Part 25

72 11 0
                                    

Javier Yardan Abhista

Hai, namaku Javier Yardan Abhista, orang biasa memanggilku Yardan, tapi mungkin kamu lebih mengenalku dengan sebutan Si Freezer. Iya, itu nama yang disematkan Aurora untukku. Tak apa, aku tidak akan memintanya memotong kambing sebagai denda karena sudah mengganti namaku semaunya sebab aku tidak ingin ia repot-repot. Mungkin aku orang yang sangat dibencinya, tapi aku adalah orang yang sangat menyayanginya. Hanya saja aku tidak tahu cara yang tepat untuk membuatnya tersadar bahwa aku punya rasa yang lebih untuknya.

Sejak kapan aku menyimpan rasa ini sendiri? Jawabanya sejak pertama kali bertemu dia. Kami bertemu di hari perkenalan sekolah. Sejak dia menatapku biasa saja ketika gadis lain menatapku takjub. Saat mengetahui bahwa kami ternyata berada di kelas yang sama, aku rasa semesta mengizinkan aku mempunyai cerita bersamanya. Namanya Ayesha Aurora Dipta nama yang indah bukan. Katanya ia bisa dipanggil Ayesha, tapi apa boleh aku memanggilnya Aurora saja. Dia seperti Aurora. Indah.

Di hari pertama sekolah, aku dibuat terkejut oleh Fazaira, sahabat Aurora. Ia tiba-tiba berdiri di atas meja lalu membacakan puisi yang indah yang katanya untukku. Sebenarnya malu juga saat gadis nekat itu melakukan aksinya, tapi aku harus tetap tenang. Aku menghampiri dia lalu mengajaknya ke tempat yang jauh dari keramaian. Teman-teman yang lain sudah bersorak membuat telingaku rasanya terganggu.

"Puisinya keren," pujiku.

"Serius?" pekiknya girang. Aku hanya mengangguk, dengan ekspresi datar seperti biasa.

"Kamu buat sendiri?"

Dia terdiam sebentar. Lalu menjawab jujur.

"Bukan. Ini itu puisi yang dibuat sahabatku. Dia jago banget bikin puisi. Puitis orangnya. Namanya Ayesha." Gadis itu lagi.

Fazaira mengingatkanku pada Dea, adik kandungku yang meninggal beberapa bulan yang lalu. Kami hanya dua bersaudara. Papa seorang tentara dan mama istri yang baik. semula kami adalah keluarga kecil yang bahagia sebelum akhirnya mama berubah setelah menerima telepon yang mengatakan putrinya meninggal sebab kecelakaan. Dea meninggal dan mama mengalami tekanan batin. Dea gadis ceria seperti Fazaira.

"Kamu mirip adik saya."

"Benarkah? Nanti aku dikenalkan yah."

"Sayangnya dia meninggal beberapa bulan yang lalu," jawabku yang membuat wajahnya berubah sendu.

"Maaf Yardan. Aku gak bermaksud."

"Gakpapa. Terima kasih untuk puisinya, tapi bisakah kamu menjadi seperti adik saya saja? Saya janji akan menjaga kamu."

Mata Fazaira terlihat berkaca-kaca, tapi bibirnya tersenyum kemudian dia mengangguk cepat. Kami terdiam cukup lama, sampai akhirnya Fazaira berteriak heboh lagi. Aurora dan seorang teman laki-laki sudah berdiri tak jauh dari kami. Aurora tersenyum ke arah Fazaira sembari melambaikan tangan kemudian datang menghampiri kami dan jadilah kami berkenalan siang ini. Teman laki-laki itu bernama Adhitama.

Kami menjalin pertemanan, kemana-mana selalu berempat, tapi ada yang aneh dengan pertemanan kami. Selalu ada perdebatann antara aku dan Aurora juga sering terjadi perkelahian antara Fazaira dan Adhit. Tapi aku tetap bersyukur karena bisa menghabiskan waktu bersama mereka. Sebenarnya aku tak paham ada masalah apa dengan Aurora, dia seperti sangat membenciku padahal aku tidak merasa mempunyai salah padanya. Hanya saja aku memang hobi membuatnya kesal sebab saat kesal ia terlihat lebih lucu. Tak ada yang tahu perihal rasaku kepada Aurora kecuali Didi yang tak sengaja melihatku memesan jus alpukat tanpa gula untuknya. Karena sering bersamanya aku tahu banyak tentang dia. Dia yang sebenarnya merasa terancam dengan nilaiku, dia yang hobi menulis cerita, dia yang menyukai bunga matahari, dia yang menyukai cokelat, dia yang menyukai jus alpukat tanpa gula juga dia yang menyukai sepi.

Aku berhasil menjadi orang yang mencintainya sendiri sampai hari ini, di tahun kedua kami bersekolah. Aku menikmati rasa yang sudah muncul sejak lama, sampai saat ini aku tidak ada niat untuk mengungkapkannya sebab aku tahu Aurora mencintai Adhit, orang yang selalu ada untuknya dan orang yang membuatnya selalu tersenyum berbeda dengan aku yang hanya bisa membuatnya kesal. Tapi sebenarnya aku juga selalu ada untuknya hanya saja bersembunyi dari kejauhan. Tugasku hanya memastikan dia aman.

Flashback

Hari ini aku akan pulang terlambat sebab ada rapat osis dulu. Saat hendak menuju ruang osis aku tak sengaja melihat Aurora yang sedang duduk di taman sekolah. Aku tersenyum melihatnya yang serius membaca novel tebal yang sering dibawanya. Karena berdiri melamun aku sampai tak sadar gadis yang sedang ku tatap dari kejauhan meringis sebab bola basket yang keras tiba-tiba menghantam kepalanya. Aku hendak berlari ke arahnya tapi, Adhit lebih dulu sampai di sana. Langkaku urung, aku melihat Adhit menghampiri Reza dan kawan-kawannya di lapangan basket. Mereka berdebat, amarah jelas tampak di wajah Adhit, aku merasa perlu untuk melerai mereka sebelum terjadi perkelahian.

Sebenarnya masalah ini tidak perlu dibesar-besarkan andai saja Reza mau merendah sedikit dan membiarkan temannya meminta maaf pada Aurora. Tapi bukannya meminta maaf Reza malah menyalahkan Aurora dalam hal ini. Setelah Adhit dibawa pergi oleh Aurora aku yang memang sudah teramat kesal, tak terima Aurora yang disalahkan memukul Reza kuat, membuatnya meringis sebab luka yang diciptakan pukulanku di sudut bibirnya. Karena amarah yang tidak bisa kutahan lagi, aku malah membuat kesalahan menerima tantangannya untuk bertanding three on three dengan mereka.

Aku mengatakan hal ini pada Adhit. Dia tak masalah kami bersama kawan kami bernama Didi akan melawan Reza dan teman-temannya. Kami sengaja tidak mengatakan pada dua gadis yang selalu bersama kami sampai akhirnya hari H tiba. Seperti yang kuduga, Reza selalu saja berbuat curang. Saat kami sudah hampir menang, ia dengan sengaja membuat kaki Adhit cedera. Aurora sangat marah dan parahnya aku yang disalahkan. Sebenarnya kesal juga saat melihatnya begitu khawatir pada Adhit dan malah marah padaku, ini bukan salahku. Seharusnya dia melihat itu. Ditambah lagi aku yang memang tidak tahu apa-apa jujur saja saat ditanya perihal Adhit oleh papanya waktu itu. Kedatangan papa Adhit untuk membawanya pergi.

Adhit benar pergi dan Aurora terluka. Merasa kehilangan yang teramat. Mereka memang terlalu dekat. Aku tahu Adhit juga berat untuk meninggalkan, tapi kurasa keputusannya sudah tepat, dalam kondisi ini mamanya lebih membutuhkan dia. Alasannya untuk tidak memberitahu Aurora menurutku juga sah-sah saja sebab jika ia berpamitan aku memang tak yakin ia bisa rela untuk meninggalkan. Sebelum pergi, Adhit menitipkan Aurora untukku dalam hati,Meskipun tidak kamu suruh, aku akan menjaganya. Sekalipun dia tidak ingin dijaga Dhit.

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang