"Kalian kok lama banget sih? Ayo dong pulang!" ajak Adhit yang sudah berdiri di hadapan kami. Aku menatapnya tak semangat.
"Eh, mukanya kok ditekuk? Yardan kamu apain Ayeshaku?" Yardan menggelengkan kepalanya seolah tak tahu apa-apa. Apa dia belum mengerti juga karena ulahnya novel baruku harus kusaksikan tenggelam di air. Jika dia menurut sekali ini saja untuk tidak bergerak aku pasti bisa menyelamatkan buku itu.
"Yasudah, ayo pulang!" ucapnya sembari menarik tanganku lembut. Andai Yardan semanis Adhit.
Flashback
Terik menyerang teramat garang, angin yang menyejukkan juga tak datang, cuaca sungguh tak ada ramah-ramahnya siang ini. Aku melangkah tergesa-gesa melewati lapangan yang gersang. Harus cepat, di sini bertebaran debu yang berpotensi membuat wajah usang. Untuk meminimalisir serangan debu, aku berjalan sembari menutup wajah. Melihat jalan hanya lewat celah-celah jari yang sedikit kubuka.
"BRUKKK!" Ah, sial. Aku melakukan kesalahan. Pelan-pelan kusingkirkan telapak tangan dari wajah. Kulihat seseorang sudah tersungkur di tanah karena ulahku, aku menabraknya dari belakang.
"Maaf," ucapku takut-takut. Orang yang kutabrak bangkit sendiri sembari menepuk-nepuk membersihkan seragamnya. Oh Tuhan, apa aku harus masuk ruang BK di hari pertama sekolah. Ini pasti akan sangat memalukan.
"Maaf yah," ucapku sekali lagi. Bunda selalu mengajari cara meminta maaf jika memang merasa bersalah. Merendah sedikit dan tersenyum sedikit. Itu sudah kuaplikasikan tetapi orang di hadapanku hanya menatap datar dengan kening berkerut. Aku dibuat bingung, apa aku kabur saja dari hadapannya, tapi itu tidak mungkin kulakukan. Bagaimana jika dia melapor pada guru lalu wajahku ditempel di mading sekolah dengan tittle "Siswa Baru yang Tidak Bertanggung Jawab".
"Hei!" aku terbangun dari lamunan ketika petikan jarinya tepat di depan wajahku. Melihat aku dengan ekspresi kaget yang tidak dibuat-buat, ia tertawa renyah. Aku terkesiap, jantungku memburu saat suara tawanya menjalar sampai ke indraku. Terlalu lebay jika kukatakan tawanya merdu, memang bukan itu. Hanya saja ada yang berbeda dengan tawanya, ia mampu membuat hatiku tiba-tiba menghangat.
"Kamu memang hobi melamun yah," ucapnya yang masih menyisakan tawa.
Aku menunduk, menatap ujung sepatu sebagai pemandangan satu-satunya. Mengapa aku terlihat bodoh sekarang. Kukuatkan hati lalu kulemparkan senyum ramah kepadanya.
"Sekali lagi aku minta maaf yah, tadi itu aku sengaja tutup wajah karena takut kena deb... Astaghfirullah!" aku kembali menutup wajah, sedari tadi aku membuat wajahku diterpa debu bermilyar-milyar. Tawa orang di hadapanku kembali pecah saat menyaksikan tingkahku. Kuintip ia dari balik jemari. Semesta, pelankan waktu aku suka melihat tawanya.
"Ya sudahlah. Percuma juga sekarang," ucapku yang tidak lagi menutup wajah. Aku hanya terseyum kikuk membalas sisa tawa di wajahnya. Ia mengulurkan tangan mengajakku berkenalan.
"Adhitama, panggil Adhit aja," ucapnya. Aku membalas ulurannya mengucapkan namaku tanpa terbata-bata.
"Jadi, aku sudah dimaafkan?" sambungku.
"Tapi ada syaratnya," katanya yang membuatku berkerut kening.
"Temani aku mencari kelas yah, aku murid baru terlambat pula. Bingung juga kelas sepuluh satu dimana."
"Oh, cuman itu. Aaashiiaaappp! Aku tau kelasnya. Kelasku juga betewek," ucapku bersemangat. Kami berjalan beriringan, dia bercerita kalau dia orang baru di Bandung pindahan dari Jakarta jadi, jangan heran kalau aku kagum padanya sejak pertemuan pertama. Tipeku memang berkelas, seperti anak-anak Jakarta misalnya.
***
Hujan menyapa, namun tak sampai basah. Hanya rintik beberapa yang jatuh di permukaan tanah. Aku menyaksikannya di balik jendela rumah. Ingin sekali membalas sapa, namun aku diwanti-wanti tak boleh keluar oleh bunda. Karena terlambat pulang dari telaga sore tadi, aku mendapat hukuman. Ditambah lagi mulut cerewet Fazaira terlalu jujur pada bunda. Ah, lengkap sudah, aku tak bisa membela diri.
"Ayesha, ayuk makan," bunda muncul di pintu kamarku. Mungkin tadi mengetuknya, tapi tak kudengar karena asik melamun. Aku tersenyum kikuk, rasa bersalah masih menyerangku. Beberapa jam yang lalu bunda sangat kecewa pada putrinya yang manis ini. Aku berjalan sembari menunduk, tak berani menatap bunda. Jika marah, wanita yang melahirkanku itu akan terlihat jahat sekali.
"Jangan menunduk queen, nanti mahkotanya jatuh." bunda mencoba menggoda aku yang sekarang terlihat seperi anak kucing yang ketahuan mencuri tulang ikan.
Aku jelas sumringah, bunda tak lagi marah. Aku melompat memeluk tubuhnya seperti biasa, bergelayut manja seperti bocah. Meskipun sekarang usiaku sudah 17 tahun, bunda tak pernah masalah dengan sikapku. Bahkan, katanya aku boleh manja dengannya sampai tua.
"Bun, habis makan Ayesha boleh yah keluar di balkon kamar. Mau cari angin," bujukku saat sudah di meja makan.
"Ayesha, di kamar kamu kan udah dingin. Udara di luar tidak baik buat kesehatan." Aku memilih diam, tak mau membuat emosi bunda naik lagi. Aku harus menjadi anak baik malam ini, harus menurut pada bunda.
Aku menyantap masakan bunda meskipun rasanya selalu saja ada yang kurang saat duduk di meja panjang dengan lima kursi ini. Aku selalu membayangkan seharusnya di situ ada ayah dengan gelas besar berisi kopi hitam, di samping bunda ada adek yang merengek minta dipisahkan ikan dari tulangnya dan di sampingku harusnya ada adik pertamaku yang asik bercerita tentang sekolahnya.
"Astaghfirullahal'adzim! Berangan-angan lagi?" bunda membuyarkan lamunanku, ini sering terjadi di meja makan saat aku terlalu khusyuk dan tidak ada cerita seru yang kubawa pulang untuk bunda.
"Bagaimana sekolah hari ini?" bunda mencari topik.
"Masih sama dengan yang kemarin, bun. Adhit dihukum karena membuat adik kelas berantem lalu Fazaira menertawakan dan alhasil mereka beradu mulut," jawabku tak semangat. Hampir setiap hari aku harus menyaksikan perdebatan mereka bahkan hanya untuk hal-hal yang kecil masih mereka perdebatkan.
"Bagaimana dengan Yardan?" tanya bunda lagi.
Bahuku semakin merosot, mengingat manusia yang satu itu selalu membuat nyali yang kubangun sedemikian rupa menjadi kerdil dan tak terlihat. "Nilainya masih lebih tinggi dari nilai Yesha."
"Ingat! Kalian berlomba dan menjadi yang terbaik bukan bertarung dan saling menjatuhkan," bunda tersenyum tulus, mengelus pundakku pelan seolah memberi kekuatan. Yah, aku membalas tersenyum agar terlihat benar-benar kuat. Padahal, hatiku sedang mengutuk Yardan habis-habisan. Jika saja bukan karena Fazaira, mungkin sudah kupecat dia dari deretan orang yang kukenal.
![](https://img.wattpad.com/cover/220255805-288-k565001.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
R A S A
Подростковая литератураKisah ini tentang Ayesha, si gadis penyuka sepi namun juga bukan pembenci ramai. Bersama sahabat-sahabatnya kisah SMA dilaluinya dengan banyak cerita. Prinsipnya laki-laki idaman itu yang seperti ayah, humoris dan romantis. Jadi, jangan heran jika a...