Keraton

6K 304 14
                                    

"Kalian sudah siap?" Wali kelas Kaia menatap dan memastikan semua muridnya ada di dalam bus. Semuanya sudah masuk ke dalam barusan, kecuali dua orang, yaitu Kaia dan Septa. "Kamu bagaimana, Kaia?" Tanya wanita itu melihat Kaia dan Septa bergantian.

"Saya... Nanti menyusul Bu." Sahut Kaia menundukkan kepala.
"Kamu mau naik apa?"
"Pokoknya ada Bu." Kaia mengangguk.
Hah... Wali kelas itu menghembuskan nafas panjang lalu melihat kembali ke arah bus. Di sana ada Lulu yang sedang mengintip keluar, ke arah Kaia dan Septa. "Kalau kamu tidak mau naik ke bus karena ada Lulu, nanti bareng Ibu saja naik mobil sekolah."

"Engggak perlu Bu." Kaia menggeleng, "Saya nanti menyusul bareng Kakek Septa. Beliau juga ingin ikut. Kalau dilihat dari kursi di bus, enggak bakal muat." Kaia menegakkan pandangan lalu tersenyum. Wali kelasnya itu pun mengerti dan melangkah masuk ke dalam bus.

Di luar, tersisa Kaia dan Septa. Curi-curi, mereka berdua berpegangan tangan erat, "Hati-hati Septa." Seru Kaia dengan wajah pucat khawatir. Di wajah Septa, ekspresi serupa juga tampak menguasai. Bibir keduanya sama-sama gemetar. Suara mereka yang pelan hampir kalah dengan suara mesin bus yang sudah siap berangkat.
"Kamu juga hati-hati. Kita ketemu di pantai, ok?"
"Mmmm," Kaia mengangguk dan Septa pun masuk ke dalam bus.

Sambil melihat bus berjalan meninggalkannya sendirian di Lapangan Sekolah, Kaia sempat bertukar tatap dengan sosok Lulu yang mengintip keluar jendela. "Hmmm," gadis itu tampak tersenyum menang. Kaia langsung mengepalkan tangan erat lalu balik badan, berniat pulang ke rumah, menjemput Kakek Sanjaya, Mbah Kasmirah dan Ibu Lulu.

Begitulah rencana mereka.

Septa ikut kelasnya untuk mengawasi pergerakan Lulu, sekaligus melihat-lihat keadaan di pantai. Apakah ada banyak jemaah Ratu di sana atau tidak. Yang selanjutnya, dia akan saling berkomunikasi dengan Kaia. Sebuah tugas yang berbahaya memang, mengingat terakhir kali dirinya ke Pantai Selatan, beberapa jemaah penyembah Ratu sudah mengingat wajahnya, dan itu berarti, kalau memang di sana ada mereka, nasib Septa pasti akan dalam bahaya.

Kaia awalnya juga ingin ikut dengan Septa, tapi, Mbah Kasmirah membutuhkannya untuk mengambil pusaka Ratu di Keraton. Septa juga berhasil meyakinkan Kaia kalau misalkan ada bahaya, dirinya akan menempel ke wali kelas mereka dan juga memanggil warga sekitar. Kali ini Septa datang serombongan, satu kelas, bukan hanya bertiga saja, jadi misalkan ada bahaya, paling tidak Septa tidak akan menghadapinya sendirian. Hal ini membuat rencana mereka yang selanjutnya berjalan. Kaia, Kakek Sanjaya, Mbah Kasmirah dan Ibu Lulu menyusul dengan menaiki kereta. Tapi, tujuan mereka bukanlah Pantai Selatan, melainkan keraton pusat aliran sesat penyembah Ratu yang terletak sedikit di utara, di kota.

Keempatnya duduk saling berhadapan di dalam kereta. Mbah Kasmirah lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya, "Kaia..." Wanita itu menyerahkan boneka jenglot Mbah Gowo yang ikut dibawa dalam pertempuran terakhir ini. Ibu Lulu yang tidak mengerti apa-apa mengedipkan mata, tapi, berbeda dengan Kakek Sanjaya yang terlihat menjadi kusut, setelah melihat Kaia menerima boneka jenglot itu.
"Kaia..." Pria itu angkat suara, ketika Kaia baru saja mau berdiri.
"Iya Kek?"

Kakek Sanjaya menatap Kaia dari bawah hingga ke atas. Hah... Nafas pria itu pun terhembus kuat, mengikuti matanya yang menatap tajam. "Setelah semua ini, lepas mereka semua. Kamu tidak akan sanggup, hidup memuaskan mereka semua." Kakek Sanjaya lalu mengalihkan pandangannya ke Mbah Kasmirah, "Mereka bisa dilepas, bukan?"
"Mmmm," Mbah Kasmirah mengangguk.

"Iya Kek." Kaia pun tersenyum menatap mata tajam Kakek Sanjaya, yang tersirat rasa khawatir di baliknya, "Kaia akan melepas mereka kalau Kaia selamat dari Ratu." Gadis cantik itu menganggukkan kepala, lalu berjalan menyusuri lorong kereta menuju ujung gerbong, tempat toilet berada.

"Mmmhhhh, Mbah Gowo..." Begitu di dalam toilet dan mengunci pintunya, Kaia melorotkan celananya lalu mengapit jenglot Mbah Gowo itu di antara kedua pahanya, "Makan yang banyak Mbah... Yang lainnya juga." Kaia melihat sekeliling. Bulu-bulu halus di tubuhnya mulai tegak merinding, "Bantu Kaia menghadapi yang selanjutnya..." Kaia menelan ludahnya lalu memejamkan mata.

Panggilan Ratu Laut SelatanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang