Part 10

101 13 0
                                    


BRUK!!!

"Maaf-maaf om," Yardan menunduk sembari meminta maaf pada orang yang tak sengaja ditabraknya. Laki-laki berjas itu hanya memperbaiki jasnya sembari mengatakan tak apa-apa dengan gerak tangannya.

"Kamu anak kelas berapa, jam pelajaran begini kok berkeliaran di luar?"

"Kelas duabelas Om. Saya dari toilet."

"Kenal Adhit?"

"Kenal banget Om. Kami sekelas."

"Katanya dia izin pulang karena sakit yah? Kamu tahu dia sakit apa?"

"Hm, tadi emang gak sengaja kakinya terkilir om, tapi dia ada di kelas kok. Belum pulang."

"Kelasnya mana? Bisa antar saya ke sana."

"Astaghfirullah, maaf jam tangan saya sepertinya ketinggalan di toilet Om. Hm, kalau om mau ke kelas, dari sini om bisa lurus-lurus aja di sebelah kanan ada kelas XII.1 itu kelas kami Om."

"Ohiya, oke terima kasih banyak yah. Ini..." ucapnya sembari menyodorkan selembar uang seratus ribu pada Yardan namun, segera ditolak.

"Gakpapa, ini uang jajan."

"Gak usah om, terima kasih banyak."

***

Adhit dan Didi dibuat terkejut saat mendapati Pak Rahadi sudah berdiri angkuh di depan kelasnya. Saat melihat putranya ia langsung menghampiri hendak memeluk. Sudah hampir tiga tahun mereka tidak bertemu seharusnya perjumpaan hari ini disambut hangat, tapi tidak begitu dengan Adhit. Ia malah terlihat marah dan menepis pelukan papanya.

"Ngapain di sini?" tanyanya datar.

"Adhit, sekolah kamu gak ngajarin sopan santun sama orangtua. Bukannya peluk papa."

"Sopan santun itu diajarin dari lahir sama orangtua, tapi aku gak pernah diaajarin tuh."

"Adhit... bisa beri papa waktu untuk ngobrol berdua sama kamu?"

"Aku gak ada waktu!" ucapnya ketus.

"Adhit! Sampai kapan kamu keras kepala begini? Kamu mau lari kemana juga tetap tidak akan mengubah fakta kalau kamu anak papa dan mama."

Adhit terdiam, Didi di sampingnya ikut menunduk.

"Ikut papa sekarang!" ucapnya sembari menarik lengan Adhit kasar.

"Awwwww!"

"Om, pelan-pelan! Kakinya Adhit sakit," refleks Ayesha berteriak.

Pak Rahadi baru menyadari saat menatap seksama tongkat yang diapit di lengan kanan Adhit.

"Kamu kenapa? Bandel? Berantem? Kamu emang harus pindah ke Jakarta. Di sini gak ngasi pengaruh baik sama kamu!"

"Cukup! Anda gak punya hak untuk ngurusin aku lagi."

"Adhit! Saya masih papa kamu, papa punya hak atas kamu."

"Om, Adhit gak berantem kok. Ini salahku," ucap Ayesha membela Adhit.

"Salahku juga om," Fazaira ikut-ikutan.

"Gak om, Adhit kayak gini karena salah saya," Didi ikut menyahut.

"Oh, jadi kalian semua yang menyebabkan anak saya begini? tapi saya terlanjur tidak percaya sama kamu. Sama gurumu saja kamu berbohong," ucap Pak Rahadi kepada Didi.

"Sudah, mereka gak ada yang salah kok. Ini murni karena kesalahanku sendiri."

"Hm, kelihatannya kamu sangat membela teman-teman kamu. Adhit, kalau kamu gak mau dengarin papa jangan salahin papa kalau terjadi sesuatu sama teman-teman kamu yang tukang bohong ini," bisik Pak Rahadi di telinga Adhit.

Adhit memejamkan matanya, ia tahu setiap kata-kata papanya sangat mudah untuk jadi nyata. Membuatnya menyesal dengan melakukan sesuatu kepada teman-temannya bukan hal yang rumit dilakukan oleh orang dengan banyak uang seperti papanya.

"Sekarang pilihan ada di tangan kamu. Mau ikut papa atau..."

"Oke!"

Adhit akhirnya menyerah dan memilih mengikuti apa kata papanya. Ia juga tidak mau temannya menyaksiakan mereka berdebat lebih lama.

"Di, tolong ambilin tas dong," pintanya pada Didi.

Saat Adhit berbalik, Yardan baru datang.

"Nah, teman kamu yang ini yang kasi tahu papa kalau kamu sebenarnya gak izin pulang, tapi ada di kelas," kata Pak Rahadi dengan nada yang bermaksud menyindir Didi. Didi hanya menunduk takut-takut.

Ayesha yang menyaksikan itu sedikit khawatir. Ia tahu Adhit tidak suka dengan suasana ini.

***

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang