Jangan Sebut Namanya

17K 543 22
                                    

Duk! Kaia menaruh koper dan barang-barangnya di ruang tengah. Septa yang sudah selesai mengantarnya dan memarkir sepeda motor di garasi langsung pergi menghilang entah di mana posisinya saat ini di rumah. Kaiapun ditinggal seorang diri, terduduk kebingungan di ruang tengah hingga akhirnya terdengar suara lantai kayu peot yang berbunyi tertekan. Kakek Sanjaya datang ke ruang tengah, dengan tongkat sebagai alat bantu berjalan, kaki yang gemetaran di tulang tuanya berhasil membawa Kakek itu menemui Kaia. Padahal, Kaia yang ditinggal sendiri tadi sudah berencana mau menemui Kakek Sanjaya di kamar Kakek itu.

"Sudah bawa barang-barangmu, Kaia?" Kakek Sanjaya melihat ada koper dan tas Kaia yang diletakkan di samping gadis itu duduk.
"Iya Kek..." Kaia mengangguk. "Kaia cuma bawa barang-barang yang dipakai buat sekolah, eh tapi... Ehehe... Ternyata tetap sebanyak ini, ehehe." Kaia cengengesan sambil menggaruk kepalanya, melihat barang bawaannya membludak sampai membuat koper dan tasnya terlihat sesak. Padahal, gadis itu yakin betul sudah meninggalkan berbagai macam barang yang tidak perlu.
"Hmmm..." Kakek Sanjaya tersenyum. "Tidak apa... Keperluan anak gadis memang banyak. Berbeda dengan Kakek dan Septa, ahaha..." Kakek Sanjaya tertawa memperlihatkan giginya yang sudah jarang. Kaia yang melihat itupun jadi ikutan sedikit tertawa lucu.

Kakek Sanjaya kemudian melihat ke langit atas. Karena tengah rumahnya merupakan halaman, tak ada atap yang menghalangi pandangan untuk melihat langit. Sekarang, sisa cahaya senja sudah menghilang seakan diserap oleh kegelapan yang berkuasa. Bulan sudah terlihat walaupun masih baru-baru saja menampakkan diri. "Kek..." Kaia memanggil Kakek Sanjaya yang baru sejenak termenung menatap langit malam. Kakek itupun berbalik menatap gadis cantik berkacatama yang memanggil. Kaia terlihat gelisah mengelus-elus rambutnya. Meskipun sudah berganti pakaian, tapi gadis itu masih belum mandi sejak kemarin. Rasanya, seluruh tubuh Kaia sudah gatal-gatal dan lengket-lengket.
"Kaia.... Kakek mengerti, kamu mau mandikan?"
"I- Iya Kek..." Sahut Kaia mengangguk tersipu sambil masih memainkan rambutnya yang terasa kusut. Baru ini dia berada di kondisi asam seperti ini dan rasanya sungguh tidak enak bagi Kaia yang terbiasa hidup bersih.

"Ini sudah malam Kaia...." Ucapan Kakek Sanjaya itu membuat Kaia menatapnya dengan tatapan bingung. Memangnya kenapa kalau malam? Kaia juga sering mandi malam-malam dan tidak ada masalah.... Saat itu juga Kaia menyadari sesuatu. Tidak... Sekarang keadaan sudah berbeda. Gulp... Kaia menelan ludah. Semenjak kematian kedua orang tuanya, semuanya sudah berbeda. Fakta tadi siang saja dia masih diganggu makhluk halus, tentunya, kalau malam pasti akan lebih parah.... Kaia menunduk dan menggigit bibir. "Bagus kalau kamu mengerti. Untuk sekarang, masih sangat berbahaya bagimu berada di ruangan sendirian, apalagi malam-malam."

Kaia yang terdudukpun mengepalkan tangan erat. Masa untuk mandi saja jadi susah begini!? "Kek! Ayo jelaskan! Tadi pagi Kakek berjanji untuk menjelaskannya!" Kaia menyeru ingin segera mendapat penjelasan lebih lanjut atas apa yang sudah terjadi pada dirinya, dan kenapa ia diganggu begini. Masalah mentalnya siap atau tidak, gadis itu sudah tidak peduli lagi.
"Kek!" Tiba-tiba Septa berteriak memanggil.
Hm... Kakek Sanjaya terlihat mengendus dan tersenyum mengangguk-angguk. "Ayo kita makan malam dulu Kaia." Kakek Sanjaya berjalan perlahan dengan bertumpu pada tongkatnya. Kaia yang lapar juga terpancing dengan aroma masakan Septa dari dapur. Gadis itupun membantu Kakek Sanjaya untuk berjalan, menuntun Kakek itu dan berjalan bersama menuju dapur.

Krek... Kaia menarik kursi untuk Kakek Sanjaya. "Terima kasih...." Kakek Sanjaya tersenyum lebar. "Bukan cuma tumbuh jadi gadis yang cantik, Kaia juga berhati baik... Kirana dan Bima pasti bangga."
"Ehehe..." Kaia memerah dipuji seperti itu, apalagi ketika Kakek Sanjaya mengatakan kalau kedua orang tuanya bangga memiliki anak sepertinya.
"Ayo duduk...." Kakek Sanjaya mempersilahkan Kaia untuk duduk di sampingnya. Di meja makan yang kotak itu ada empat kursi. Kakek Sanjaya dan Septa duduk berseberangan, sehingga Kaia mendapat kursi yang berada di antara mereka berdua.

Panggilan Ratu Laut SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang