"Enggak! Enggak!" Kaia menggelengkan kepalanya menolak kenyataan yang ada di depan mata. Semalaman gadis cantik itu tidak tidur. Dia, bersama Kakek Sanjaya, Mbah Kasmirah dan Ibu Lulu sama-sama kesusahan mencari transportasi untuk menuju pantai. Tsunami tiba-tiba yang terjadi kemarin membuat semua waspada dan tidak ada orang waras yang mau ke pantai. Mereka pun terpaksa menginap sejenak sebelum paginya segera berangkat menuju pantai.
Tsunami itu dikabarkan hanya terjadi sekali dan gelombangnya tidak terlalu tinggi. Rumah-rumah di pantai masih utuh, bahkan hampir tak tersentuh. "Kaia!?" Wali kelasnya yang melihat kedatangan Kaia ke pantai segera menghampiri gadis cantik itu lalu memeluknya erat. Kedua perempuan itu sama-sama menangis dalam pelukan satu sama lain.
"Septa di mana Bu!?" Pertanyaan itu tidak dijawab. Mata Kaia yang berair lantas tak henti-hentinya melihat keadaan pantai.Banyak sisa-sisa tsunami yang terperangkap di pasir putih. Batu karang, sampah, hewan-hewan laut. Seakan terjadi pertukaran, antara yang kala itu di darat dengan yang ada di laut. "Kaia... Maafkan Ibu..." Kaia pun menggeleng lalu mengeratkan pelukannya. Pertanyaan tadi hanyalah sebuah pertanyaan yang keluar dari dirinya yang sudah putus asa, tak kuasa menolak berita yang ia dengar saat sedang dalam perjalanan ke pantai.
Tsunami kecil malam tadi tidak ada yang menelan warga sekitar, tapi... Sejumlah remaja SMA yang sedang bermain di tepi pantai, semuanya dikabarkan menghilang. Melihat ekspresi wali kelasnya, Kaia pun tahu, siapa remaja yang dimaksud desas-desus kemarin.
Seharusnya, hari ini ia bertemu dengan Septa di pantai ini, lalu membahas rencana terakhir mereka untuk menghentikan Ratu dan menyelamatkan teman-teman sekelas mereka. Hik... Ibu Lulu yang mendengar kabar itu juga tak kuasa menahan air mata. Sambil membantu Mbah Kasmirah yang terluka dan tak mampu berdiri sendiri, ia berpelukan erat dengan bibinya itu.
Wajah Kakek Sanjaya juga lesu. Tenaganya sudah menghilang, dan membuat tubuh rentanya terduduk di atas pasir putih. Septa... Cucunya. Di mana dia? Gumam pria tua itu sambil menatap laut yang telah menelan Septa.
"Tim pencari sedang pergi ke laut, kita sama-sama berdoa saja, mudah-mudahan... Teman-temanmu bisa selamat." Ucapan wali kelas Kaia diikuti dengan bibir keringnya yang cemberut. Kaia tahu kalau ucapan wanita itu barusan hanyalah ucapan kosong yang keluar dengan niat agar Kaia tidak jatuh dan masih bisa berpegang pada harapan. Sedangkan, di dalam dirinya sendiri, Wali kelas itu tahu kalau mustahil untuk selamat dari ombak seperti itu. Apalagi, sudah berjam-jam, Septa dan yang lainnya belum ditemukan."Kek..." Kaia ikut terduduk di sebelah Kakek Sanjaya. Keduanya lantas saling berpelukan, sama-sama memikirkan Septa.
Tak lama, sebuah kapal patroli merapat dan turunlah orang-orang yang tampaknya merupakan tim pencari. Wajah mereka semua lesu kecewa. Tanpa perlu kata-kata, semua yang melihat mereka tahu, kalau mereka telah pulang dengan tangan hampa. "Kalian?" Tanya salah satu dari mereka, melihat Kaia dan Kakek Sanjaya terduduk menunggu. Pantai sepi. Tidak ada yang berani ke sana karena takut ada tsunami lagi.
"Mereka keluarga korban." Sahut wali kelas Kaia.Pria itu pun menatap mata Kaia yang sayu. "Maaf, tapi kami belum berhasil menemukan apa pun. Pencarian akan dilanjutkan nanti siang." Ketua tim pencari itu tersenyum menatap Kaia dan Kakek Sanjaya bergantian, lalu membawa timnya pergi untuk beristirahat.
"Sudah berjam-jam. Kalau mayatnya tidak ditemukan, itu berarti... Mayat mereka sudah diambil Ratu!"
"Hei! Kamu masih percaya takhayul seperti itu!?"
"Tapi itu benar Bos! Coba kita ingat, berapa kali kita mencari orang tenggelam di Pantai Selatan!? Tidak ada yang berhasil kita temukan! Alasannya cuma satu! Semuanya sudah diambil Ratu ke Istananya!"Bisik-bisik percakapan antar tim pencari itu terdengar oleh angin pantai yang berhembus ke telinga Kaia dan Kakek Sanjaya. "Kek... Apa ini murni bencana alam, atau..." Tatapan Kaia berbinar-binar menatap mata lesu Kakek Sanjaya yang telah menguning. Pria itu menghisap bibir keringnya dan menelan ludah, tanpa menjawab apa pun. Meskipun begitu, Kakek Sajaya tahu apa maksud Kaia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panggilan Ratu Laut Selatan
Horror(21+) Setelah kematian orang tuanya, Kaia mengalami kejadian ketindihan yang sampai membuatnya bangun dalam keadaan telanjang. Pilihan gadis itupun hanya satu, yaitu menemui seseorang yang bernama Kakek Sanjaya sesuai dengan isi surat wasiat dari ke...