Taeyong mondar-mandir di apartemen sembari memikirkan Jaehyun; wajah tersenyumnya, berikut suara bak madunya. Ia berharap pemuda itu akan menelepon. Namun, rasa lelah mendatangi lebih dulu, sehingga ia memutuskan untuk segera tidur. Taeyong pun mencuci tangan, mencuci muka, menggosok gigi dan mencuci tangan.
Berbaring di balik lembar selimut, Taeyong memandang ke arah ponsel dalam kegelapan. Kembali memikirkan mengenai pertemuan dengan Jaehyun di kedai kopi. Taeyong tahu bahwa pemuda itu adalah mahasiswa psikologi yang bekerja paruh waktu di sebuah klinik. Itukah alasan Jaehyun memiliki sifat yang amat menenangkan? Ia juga tahu bahwa Jaehyun memiliki seorang kakak perempuan, tinggal seorang diri di dekat universitas dan terobsesi membaca novel serta manga.
Lelaki itu baru saja akan tidur ketika ponselnya tiba-tiba menyala. Meraihnya, Taeyong menjawab panggilan yang masuk. "Halo?"
"Hai, Taeyong."
Ia mampu mendengar Jaehyun yang tersenyum dari seberang sana. Setelah menyalakan pengeras suara, Taeyong pun semakin meringkuk di balik selimutnya, di dalam kegelapan.
"Aku senang kau menelepon. Aku memiliki saat yang menakjubkan hari ini."
"Itu bagus. Aku juga," balas Jaehyun. "Apa yang kau lakukan?"
"Sudah akan tidur." Taeyong berkata pelan. "Hari ini membuatku lelah."
"Aku mengerti. Kelas hari ini juga lumayan lama, jadi baru pulang." Suara Jaehyun halus seperti biasa. Taeyong membayangkannya tengah berada di apartemen, membuat kopi, berkeliaran dengan kaki telanjang, melakukan hal yang dilakukan oleh orang-orang normal dan tersenyum.
Jaehyun mengumpulkan segala keberanian yang ia punya. "Taeyong, aku ingin kau tahu kalau aku sangat ingin mengenalmu dengan baik. Bisakah kita berteman?"
Taeyong menarik dan mengembuskan napas secara perlahan dan halus. "Jaehyun, kau tahu aku cacat, kan? Kau bisa menjadi temanku, tapi, bisakah kau juga menyembuhkanku?" Ia menahan napas.
"Aku tidak tahu. Apa kau mau disembuhkan?" Jaehyun bertanya.
Ada jeda panjang. "Ya." Dan Taeyong akhirnya menjawab.
"Ada waktu untuk bertemu besok?" tanya Jaehyun lagi.
"Tentu. Bisakah kita pergi ke kedai kopi lagi?" Suara Taeyong lebih kecil ketimbang sebelumnya. "Akan lebih mudah kalau pergi ke tempat yang pernah kudatangi sebelumnya."
"Tentu. Bertemu denganmu di sana pukul dua siang," balas Jaehyun.
"Oke. Sampai jumpa." Suara Taeyong berubah menuju bisikan. Ia memutus sambungan dan meringkuk membentuk bola, berharap bisa segera menghilang.
:::
Jaehyun menjalani hari berikutnya. Saat ini ia tengah menyiapkan diri. Pemuda itu tidak pernah merasa sesemangat ini sebelumnya, sebab memikirkan lelaki berambut merah jambu yang tidak bisa meninggalkan pikiran barang sejenak.
Ia duduk di ujung ranjang dengan ponsel di tangan, mengetik nama 'Lee Taeyong' di mesin pencarian. Mengklik pada sebuah video penampilan panggung Taeyong, dalam mode penuh sebagai TY; rambut berkibar seiring rap dan lagaknya melintasi panggung. Lelaki itu benar-benar tampak berbedaㅡlelaki di atas panggung sama sekali tidak memiliki kemiripan dengan sosok rapuh yang duduk di hadapannya di kedai kopi. Ada beberapa artikel berita mengenai pencapaian-pencapaian Taeyong, yang sebagian besar menunjuk lelaki itu sebagai sosok tertutup lagi misterius. Jaehyun menarik napas panjang dan mengetik 'Lee Taeyong berkencan' di mesin pencarian. Tidak ada. Hanya beberapa artikel mengenai hal tak biasa bahwa seorang rapper tidak memiliki ketertarikan pada cinta sama sekali. Jaehyun beralih ke jam tangan. Pukul 11:45.
Ia menubrukkan punggung ke arah kasur dan pikirannya kembali menerawang pada kencan-kencan yang telah lalu. Beberapa kegagalan ceroboh dengan gadis-gadis ketika SMA sudah cukup untuk membuatnya yakin bahwa ia hanya tertarik pada lelaki. Jaehyun pernah memiliki sebuah hubungan, jika bisa disebut demikian, dengan Johnny, yang mana sekarang adalah teman baiknya.
Johnny dan Jaehyun tidak pernah benar-benar cocok. Mereka memang memiliki chemistry ketika bersama, tetapi selama enam bulan menjalin hubungan, keajekan mengenai kekuatan dominan pun muncul. Jaehyun merasa ingin lebih mengontrol, begitu pula Johnny. Mereka memutuskan untuk menyudahi hubungan dan tak saling bicara selama satu tahun, tetapi kini keduanya berteman dan sudah membuang segala kenangan menjadi masa lalu semata.
:
Waktu terus berlalu dan Jaehyun pun bangkit menuju kedai kopi. Ia memesan flat white dengan tambahan gula, seperti biasa.
Pukul 2:17 siang dan tidak ada tanda dari Taeyong. Ia mulai berpikir bahwa mungkin lelaki itu memilih untuk mundur. Ia mengecek ponsel, tetapi tidak ada satu pun pesan di sana.
:::
Taeyong duduk di bangku belakang mobil hitam yang terparkir di area universitas.
"Apa Anda ingin kembali?" Si sopir menanyainya melalui kaca spion kecil yang menggantung di atas kepala.
"Tidak. Beri aku waktu lima menit lagi." Taeyong meraih selembar tisu antiseptik dan mengusap tangannya. Lagi dan lagi. Ia menutup mata dan berhitung hingga sepuluh. Tidak bekerja! Lantas mengusap tangan lagi. Dan lagi. Taeyong menatap jam di pergelangan tangan, pukul 2:33. Berpikir bahwa ia mungkin sudah menyia-nyiakan kesempatan. Lelaki itu mengusap tangan lagi hingga tisu yang digunakan pun sobek. Ia mengumpat dan meraih lembar yang lain.
Taeyong menatap ke arah kulitnya yang lecet dan memerah akibat gosokan cukup kasar sedari tadi. Sebuah gambaran muncul di benaknya: Jaehyun. "Itu sudah cukup" adalah apa yang pemuda itu katakan kemarin. Ia berhenti dan mengambil napas panjang sekali lagi.
Sesaat kemudian, Taeyong meraih ransel dan langsung bergerak keluar dari mobil, berlari melintasi area kampus sembari berharap-harap cemas bahwa ia tidak terlambat.
:::
Jaehyun mendongak begitu si lelaki cacat mencapai kursi di seberangnya dengan napas terengah. "Aku senang kau di sini." Matanya bercahaya.
"Aku senang kau menunggu," balas si lelaki cacat dari balik tudungnya.
Jaehyun meraih seruputan dari gelas kopi keduanya. "Taeyong, aku bukan seorang profesionalㅡbelum. Aku memang bisa membantu, tapi hanya sebatas teman. Apa tidak apa-apa?" Taeyong mengangguk. "Oke, jadi ini apa yang akan kita lakukan. Aku ingin kau membuat daftar mengenai apa pun yang kau harap bisa lakukan tapi tidak bisa. Aku akan membantumu melakukannya. Memang akan memakan cukup banyak waktu. Tapi, apa tidak apa-apa?"
Taeyong mengangguk lagi. "Lantas, apa untungnya buatmu?" Ia memandang dari balik tudungnya.
"Aku bisa berada di sekitarmu," jawaban Jaehyun tersampaikan dengan senyuman jujur yang indah. Taeyong tak bisa menolak untuk melayangkan senyum balasan; tanpa tahu bahwa itulah hal yang sangat Jaehyun inginkan.
Hasrat lantas memuncak dalam diri pemuda itu. Ia menginginkan Taeyong dengan sangat. Serasa ingin bangkit melewati meja, meraih tangan Taeyong, menarik tubuhnya mendekat dan menyentuhkan bibir mereka secara lembut ... Ia kemudian sadar bahwa si lelaki cacat tidak akan mampu menerimanya.
"Taeyong, hal-hal apa yang ingin bisa kau lakukan?"
Taeyong berpikir lama di balik tudungnya. "Aku ingin bisa melakukan tur dan menunjukkan secara lebih kepada penggemar mengenai musikku." Dia berpikir lagi. "Aku ingin bisa duduk di sini denganmu sembari menikmati kopi." Menampilkan senyum nanar. "Aku ingin kita berdua bisa berjalan mengelilingi kampus di bawah sinar mentari sembari bergandengan tangan. Aku ingin bisa mengajakmu ke toko buku dan membelikan semua buku yang kau inginkan." Secercah air mata mengaliri pipinya.
"Aku ingin kembali merasakan bagaimana rasanya dicintai."
Jantung Jaehyun serasa akan melompat keluar dari dadanya. "Kurasa aku bisa membantumu untuk merasakannya kembali," ia berbisik.[]

KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] Cure [Bahasa]
FanfictionTaeyong adalah lelaki cacat dan Jaehyun adalah sosok yang andal memperbaiki hati yang rusak. Akankah itu cukup untuk membuat mereka tetap bersama, atau akankah segalanya lantas memisahkan mereka? -- Terjemahan fanfiksi Jaeyong karya abnegative (yo...