Part 19

77 13 0
                                    


Langit gelap tanpa bintang juga angin sejuk teman berbisik tentang rindu datang menyapaku pelan-pelan. Bisa kutebak, sebentar lagi langit akan menangis lalu tumbuhan akan kedinginan malam ini sebab diguyur air matanya. Aku menikmati semesta berdua bersama sepi sebelum akhirnya kuputuskan untuk beramai-ramai. Mengajak buku catatan pribadiku yang sudah menipis juga pena dengan tinta yang semakin sedikit. Tak lupa kuhadirkan rasa agar malam gelap ini ada sedikit warna. Kuuntai kata dari kepala, memasukkannya dalam hati agar ia bercampur rasa. Kubaca sekali lagi, tapi aku sendiri sulit mengerti.

KRING! KRING!

Aku melangkah memasuki kamar, mencari ponsel yang memang tak intens ku gunakan. Aku selalu menghindari menyentuhnya karena jika tidak, aku akan terperangkap dan susah lepas bahkan aku pernah memohon pada Tuhan agar benda canggih yang banyak membuatku lalai itu dihilangkan saja dari bumi. Aku lebih menyukai buku dibanding dia. Setidaknya setelah menunduk lama membaca buku kepalaku akan dipenuhi ilmu.

KRING! KRING!

Aku sudah menggengam ponsel itu, menatap nama yang ada di layarnya tanpa bermaksud menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilannya.

KRING! KRING!

"Halo?"

"Tugas Matematika halaman 102 kerjakan 40 nomor. Besok Bu Emi di jam pertama yang tidak mengumpulkan bisa keluar kelas. Sekarang kerjakan, jangan kebanyakan melamun. Sudah yah, saya tutup."

Aku menjauhkan ponsel dari telingaku, mengingat-ingat apa yang baru saja dikatakan oleh lawan bicaraku lewat telepon tadi. Astaghfirullah! Besok hari jumat. Benar, ada tugas matematika. Mengapa aku sampai lupa begini.

Aku yang semula duduk bersantai dengan segelas susu cokelat di balkon kamar, berlari mencari buku matematika. Aku harus menyelesaikannya sebelum malam terlanjur larut dan kantuk tidak lagi bisa kutahan. Tapi dimana bukuku?

"Ya Allah!" pekikku frustasi.

Aku meraih ponselku bermaksud menghubungi Fazaira, tapi ternyata aku tak punya pulsa yang cukup. Kuotaku juga sedang habis. Maka kuputuskan turun menemui bunda untuk meminjam ponselnya.

Tok...tok...tok!

"Bunda, Yesha boleh masuk gak?" izinku saat tiba di depan pintu kamar berwarna cokelat itu. Tak ada jawaban dari bunda, mungkin sudah tidur. Aku langsung saja membuka pintu kamar bunda yang memang tak dikunci.

"Bunda..." panggilku.

"Hmmm, kenapa sayang?" tanyanya sambil menyipitkan mata saat cahaya kamar kunyalakan.

"Boleh pinjam hape? Ada pulsanya kan bunda?"

"Kamu mau ngapain?"

"Mau telpon Ra, bunda. Yesha harus selesakan tugas, tapi bukunya ada sama dia."

"Duh, Yesha. Harusnya itu kamu ngurusin itu dari tadi, bukan tengah malam begini. ini... ini. Kamu nelpon di luar. Matikan lampu dan tutup pintu kamar bunda," ucap bunda dengan nada mengomel.

"Iya bunda."

Aku mengambil ponsel bunda lalu keluar. Aku menelpon Fazaira, tapi tak diangkat. Sekali lagi, tapi tetap tak diangkat. Aku melirik jam dinding di ruang keluarga, sudah pukul sebelas malam lewat, mungkin Fazaira juga sudah tidur. Duh, bagaimana nasibku besok kalau tidak mengejarkan tugas malam ini. Nilaiku bisa anjlok dan cita-citaku yang banyak itu akan sulit kuwujudkan.

Mengapa aku sampai lalai begini, jika tidak diingatkan Yardan mungkin aku masih lupa. Yardan? Apa dia masih terjaga malam-malam begini? mungkin dia bisa membantuku.

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang