Bab 6 :: Badai

1.4K 242 3
                                        

Jaehyun bangun keesokan pagi dalam perasaan luar biasa. Ia berhasil dan sadar kalau Taeyong pun berhasil: tidak lagi terlalu ragu untuk melakukan sesuatu. Meminum kopi adalah langkah besar, begitu pula dengan yang terjadi di bawah shower. Taeyong menjalani progres yang cukup cepat dibanding yang Jaehyun duga. Pemuda itu tidak yakin apa harus berlaku secara perlahan setelah ini. Terlalu banyak menunggu malah akan menghasilkan lebih banyak rasa ragu.

Jaehyun berguling di atas ranjang, merasakan kebahagiaan hari libur, hari di mana ia tidak harus ke mana-mana. Baru akan kembali terlelap, ponselnya berdenting. Jaehyun meraihnya.

Hari ini, 8:21 AM
Hei. Libur? Ayo minum kopi

Hari ini, 8:22 AM
Bisakah kita menunggu sampai matahari benar-benar muncul?

Jaehyun tertawa. Johnny pasti sudah selesai berolahraga, sarapan dan menyelesaikan banyak hal sebelum jam delapan meski di hari libur. Beberapa orang memang merupakan sosok serajin itu. Morning person. Jaehyun bukan salah satu dari mereka.

Hari ini, 8:28 AM
Kedai kopi jam 10?

Hari ini, 8:30 AM
Tidak masalah

Jaehyun tersenyum sembari berguling di kasurnya, lalu meraih salah satu manga di meja nakas. Ia akan beranjak dari kasur ketika ingin. Untuk sekarang, ia hanya mau bersantai.

Jaehyun berusaha membaca, tetapi pikirannya tetap mengarah pada si lelaki cacat, yang sekarang berambut putih, masih tampak rapuh. Ia sebenarnya tidak suka membiarkan Taeyong menunggu, lebih ingin berkata jujur bahwa ia akan menghubungi lelaki itu, mengirimi pesan dan memikirkannya. Tapi itu bukanlah apa yang dibutuhkan. Taeyong lebih butuh kedisiplinan.

:

Jaehyun masih tersenyum seiring dengan langkah menuju kedai kopi. Johnny sudah di sana, menunggunya, dengan secangkir flat white favorit Jaehyun yang sudah tersedia di meja.

"Hai. Apa kabar?" Johnny benar-benar bersemangat kalau menyangkut kabar-kabar terkait gosip.

"Baik," adalah satu-satunya jawaban Jaehyun.

"Yakin? Kau masih menemui lelakimu?" Johnny bertanya.

"Ya. Memangnya, kenapa tidak?" Jaehyun menambah empat gula ke dalam cangkirnya.

"Wendy bertemu Doyoung, dan dia bilang seseorang melihat kalian bertengkar di sini, di kedai kopi," kata Johnny pelan.

"Kami tidak bertengkar. Ini rumit, Johnny, dan aku tidak ingin membicarakannya."

Johnny pun sadar kapan harus berhenti, sehingga ia segera mengubah topik pembicaraan. "Terlalu banyak gula tak baik untukmu."

Mereka akhirnya selesai meminum kopi.

"Sampai jumpa lagi." Johnny bangkit dan pergi.

Jaehyun memutuskan memesan kopi untuk yang kedua kali. Ketika berjalan menuju meja konter, ia mendapati Ten yang tersenyum. "Hei, ingat bagaimana kau berutang budi padaku waktu itu?"

"Ya," jawab Jaehyun.

"Bisakah kau memberiku nomor ponsel temanmu?" Lelaki itu tersenyum malu dan menunduk.

"Tentu. Kau benar-benar tipenya, tahu." Jaehyun mengerling ke arah Ten, mencatat nomor Johnny di permukaan serbet dan menyerahkannya pada lelaki itu.

Jaehyun berkeliling di sekitar kampus selama satu jam. Ia ingin menelepon Taeyong tetapi tahu bahwa ini terlalu cepat. Ia harus bersikap kuat, harus bisa membuat lelaki itu menunggu sedikit lebih lama.

:::

Taeyong terbangun di apartemennya. Seiring dengan mata yang membuka, emosi mendidih di dalam diri bagai terjangan badai. Kebahagiaan, penyesalan, rasa malu, kepuasan, rasa sakit.

Ia meringkuk di ranjang. Mengingat bagaimana suara Jaehyun di ujung telepon, memberitahunya mengenai apa yang harus dilakukan; begitu terbuka. Taeyong jadi merasa bisa membagi apa pun dengan Jaehyun.

Taeyong tersenyum, membayangkan mata kecokelatan serta lesung pipit milik pemuda itu. Namun tiba-tiba, perasaan malu menguasainya. Apa yang kira-kira Jaehyun pikir tentangnya? Seberapa cacat ia hingga onani seperti orang normal saja tidak bisa? Pria macam apa yang meminta bantuan bahkan di hampir setiap aspek hidupnya? Air mata penuh rasa malu meluncur ke atas permukaan bantal.

Kedua tangannya terasa gatal. Taeyong ingat bagaimana rasa nikmat yang hadir ketika ia menyentuh tubuhnya sendiri malam tadi. Tetapi hari ini, rasa nikmat itu sudah pergi, menyisakan rasa panik.

Taeyong meloncat turun dari kasur dan melepas seluruh seprai dan juga sarung bantal. Melesakkan semua benda itu ke mesin cuci dan mencucinya dengan air panas.

Ia masuk ke kamar mandi, membersihkan rambut dan menggosok gigi. Mencuci seluruh tubuh, menggosok telapak tangan dengan panik. Ia membersihkan rambut lagi, hingga tidak ingat sudah berapa kali mengulang hal tersebut sampai rasa cemasnya mereda. Lelaki itu pun mematikan air panas dalam kondisi kedua tangan berdarah, sementara tubuhnya penuh akan luka lecet. Gusi pun dipenuhi darah seiring dengan bibir bawah yang terus-terusan ia gigit. Taeyong berantakan.

Ketika mengenakan pakaian, ia dapat katakan bahwa kelegaan menghampirinya. Rasa lega seperti ini hanya ada ketika Taeyong tampil di atas panggung, menyampaikan lagunya, menampilkan seratus persen yang terbaik dari dirinya. Ia menyebut bahwa hal itu adalah satu-satunya hal yang mampu memberi rasa puas. Namun, sesuatu mulai bangkit dalam diri lelaki itu. Segala sesuatu sudah berubah.

Taeyong berjalan menuju dapur.

Kopi. Dia tiba-tiba menginginkan kopi.

Ia tidak pernah meminum kopi, tidak juga membuat secangkir di rumah. Lelaki itu bahkan tidak tahu apakah punya kopi atau tidak. Ia membuka lemari pantri dan mencari stoples berlabel kopi di antara jejeran berlabel lainnya yang tersusun rapi. Menemukan dua: satu berlabel kopi instan dan satunya lagi gula. Ia meraih keduanya.

Taeyong menemukan katel listrik yang masih terbungkus rapi, juga cangkir kopi di bagian rak paling belakang. Jihoon sudah memikirkan segala hal ketika mendesain apartemen ini tahun lalu. Taeyong selama ini tinggal di perusahaan, tetapi ketika usianya mencapai dua puluh, ia membeli sebuah apartemen sebagai hadiah untuk diri sendiri. Tidak yakin apakah pemisahan tempat itu memberinya ruang bernapas atau malah membuat urusannya tidak terlalu dicampuri.

Mengambil tisu antiseptik, ia mengelap meja pantri, mengambil katel baru dan mencucinya, mengisi dengan air dan mencolokkannya ke listrik. Lelaki itu mencuci tangan, memeriksa cangkir. Tahu bahwa benda itu tidak pernah dipakai, ia memutuskan untuk tak perlu mencucinya. Taeyong hanya membilasnya dengan air hangat.

Ia meraih sebuah sendok bersih dari tempat pencuci piring, menyendok bubuk kopi dan menuangkannya ke dalam cangkir. Tak lupa menambahkan empat sendok gula, dengan Jaehyun dalam pikirannya. Taeyong kembali merasa malu, membayangkan apa yang dipikirkan oleh pemuda itu setelah kejadian semalam. Ia lantas mencuci tangan.

Setelah mengisi cangkir dengan air panas, Taeyong membawanya menuju meja makan. Lelaki itu tidak ingin meminumnya. Hanya dengan menghirup aromanya sudah cukup untuk membawa ingatannya kembali menuju kedai kopi. Ia ingin mengirimi Jaehyun pesan teks, memamerkan secangkir kopi yang baru ia buat. Namun, urung dilakukan. Ia kemudian menyeruput kopi, menikmati bagaimana rasanya, dan untuk pertama kali, ia merasa senang.

:::

Jaehyun berjalan melewati toko buku kampus. Tempat favoritnya. Ia menolehkan kepala dan mendapati sebuah taman kecil tak jauh di samping toko buku tersebut.

Telah diputuskan. Ia akan membawa Taeyong ke sini, ketika lelaki itu sekiranya dirasa sudah siap.[]

[✔] Cure [Bahasa]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang