Jaehyun menguatkan diri. Ia menatap Jihoon, saling membagi momen tanpa suara mengenai rasa peduli pada orang yang sama, hingga pria itu akhirnya membuka kuncian pintu.
Mereka melangkah masuk secara perlahan. Keheningan ruang lantas melemahkan mereka.
Jihoon menemukan Ny. Lee di tengah dapur, sedang bersih-bersih. Wanita itu mendongak dan menatapnya dalam keterkejutan dan amarah. "Kau. Aku ingat kau."
"Aku ingat kau juga. Aku ingat kau membuat Taeyong sakit. Aku ingat betapa dia sangat butuh perlindungan. Sudah waktunya kau pergi."
Si wanita berdiri tegak. "Tidak akan. Dia putraku dan aku kembali untuk merawatnya. Dia tidak baik-baik saja. Dia butuh aku."
Jihoon sontak dilingkupi amarah, kesedihan dan rasa simpati pada wanita itu, tetapi wanita itu tetap harus pergi. "Benar. Dan sudah waktunya untuk pergi."
Jihoon meraih lengannya, tetapi si wanita segera menepisnya. "Kalau Taeyong menyuruhku pergi, aku akan pergi, tapi dia tidak mau aku pergi. Dia butuh aku dan dia tahu itu." Matanya mengilatkan kegilaan dalam diri.
:::
Jaehyun tahu di mana harus menemukan si lelaki rapuh; Taeyong itu, dan ia benar. Ia menemukan si lelaki meringkuk dan membentuk sebuah gumpalan di tengah ranjang. Jaehyun berlari ke arahnya, ingin memeluk, merengkuh dan tak akan melepaskan. Namun ia tahu itu tidak akan berhasil. Mereka harus kembali memulai dari awal. Ia lantas duduk di ujung ranjang dan secara perlahan menyingkap selimut. Dengan serta merta, kesedihan mengisi dirinya.
Taeyong benar-benar rapuh, bagai boneka yang hancur. Wajahnya kurus dan lelah, tangan-tangannya berdarah, begitu pula bibir yang digigit secara terus menerus. Rambutnya tampak berantakan dengan satu titik yang membotak. Jaehyun menghirup udara sebanyak mungkin. Ia ingin berteriak, menangis, berlari ke luar menuju dapur dan menendang monster itu dari sini, tetapi ia berakhir fokus pada Taeyong.
"Hai, baby bird." Ia membungkuk perlahan.
Membutuhkan waktu beberapa lama agar mata Taeyong dapat menyesuaikan pandang, sebelum akhirnya membelalak panik. "Kau harus pergi," ia mendesis pelan. "Dia akan menghancurkanmu. Dia akan menyiksamu." Air mata jatuh mengaliri pipinya.
Jaehyun melihat luka segar di sudut mata Taeyong sebab goresan kuku dari si pemilik sendiri. Ia meraih tangan lelaki itu dan menatapnya tepat di mata. "Tidak akan. Aku tidak takut padanya dan kau pun juga. Sekarang bangun."
Taeyong menolak, tetapi Jaehyun lebih kuat. Pemuda itu menariknya bangun.
"Ingat. Ingat semua waktu yang telah kau gunakan untuk menjadi kuat. Ingatlah toko buku, kedai kopi, studio TV. Ingat." Suara yang mengisyaratkan perintah berubah menjadi memohon seiring dengan Jaehyun yang berusaha meminta si lelaki rapuh untuk mengingat. "Ingat. Kumohon." Ia bergerak mendekat dan mencium Taeyong. Sangat lembut dan hati-hati. Taeyong meringis, tetapi tidak bergerak menjauh.
Jaehyun lantas mengingat cara lama. Jika sebelumnya berhasil, maka ia harap kali ini pun sama. "Baik. Akan kuhitung sampai lima. Kalau kau tidak melangkah ke luar dan menghadapi wanita itu, aku akan pergi. Satu ... dua ...." Ia berhitung pelan dan hati-hati.
Kepanikan memenuhi roman Taeyong. Ia mengingat perasaan ini, perasaan di mana ia tidak mau Jaehyun pergi.
"Tiga ...."
Taeyong ingat. Ia ingat mengenai toko buku, restoran dan lavendel. Panekuk dan senyuman Jaehyun.
"Empat ...."
Ia mengingat soal obat, rumah sakit dan apel yang dibencinya. Ia ingat rasa sakit itu, kebencian pada diri sendiri serta perasaan takut yang tergantikan oleh rasa aman, hangat dan penuh cinta. Ia berdiri sebelum hitungan kelima disuarakan, dengan tangan kanan yang memeluk diri sendiri.
Jaehyun bernapas lega ketika si lelaki rapuh bergerak ke sisinya.
"Aku ingin wanita itu pergi. Aku menginginkanmu lagi," suaranya terdengar sangat pelan dengan wajah kecil yang menggeleng.
Jaehyun secara perlahan mengusap rambut Taeyong, mencoba untuk tak menangis ketika menemukan kulit kepala yang botak dan berdarah. Ia harus kuat. Lelaki ini membutuhkan kekuatannya.
"Kau harus memberitahunya. Aku akan berada di sana bersamamu. Kau kuat, Taeyong. Mungkin kau pikir tidak, tapi sebenarnya kau kuat. Jihoon memberitahuku segalanya. Setelah segala hal yang wanita itu lakukan padamu, kau akhirnya bisa selamat. Temukan kekuatanmu. Aku tahu itu ada di sini."
Taeyong menggandeng tangan Jaehyun dan mengangguk. Ia temukan kekuatannya; cintanya.
Mereka mendapati Jihoon dan Ny. Lee yang mencapai jalan buntu atas perdebatan beberapa menit lalu. Tidak bicara, tidak bergerak, hanya saling memelototi.
"Bu," Taeyong memulai.
Wanita itu segera menoleh dan terkejut saat melihat Taeyong menyenderkan diri pada tubuh besar seorang pemuda. Jaehyun semakin melingkarkan tangan di sekitar bahu lelaki itu.
"Kenapa kau menyentuh pemuda itu?" Sang ibu mengerutkan hidung dengan jijik. Ia memandang Jaehyun. "Dan siapa kau pikir dirimu?" Ia memelototi Jaehyun yang berdiri teguh.
"Aku Jaehyun dan aku mencintai Taeyong. Aku akan melindunginya dari segala hal yang bisa membahayakannya. Dan dalam hal ini, Ny. Lee, termasuk Anda." Jaehyun meremas pelan bahu Taeyong, membuat si lelaki mendongak menatapnya.
"Bu, aku ingin kau pergi. Kau tidak boleh datang ke sini lagi. Ini rumahku. Kau harus pergi." Taeyong menunduk menatap lantai.
Si wanita mulai gemetar. "Aku tidak percaya," katanya.
Taeyong lekas membentak. "KUBILANG, PERGI!"
Rasa sakit dan amarah yang ditahan selama dua puluh satu tahun langsung meledak bagaikan gunung merapi. Ia melangkah cepat mencapai wanita itu, dan dengan tangan serta bahu yang bergetar, Taeyong mencekiknya. Mata sang ibu membelalak dalam ketakutan.
Jaehyun segera meraih Taeyong dan mendekapnya erat. "Berhenti. Dengarkan suaraku," ia menenangkan. "Dengar dan tenanglah."
Si lelaki rapuh melepaskan cekikannya dan menjatuhkan tangan dengan lemah, menangis tanpa bisa dikontrol.
Jihoon mengambil alih. Ia membawa si wanita ke luar.
"Kalau kau datang lagi, maka kupastikan kau tidak akan melihat hal selain dari dinding karantina. Akan kutemukan cara agar kasusmu dirujuk kembali."
Keganasan di wajah si wanita sontak goyah akibat ancaman Jihoon. Sadar ia telah kalah enam tahun lalu dalam ruang sidang.
Jihoon membawanya turun menuju garasi dan memberi perintah pada si sopir untuk mengantar si wanita menuju kediaman saudarinya. Ia juga meninggalkan pesan bagi pihak keamanan untuk tak membiarkan si wanita mendekati gedung itu lagi.
Ketika kembali ke apartemen, Jihoon menemukan Taeyong dan Jaehyun tengah berada di kamar. Taeyong sudah tidur, dengan Jaehyun yang melingkarkan tangan di tubuhnya bagaikan tameng. Pria itu lantas memberi isyarat bahwa ia akan meninggalkan mereka untuk saat ini. Pembicaraan bisa dilakukan lain kali.
Taeyong pastilah tidak tidur selama berhari-hari. Lelaki itu mengigau dalam tidurnya, meringik pelan agar dibebaskan, bersama rasa panas dan keringat menguasai tubuh dari kepala hingga kaki. Jaehyun terus merengkuhnya. Ia tahu akan susah membuat si lelaki kembali seperti sebelumnya, tetapi apa pun yang Taeyong butuhkan, akan berusaha Jaehyun berikan.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Cure [Bahasa]
FanfictionTaeyong adalah lelaki cacat dan Jaehyun adalah sosok yang andal memperbaiki hati yang rusak. Akankah itu cukup untuk membuat mereka tetap bersama, atau akankah segalanya lantas memisahkan mereka? -- Terjemahan fanfiksi Jaeyong karya abnegative (yo...