Bab 23 :: Mentari

887 160 10
                                    

Semua barang Jaehyun diletakkan dalam dua ruang kosong di apartemen Taeyong. Pemuda itu merapikan kasur di kamar tidur dan meja belajar pada ruang belajar di sebelahnya. Mengisi ruangan itu dengan segala barang miliknya, beserta buku-buku materi yang ia tumpuk tinggi di ruang belajar. Semua itu adalah hasil dari kesepakatan.

Jaehyun sedikit merasa aneh sebab barang-barangnya yang kini berada di tempat lain. Ia seharusnya merasa bahagia. Jaehyun mencintai Taeyong, dan tinggal dengan sosok yang kau cintai semestinya membawa kebahagiaan dengan segala rasa nyaman. Namun yang bisa dirasakan hanyalah kegelisahaan dan kewaspadaan. Pemuda itu takut orang-orang akan berpikir bahwa ia memanfaatkan Taeyong, sedang lelaki itu sendiri memang membutuhkannya, dan sekarang kegiatan ini sudah menjadi pekerjaan penuh bagi Jaehyun.

Taeyong sudah kembali menjadi pribadi yang lebih baik dalam beberapa hal, tetapi belum sepenuhnya. Jaehyun takut jika lelaki itu akan cacat selamanya, meski ia tahu ini hanyalah masalah waktu.

Jaehyun kemudian menelepon ibunya dan mengatur sebuah pertemuan. Wanita itu ingin menemui Taeyong, mengetahui keadaannya. Ia ingin mengerti dan memahami kondisi lelaki itu.

Jaehyun duduk di kedai kopi, menunggu. Ibunya tiba beberapa saat kemudian dan ketika ia berdiri, wanita itu segera meraihnya ke dalam pelukan.

"Jae, Ibu merindukanmu," ia bergumam di dada Jaehyun. "Kau harus lebih sering menghubungiku. Ibu tahu kau sibuk, tapi tetap saja ...." Wanita itu mencibir dengan binar mata jenaka. Ia jelas akan tetap memaafkan anaknya.

"Jadi, aku berharap dia akan ada di sini hari ini. Mana lelaki cantik yang sudah mencuri satu-satunya anak kesayanganku?" Ibunya bercanda dan Jaehyun menyadari itu.

"Aku ingin Ibu menemuinya, tapi sekarang kita perlu bicara."

Jaehyun kemudian menceritakan segala hal. Mulai dari misopobia yang diidap Taeyong, gangguan obsesif-kompulsif, serta gangguan kecemasan. Kecantikan dan kelemahlembutannya. Hati yang berharga serta pikiran yang hancur. Kegiatan mencuci tangan. Bakatnya. Kecintaan pada panekuk dengan kepingan cokelat. Ketakutannya. Monster. Dan ibunya.

Ten menyajikan latte ke meja mereka dan ketika lelaki itu pergi, Jaehyun kembali melanjutkan sambil memasukkan gula, sementara ibunya memperhatikan kegiatan sang anak dengan tak suka. Jaehyun memberi tahu ibunya tentang acara musik, lagu yang Taeyong tulis, serta tentang ia yang berhenti dari klinik dan pindah dari apartemen. Ia menahan napas, lalu wanita itu meraih tangannya.

"Jae, kau tidak pernah berubah. Ketika kecil, kau selalu membawa bayi burung yang jatuh dari sangkarnya, menaruh dalam kotak sepatu dan menangis ketika burung itu mati. Namun itu tidak menghambatmu untuk terus mencoba. Segala yang kau inginkan adalah memperbaiki setiap makhluk indah yang rusak." Ia mengusap punggung tangan Jaehyun menggunakan ibu jari. "Apa kau benar-benar mencintainya, atau hanya ingin menyembuhkannya?"

Jaehyun berpikir lama dan keras sambil menatap latte-nya. Ia memikirkan tentang bagaimana Taeyong membuatnya merasa mendominasi, bertanggung jawab, kuat. Jaehyun senang ketika orang lain membuatnya merasa kuat.

Namun Taeyong juga membuatnya merasa rapuh hingga pada titik yang tidak pernah diduga-duga. Jaehyun ingat bagaimana ia menangis di pelukan lelaki itu, hal yang tidak akan pernah ia lakukan di depan orang lain, bahkan ibunya.

Jaehyun memikirkan bilamana hidupnya tanpa Taeyong, yang mana sama sekali tidak bisa ia bayangkan. Hidupnya adalah Taeyong. Meski dengan iblis dalam diri si lelaki yang membuat kondisi menjadi pasang surut.

"Aku mencintainya," kata pemuda itu.

Ibunya lantas tersenyum. "Maka, Ibu juga."

:::

Taeyong mondar-mandir dengan gugup. Kecemasan meningkat akibat segala perubahan di sekitarnya. Semua barang Jaehyun ditumpuk dalam ruangan yang berbeda dengan miliknya, tetapi apartemen ini, entah mengapa, tetap terasa berbeda. Tidak buruk, tapi berbeda. Taeyong berpikir keras. Ia ingin Jaehyun ada di sana. Pemuda itu pasti akan mengatasi rasa gatal dan geli yang menjalari tangan-tangannya. Ia kemudian mencuci tangan dan merasa lega.

Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Dari Jaehyun.

Hari ini, 2:33 PM
Aku bersama Ibu. Dia ingin menemuimu dan mengunjungi apartemen. Aku membawanya pulang bersamaku.

Taeyong panik. Ia menatap sekitar dengan gugup, lalu mencuci tangan lagi. Tempat itu tampak kotor. Apa yang akan dipikirkan Ny. Jung terhadapnya? Ia jadi merasa tak berguna, kotor, gatal. Taeyong baru akan mengganti baju ketika mendengar suara klik di pintu, membuatnya menyadari bahwa Jaehyun mengirim pesan ketika di parkiran. Tindakan licik, tapi pintar. Pemuda itu memberi peringatan yang cukup.

Jaehyun masuk dengan seorang wanita bertubuh kecil. Wanita itu berpakaian rapi dan memiliki wajah yang lembut. Ketika melihat Taeyong, ia menyunggingkan senyuman hangat yang hanya akan diberikan pada orang yang dicintainya.

"Hai Taeyong. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu. Jae selalu mengatakan bahwa kau adalah lelaki yang cantik, tapi aku tak percaya sampai ketika melihatmu langsung." Roman wanita itu tampak ramah dan hangat serta gerakannya tampak penuh dengan kehati-hatian. Tidak berusaha meraih dan menggenggam tangan Taeyong, ataupun menyentuhnya.

Taeyong merasa rileks. Ia balas tersenyum lembut; tampak rapuh. "Anda mirip dengan Jaehyun," katanya.

Mereka melewati siang dengan duduk mengelilingi meja, bersama secangkir kopi untuk masing-masing dalam kenyamanan. Ny. Jung benar-benar mirip dengan Jaehyun, baik rupa maupun sikap, sehingga meluruhkan kecemasan Taeyong. Wanita itu tersenyum sambil menceritakan masa kecil Jaehyun, bagaimana pemuda itu pernah menjadi sosok bocah yang canggung, kenangan ulang tahun dan kejadian-kejadian lucu. Dan ketika ia menoleh ke arah sang anak, rasa bangga menguar dari dalam diri bagai sinar hangat mentari.

"Seharusnya seorang ibu bersikap seperti ini," pikir Taeyong sambil merasakan senyuman cerah ibu Jaehyun yang menular padanya.

Ketika wanita itu hendak pergi, Taeyong menjulurkan tangan dengan malu-malu sehingga Ny. Jung menggenggamnya, dan untuk pertama kali dalam hidup, Taeyong merasakan bagaimana kasih sayang seorang ibu. Bagai kehangatan api dalam jiwa. Ketika wanita itu pergi, maka giliran Jaehyun yang merengkuhnya ke dalam pelukan. Hangat. Kehangatan yang berbeda. Ia membiarkan hal itu membungkusnya, mengitari dan menguasainya.

Kemudian malam itu, Jaehyun keluar dari ruang belajar dan menemukan Taeyong di sofa sambil berkutat pada laptop.

"Apa yang kau lakukan, baby bird?" Jaehyun memeluk Taeyong dari belakang dan mengecup puncak kepalanya.

"Ingat ketika di kedai kopi kau memintaku membuat daftar mengenai segala hal yang ingin kulakukan, dan kau akan membantuku untuk mewujudkannya?" Si lelaki menatap Jaehyun penuh harap.

"Ya, aku ingat. Kau ingin duduk di kedai bersamaku dan meminum kopi. Kau ingin berjalan melintasi kampus sembari bergandeng tangan dan membelikanku buku."

Jaehyun berpindah ke hadapan Taeyong dan duduk di lantai, meletakkan kepala di lutut lelaki itu.

"Aku ingin mengingat bagaimana rasanya cinta."

Jaehyun mendongak, menatap kedua manik Taeyong yang bercahaya.

"Sekarang aku ingat, Jae."

Si pemuda bangkit dan mengecup bibir Taeyong dengan lembut, dan ketika ciuman terlepas, lelaki itu melanjutkan.

"Boleh aku membuat daftar keinginan yang lain, Jae? Aku ingin melakukan tur. Dan aku juga ingin pergi ke pantai."

Jaehyun tersenyum lalu mengecup pipi lelaki itu. "Apa pun yang kau inginkan, baby bird. Aku akan membawamu ke pantai dan kita bisa berbaring di permukaan pasir. Kalau kau menginginkan tur, aku akan berada di sisimu sepanjang waktu."

Wajah Taeyong sontak bercahaya. "Dan aku selalu ingin punya anjing. Apa kau pikir kita bisa memelihara anak anjing?"

Jaehyun hanya tertawa dan naik ke atas lelaki itu, menghujami lehernya dengan ciuman, membuat Taeyong menjerit dan menggeliat di bawahnya hingga mereka kehabisan napas karena tertawa.[]

[✔] Cure [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang