confuse

521 80 5
                                    

"Minum dulu cy, biar tenang."

Lucy saat ini sedang duduk di sebuah kafe kecil yang tak jauh dari rumah makan tadi, ditemani seorang pria yang tadi telah mengulurkan tangannya dan mengucapkan kalimat hangat kepada dirinya.

Ia adalah Chani, pria yang sudah dua kali memergoki Lucy saat gadis itu sedang sedih dan menangis.

"Gue udah denger semuanya tadi." ucap Chani membuka obrolan diantara mereka.

"Nggaa, gue ga nguping kok. Cuma kebetulan denger aja, soalnya tadi keluarga gue juga makan disana dan meja kita ngga jauh dari meja lo." lanjut Chani lagi setelah Lucy menoleh sembari memandangnya bingung. "Gue liat, lo kayak ngga akrab gitu ya cy sama bokap lo?"

"Chan, lo ada powerbank?"

Balasan Lucy membuat Chani mendengus pelan. Chani kira, Lucy akan menceritakan kejadian tidak mengenakkan tadi kepada dirinya, atau paling tidak, menjawab pertanyaan Chani tentang hubungannya dengan sang ayah. Bila diringkas, menjadi orang terpercaya Lucy intinya.

Nyatanya, ia tidak se-spesial itu bagi Lucy.

"Ngga bawa gue, hape lo abis baterainya?" tanya Chani, yang dijawab Lucy dengan anggukkan kepala.

"Hhmmm... Chan, boleh pinjem hape? Gue mau telepon san—"

"Sorry cy, hape gue ketinggalan di rumah."

Lucy mendengus, memperhatikan ponselnya sambil berharap agar ada keajaiban dari langit yang membuat baterai ponselnya terisi walau hanya sedikit.

Segelas chrysanthemum hangat yang telah Chani pesan untuknya ia biarkan begitu saja dari tadi. Otaknya penuh. Terlalu banyak masalah yang berputar di pikirannya.

"Cy? Minum dulu tehnya, keburu dingin." ucap Chani lagi, membuat Lucy akhirnya meminum santapan hangat yang berada tepat di hadapannya itu.

"Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, tenang aja. Tuhan ngasih lo masalah kayak gini, soalnya Dia yakin, kalo lo bisa ngehadepin masalah itu. Lo cewek kuat cy." Chani mencoba menenangkan hati Lucy dengan ucapan panjang lebar. Mungkin perkataannya barusan adalah perkataan terpanjang yang pernah ia ucapkan seumur hidupnya, mengingat sifat cuek dan dingin yang Chani miliki.

Lucy menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. "Thanks chan."

"Yuk gue anter pulang cy, udah malem, takutnya bokap lo nyariin."

Lucy lantas mendongakkan kepalanya , melihat kearah sebuah jam berwarna pastel yang terletak di dinding kafe.

Benar kata Chani, jam sudah menunjukkan pukul 9 malam. Memang belum seberapa larut, namun sedari dulu gadis itu tidak pernah pulang lebih dari jam 8 malam.

Sayangnya, tak semua perkataan Chani yang barusan benar. Bagian "bokap lo nyariin" terdengar lucu dan asing di telinga Lucy.

Lucy mengangguk, menyetujui tawaran Chani untuk mengantarnya pulang. Tidak, Lucy pulang bukan karena ucapan Chani yang mengatakan bahwa ayahnya akan mencari dirinya bila ia tidak segera pulang. Bahkan sebuah panggilan telepon darinya saja jarang diangkat oleh sang ayah.

Sanha. Pria itu menjadi alasan utama Lucy untuk segera pulang. Di rumah, ia bisa mengisi daya ponselnya, menghubungi Sanha, lalu menceritakan segala kejadian yang ia hadapi barusan kepada pria yang baru 1 minggu menjadi kekasihnya itu.

"Cy, gue suka sama lo."

Ucapan tiba-tiba yang keluar dari mulut Chani membuat Lucy membulatkan matanya. Pandangan Lucy yang tadinya tenggelam dalam gelapnya langit malam, kini beralih menatap Chani.

Heterochromia Irridium || Yoon SanhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang