Kacamata

15.2K 415 8
                                    

"Mmmmhhhh...." Sekarang sudah pagi, dan Kaia yang membuka matanya melihat ada Septa masih tertidur di samping membuat matanya langsung segar. Benaknyapun melayang mengingat ritual tadi malam yang sudah ia lakukan bersama Septa dan Kakek Sanjaya. Pipi gadis itu sontak memerah... Bibir merah muda meronanya bergerak terhisap ke dalam menatap cowok kampret yang kemarin sudah meraba sekujur tubuhnya, bahkan mungkin juga sudah melihat seluruh tubuhnya. Karena kemarin begitu melelahkan, sehabis ritual dan mengeringkan diri, Kaia langsung terbaring di kasur, jatuh telelap. Gadis cantik itu sama sekali tak punya waktu untuk memikirkan apa yang sudah terjadi. Tetapi sekarang.... Ketika ia bangun dan melihat Septa di samping.... KYAAAA!!!!! Gadis itu jadi teringat dan kepikiran kejadian semalam.

"Nnnghhh..." Septa tertidur dengan begitu pulas sampai mulutnya menganga sedikit. Cowok itu juga tampak menggaruk pipinya yang gatal dengan mata yang masih terpejam.
"Mmmm..." Kaia terdiam memandang Septa di sampingnya itu. Ingin rasanya Kaia mencubit dan mengoyak-ngoyak pipi cowok kampret ini karena sudah sembarangan memegang-megang bagian tubuhnya malam tadi... Tapi... Kaia tahu, itu memang tak terhindarkan. Melihat Septa yang tetidur pulas seolah-olah tak ada Kaia di samping itu membuat Kaia berpikir, Septa tak akan macam-macam dan aneh-aneh. Kalau dia mau aneh-aneh, semenjak kami kemarin tidur bareng harusnya dia sudah melakukannya.... Gumam Kaia.

Tapi... Tunggu dulu. Kenapa dia enggak macam-macam? Kaia berkedip menatap Septa yang sekarang bergerak memiringkan badan menghadapnya. Wajah keduanyapun sekarang saling berhadapan walau ada jarak dan guling yang menghalangi. "A- Apa aku... Tidak menarik!? Makanya dia enggak... Macam-macam!?" Kaia lalu menarik kaosnya dan menilik dadanya yang terlihat dari lubang kaos.
"Kamu ngapain?" Tiba-tiba terdengar suara cowok dengan nada dingin yang menyengat Kaia. Gadis itupun terdiam membatu kaku, mati rasa tak mampu menggerakkan tangannya. "Huaaahhh..." Septa lantas menguap dan bangkit duduk.
"HE- HEI!!!!" Seru Kaia berteriak nyaring ke Septa yang mau berdiri dari kasur. Kesal! Kepala Kaia nyut-nyutan sakit kepala melihat kelakuan cowok kampret ini yang seolah tidak mempedulikannya.
"Apa? Pagi-pagi sudah ribut." Tanya Septa yang berdiri dengan alis mengkerut.

"KA- KAMU KEMARIN SUDAH MERABA-RABA AKU!" Teriak Kaia memerah sampai pipinya ikut mengembung. Srek... Gadis yang daritadi rebahan itupun bangkit duduk di atas kasur agar bisa melototi Septa dengan jelas.
"Ya kan karena ritual? Huaaahh..." Septa tak mempedulikan nada suara Kaia yang meninggi. Cowok yang menguap itu sibuk menutup mulutnya lalu mengangkat bahu. Seolah tindakannya itu bukanlah hal yang perlu diributkan pagi-pagi buta baru bangun begini.
"A...!" Kaiapun jadi tercekat tak mampu melanjutkan kalimatnya.
"Lagian kenapa baru ribut sekarang? Malam tadi kayaknya biasa saja." Ngghhhhh!!!! Kaia makin mendidih dan sakit kepala sampai mengepalkan tangan. "Terus sekarang bagaimana?"

"HAH!? APA!?" Jawab Kaia masih dengan nada tinggi, kesal.
"Matamu normalkan? Karena kemarin sudah bisa menutup mata batin, kamu masih mau pakai kacamata?" Kaia terdiam. Benar juga... Kenapa aku masih pakai kacamata? Karena kebiasaan, gadis itu bahkan masih memakai kacamata hingga tertidur. Gulp.... Kaia menelan ludah lalu perlahan melepas kacamatanya. Gadis itu berkedip-kedip melihat sekeliling. Tak ada apa-apa. Tak ada sesuatu yang berasal dari alam lain tampak terlihat. "Ingat." Suara Septa memanggil perhatian Kaia kepada cowok itu. "Karena kamu itu terlahir dengan mata batin yang terbuka, cepat atau lambat mata batinmu pasti akan terbuka lagi, nah kamu hanya perlu mengingat bagaimana rasanya kemarin waktu kamu menutupnya." Septapun lantas berjalan menuju pintu kamar, sebelum itu ia mesti melewati Kaia yang masih duduk di kasur.
"M- Makasih...." Ucap Kaia terbata-bata yang tidak ditanggapi Septa. Krek... Cowok itu keluar kamar dan bersiap memasak sarapan untuk pagi hari ini.

Hah.... Kaia meremas wajahnya. Kenapa aku malah marah-marah sama dia ya? Bukannya dia mau bantuin aku? Untung saja dia enggak marah balik.... Hah.... Bahu Kaia menurun lagi, menghembuskan nafas berat. Terus.... Kenapa tadi aku enggak terima dia enggak macam-macam? Apa jangan-jangan aku mau dia... macam-macamin aku? Dari ujung kaki ke ubun-ubun, gadis cantik itu lantas memerah. "Ggaaahhhh!!!" Kaia mengacak rambut dan bangkit dari kasur, menyusul Septa keluar.

Panggilan Ratu Laut SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang