Part 22

77 10 0
                                    


Flashback

Angin menyapa pelan-pelan. Iya pelan, namun sudah mampu memisahkan daun dari rantingnya, membuatnya jatuh lalu terinjak oleh kaki-kaki mungil yang asik berlarian di hadapanku. Eh, ralat. Ada kaki yang tak mungil lagi. Itu milik sosok yang selalu ada untukku, membuatku selalu merasa seperti ratu. Dia orang kedua setelah bunda yang akan memarahiku saat kaki ku salah berpijak. Orang kedua setelah bunda yang memelukku kala terluka dan orang kedua setelah bunda yang selalu mau kubuat bangga. Dia orang yang selalu menyayangiku seperti ayah tanpa memintaku mengganti posisi ayah di hatiku. Dia Adhit, sahabat terbaikku.

"Yesha! Sini," panggilnya.

Aku tersenyum, menghentikan aktivitas tarian pena di atas kertas buku kecilku. Kumasukkan benda itu di dalam tas mini yang sedang kukenakan. Aku bangkit lalu menghampiri mereka. Sedari tadi Adhit asik bermain bersama anak-anak yang hampir tak pernah absen datang ke taman setiap sore seperti ini.

"Ada yang Reno mau tunjukin loh kak Yesha," ucap Adhit sembari memberi kode pada anak kecil imut bernama Reno.

"Ohya, apa? Coba kakak lihat," kataku sembari menatapnya yang malu-malu.

Ia beberapa kali menggeleng, tampak malu. Namun, dibujuk Adhit dan dipaksa teman-temannya.

"Reno....Renoo...Renoo...Renoo..." teman-temannya bersorak sembari bertepuk tangan sebagai tanda dukungan.

"Ayo Reno! Kakak Yesha udah penasaran nih," kataku yang sebenarnya memang benar penasaran.

Orangtua mereka yang duduk tak jauh dari kami ikut memperhatikan dengan senyum mengembang. Mereka sudah sangat mengenal kami -aku dan Adhit- sebagai teman bermain anak-anak mereka. Reno menyembunyikan tangannya di dalam topi seperti Pak Tarno yang akan memulai sulap.

"Kosong yah... kosong yah!" teriaknya semangat

"Satu... dua... tiga...." aku pura-pura tersipu saat jari telunjuk dan ibu jari yang membentuk love diarahkan padaku. Sebelum akhirnya aku dibuat terpingkal-pingkal sebab ekspresinya yang begitu menggemaskan. Bisa kupastikan ini ulah Adhit yang usil. Bukan hanya aku, pasalnya Adhit dan ibu-ibu yang menyaksikan tingkah anak kecil itu juga dibuat tertawa. Kami menghadiahinya tepuk tangan dan senyum lebar setelah dia membungkuk sedikit sebagai tanda hormat saat usai melakukan aksinya.

"Wah, hebat. Diajarin gitu sama siapa?" tanyaku saat sudah sempurna berjongkok di hadapannya. Kulihat dia menatap Adhit namun, Adhit memberinya kode untuk tidak menunjuk dirinya sebagai pelaku.

"Bang Adhit," ucapnya jujur.

"Gak...gak...gak! bukan Bang Adhit kok," jawab Adhit pura-pura mengelak.

"Kata Kak Yesha, kita gak boleh bohong. Nanti masuk neraka terus dibakar apiiiiiii," timpalnya dengan ekspresi yang masih menggemaskan.

"Kapan Kak Yesha ngomong gitu?" tanya Adhit. Reno terdiam, mencoba mengingat.

"Waktu Reno, sembunyiin ikat Rambut Nina," jawabnya malu-malu. Lagi-lagi ekspresinya membuat kami tertawa.

Orangtua mereka datang menghampiri kami dengan sisa-sisa tawa di wajahnya. Mama Reno memeluk anaknya dengan bangga.

"Terima kasih banyak yah, Yesha. Kamu sudah menjadi teman anak-anak kami sekaligus guru buat mereka."

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang