Part 30

233 14 0
                                    

Aku menatap Yardan yang nyenyak sekali tidurnya. Hari ini aku menunggunya sendiri sebab mamanya kuminta pulang dulu untuk beristirahat di rumah saja. Kasihan, tante terlihat lelah sekali semalaman berjaga. Hari libur ini aku sedang tak ada kegiatan, setelah hari libur di minggu-minggu sebelumnya kuhabiskan dengan kesibukan lain dan tidak menemani Yardan maka kutebus hari ini dengan sengaja datang pagi-pagi untuk menemaninya seharian.

      "Selamat pagi, kawan semesta. Tidakkah kamu mau bangun sekarang? Istirahatmu sudah banyak. Kamu seharusnya bangun dan menemaniku. Tahu tidak, kemarin tanganku pegal sekali sebab harus menandatangani buku-buku yang banyak. Tapi aku tetap semangat sebab melihat semangat orang-orang yang mengantri. Mereka juga banyak meminta berfoto denganku. Meskipun tersenyum di depan kamera rasanya membuat rahangku pegal juga. Kalau kamu bangun, kamu boleh ikut sambil memotretku dari kejauhan. Eh, tapi jangan deh. Dari dekat saja. Jangan bersembunyi lagi, karena dimanapun kamu bersembunyi aku pasti akan menemukanmu. Cinta akan saling menemukan bukan?"

      "Kak, bisa minta tanda tangan?"

      Aku menoleh saat suara seseorang yang menyelinap masuk di ruangan Yardan tanpa kusadari merambat ke indra pendengaranku. Aku mematung di tempat, siapa yang sedang ada di hadapanku sekarang. Aku tidak sedang halu kan?

      "Kak, bisa gak nih? Kalau gak bisa, aku pulang aja deh," katanya lagi sembari menyodorkan buku Raja dan Ratu di genggamannya.

      Aku tidak menjawab, tapi langsung berdiri memeluknya kuat. Orang jahat ini ada di hadapanku, sedang memamerkan senyumnya yang sudah membuatku rindu. Aku seharusnya marah, menuntut dia yang tiba-tiba hilang tanpa seizinku, tapi aku malah menangis.

      "Jahat!" aku memukul lengannya, tapi dia hanya cengingiran seperti biasa.

      "Orang jahatnya datang, tapi raja tidak bisa menolong sebab sedang terbaring lemah," aku menoleh melihat Yardan seolah memberitahunya di sini ada Adhit yang pernah pergi, dia sudah pulang. Aku tahu dia juga pasti merindukannya. Tapi tunggu, mengapa Adhit mengatakan Yardan adalah Rajanya, bukannya dia yang mau menjadi Raja.

      "Faza datang!" Fazaira muncul di pintu sembari menenteng banyak sekali makanan. Kamu dengar, dia menamakan dirinya Faza, bukannya dia tak suka.

      "Kamu sama Ra udah ketemu?" tanyaku pada Adhit.

      "Faza yang telepon aku dan ngasi tahu kabar kalian. Terus dia juga yang jemput di bandara."

      "Yup, Faza!" ucapnya sembari tersenyum ke arah Adhit. Adhit membalasnya, ini ada yang aneh. Mereka damai.

      "Bukan Ra lagi?"

      "Faza lebih keren!" jawabnya mantap. 

      Aku tersenyum bahagia, senang sekali rasanya melihat mereka akur begini. Jika Yardan bangun, aku janji tidak akan mau berdebat lagi dengannya. Aku akan mengalah meskipun aku yakin sih, dia yang akan lebih dulu mengalah.

      "Yardan?!" ucap Adhit terlihat panik.

      Aku menoleh mengikuti arah pandangan Adhit, tangan Yardan bergerak.

      "Yardan? Tadi tangannya bergerak kan?" tanyaku untuk memastikan aku tak salah lihat. Fazaira dan Adhit mengangguk, aku memencet tombol yang ada di sebelah atas tempat tidur Yardan. Tak lama kemudian muncul seorang dokter diikuti dengan perawat yang datang untuk memeriksa keadaannya.

***

      Aku menemukannya setelah kehilangan yang membuat luka, aku berdamai dengannya setelah perdebatan yang panjang dan aku mencintainya setelah membencinya mati-matian. Episode hidup kemarin membuat aku banyak belajar menerima. Meskipun aku sangat suka rasa cokelat jika Akang penjual es krim itu sedang kehabisan rasa cokelat dan aku masih sangat ingin makan es krim, mau tidak mau aku harus makan es krim rasa stroberi meskipun aku tidak begitu menyukainya. Aku sadar hidup ini banyak rasa, aku boleh hanya menyukai rasa cokelat, tapi aku tidak boleh lupa kalau rasa cokelat tidak selalu ada. Aku harus belajar menyukai rasa lain. Berharap selalu bahagia, tapi tetap bersiap jika duka tiba-tiba menyapa. Semesta maafkan aku pernah menangis padahal aku tahu kamu tak suka itu. Dia juga ternyata tak suka, maka kuputuskan untuk tidak sering menangis lagi. Seperti yang kukatakan, esok masih rahasia, tapi semoga aku siap menghadapi kejutan-kejutan yang engkau berikan.

      "Ayesha!!!"

Itu masih namaku, kecuali Yardah. Dia masih saja nyaman memanggilku Aurora, aku tak masalah. Aku tersenyum melambaikan tangan ke arah Fazaira. Seperti biasa, wajahnya terlihat kusut, dengan langkah buru-buru menghampiriku. Ini pasti ada lagi yang membuatnya kesal saat rapat osis. Joni yang tadi dituntunnya kemudian dihempaskan begitu saja saat sudah berjarak beberapa meter di hadapanku. Aku ikut bangkit dari dudukku.

"Astaghfirullahal'adzim!!!" Suara Joni yang di hempasnya begitu saja memabuatku kaget.

Aku sengaja datang lebih dulu di pinggir telaga, melanjutkan cerita baru yang kumulai lagi sembari menunggu senja. Yardan dan Fazaira tadi ada rapat osis sedangkan Adhit, ia tak di sini. Sahabat kami itu kembali ke Jakarta lagi, tapi berjanji akan rajin mengunjungi kami.

"Woy! Tunggu!"

Eh, aku hampir lupa. Kami tidak hanya bertiga sekarang. Yang berteriak barusan itu Didi. Dia terlihat berkejaran dengan Arbian, memperebutkan bola basket yang tadi habis dipakai. Sejak waktu itu, kami lebih sering berlima. Semakin seru.

"Pulang!!!!" seru Fazaira saat aku baru saja hendak membalikkan badan, kembali menyaksikan siklus alam yang ditayangkan semesta. Sudah yah, aku pulang dulu.

***

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang