Pagi ini aku bangun lebih semangat dari biasanya, aku tak akan naik metro mini lagi sebab aku sedang berusaha ikhlas. Aku tidak mau membuat semua orang yang menyayangiku khawatir seperti kata Yardan semalam. Pagi ini aku akan berangkat bersama Joni.
"Pagi, bunda," sapaku sembari memeluk bunda dari belakang.
"Pagi sayang. Nah, gitu dong. Queen bunda harus semangat. Gak boleh sedih-sedih lagi. Oke?" katanya kemudian mengecup keningku lama. Aku kemudian duduk, meneguk cokelat hangat yang sudah disiapkan bunda. Aku menatap kursi kosong di hadapanku, seolah berbicara pada Ayah yang seharusnya duduk di sana.
Ayah, Adhit pergi dan tak ada lagi laki-laki yang akan menyayangiku seperti dirinya. Aku minta izin untuk melupakannya dan aku harap Ayah memaafkan dia karena akhirnya dia mematahkan janjinya pada Ayah. Dia pernah berjanji untuk tidak membuatku menangis, tapi dia ingkar.
"Yesha..." bunda menyentuh lenganku lembut.
"Iya bunda?" bunda menatapku sembari menggeleng seolah tahu apa yang sedang kulakukan. Halusinasi.
"Yardan baik yah," bunda membuka obrolan.
"Kalau ada maunya."
"Semalam datang ke rumah apa maunya?"
Aku terdiam. Aku juga sebenarnya belum tahu pasti tujuan Yardan membawa buku tugasnya untukku tadi malam. Bukannya dia membenciku, seharusnya dia membiarkanku tidak mengerjakan tugas kemudian bahagia melihat aku akan dihukum Bu Emi, tapi dia tidak melakukannya. Apa aku boleh menyebutnya baik? Tidak, dia tetap menyebalkan. Titik.
"Hari ini kalian akan berangkat bersama kan?" tanya bunda saat pertanyaanya tak kujawab. Aku menggeleng sembari mengunyah potongan roti dengan selai cokelat di dalamnya.
"Itu...." ucap bunda sembari menunjuk ke arah pintu.
"Asslamu'alaikum!"
Sejak kapan mereka ada di sana, Fazaira, Yardan dan juga Didi. Aku menatap mereka dengan ekspresi bingung.
"Sini masuk-masuk. Sarapan dulu yuk," ajak bunda. Fazaira sudah berlari kecil menghampiri kami dan mengambil posisi duduk di sampingku. Didi duduk di samping bunda dan mau tidak mau Yardan duduk di kursi Ayah. Aku bersyukur, Yardan kelihatan baik-baik saja pagi ini, jadi aku tidak perlu khawatir mamanya memarahiku.
"Kalian kok di sini?" tanyaku.
"Kita mau jemput kamu. Biar bisa berangkat bareng," jawab Didi.
"Naik mobil? Gak mau."
"Gak naik mobil kok," jawab Fazaira.
"Naik metro mini? Hari ini aku gak akan naik metro mini."
"Memang gak usah naik metro mini," jawab Yardan.
"Lalu?"
Mereka memang selalu punya cara untuk membuatku merasa tidak sendiri. Sepertinya beberapa hari yang lalu aku sudah keterlaluan membuat mereka khawatir dengan keadaanku. Kali ini aku tidak akan menolak sebab kami akan berangkat bersama menggunakan sepeda. Aku bersama Joni dan mereka dengan sepeda masing-masing. Jika Adhit ada di sini dia pasti akan sangat bahagia, tapi aku tidak perlu lagi mengingat tentang Adhit sekarang. Bukannya aku sudah berjanji untuk belajar ikhlas. Ikhlas kehilangannya, meskipun tak mudah. Semoga aku bisa.
Mengayun sepeda dari rumah sampai sekolah ternyata lelah juga padahal aku tidak sedang membonceng beban di belakang jadi, benar selama ini kata bunda bahwa aku selalu menyusahkan Adhit. Mengapa dia tak pernah protes atau mengeluh lelah setiap hari harus memboncengku ke sekolah. Kami sampai di gerbang sekolah sebelum gerbangnya tutup, estimasi waktu yang kami perkirakan untuk sampai ternyata lebih cepat.

KAMU SEDANG MEMBACA
R A S A
Teen FictionKisah ini tentang Ayesha, si gadis penyuka sepi namun juga bukan pembenci ramai. Bersama sahabat-sahabatnya kisah SMA dilaluinya dengan banyak cerita. Prinsipnya laki-laki idaman itu yang seperti ayah, humoris dan romantis. Jadi, jangan heran jika a...