Part 2

300 18 0
                                    


Flashback

Panas terik tak bersahabat, suara bising yang memekikkan koklea dan amarah tanpa sebab yang semakin berapi-api.

"Ini kok kakak kelas kayak orang utan yah, Ra. Teriak-teriak mulu dari tadi. Gak takut pita suaranya bermasalah apa," bisikku pada sahabatku yang sedari tadi terlihat sudah sangat lelah. Penampilannya berantakan, sampai-sampai ciput hitam yang dikenakannya miring ke kanan. Aku tidak menegur, dalam keadaan seperti ini emosinya pasti mudah terbakar.

"Saya doakan laringnya cedera!" ucap seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping kami. Wajahnya datar dengan postur tinggi kurus, rahangnya tegas dengan hidung mancung dan bulu mata lentik, kulitnya putih bersih mirip kulit oppa-oppa korea yang fotonya digantung di kamar Fazaira. Hampir sempurna, namun melihat ekspresinya yang mirip emotikon yang kukirimkan bunda saat lapar, semuanya menjadi tidak berarti apa-apa. Aku menyukai laki-laki yang ramah, dia bukan tipeku.

"Aamiin! Aku juga doakan mereka masuk neraka!" teriak Fazaira sembari menatap lelaki datar di samping kami dengan tatapan yang menurutku 'menjijikkan'. Dia terpesona? Oh ayolah, kata bunda laki-laki yang tak pandai tersenyum tidak akan bisa membuatmu tersenyum. Makanya bunda memilih ayah yang humoris sebagai suaminya. Meskipun ayah lebih dulu pergi, setidaknya tahun-tahun bersama ayah sangat bunda nikmati. Ayah selalu memberi kebahagiaan yang bunda inginkan seperti janjinya sebelum menikah.

"Tidak usah mendoakan orang lain dulu, doakan diri kalian selamat saja sekarang!" Aku dan Fazaira menunduk, mengutuk kata-kata laknat yang kami ucapkan. Sedangkan lelaki datar di sebelah kami membalas tatapan tajam dua orang senior laki-laki yang sudah berdiri angkuh.

"Tunduk!" perintahnya.

"Lawan bicara saya ada di depan, bukan di bawah!" aku mengangkat kepala, tercengang mendengar kalimat yang baru saja meluncur dari bibirnya. Fazaira bahkan sudah bertepuk tangan. "hebat!" pujinya.

"Berhenti!" seorang kakak kelas menunjuk tajam ke arah Fazaira.

"Jangan berhenti!" lelaki datar itu lagi-lagi menentang, ia bahkan ikut bertepuk tangan tak kalah kerasnya dengan Fazaira. Entah mengapa keberanian dalam diriku juga muncul tiba-tiba. Aku tersenyum, ikut bertepuk tangan, tatapan tajam mereka juga kubalas tak kalah tajamnya. Tiga orang ...empat orang...tujuh orang...sembilan orang.... dan akhirnya semua orang ikut bertepuk tangan. Kami melawan penindasan.

"Kami ini mau belajar bukan mau latihan militer!" teriakku tegas.

"Betul!" seru Fazaira yang juga diikuti yang lainnya.

"Dasar manja!" ucap seorang dari mereka lalu pergi.

Oh, Tuhan. Apa yang baru saja terjadi? Aku tiba-tiba menjadi pemberani. Apa boleh aku menyebut diriku pahlawan untuk diriku sendiri. Ini hebat sekali, bunda akan sangat bangga pada putrinya. Semua bubar, embel-embel yang dikenakan sudah dilepas. Kami berhasil memberantas pembodohan.

"Dimana guru-guru saat kekerasan yang seharusnya tidak diterapkan malah terjadi di sini."

"Aku juga bingung, mungkin ini perintah guru." Kudengar bisik-bisik dari mereka yang juga belum paham seperti diriku.

"Hari ini hari minggu, hari libur. Orang-orang yang tadi menindas adalah orang-orang yang dipercaya oleh guru untuk membantu kita lebih mengenal lingkungan sekolah, tapi kepercayaan itu disalah gunakan. Tindakan kita sudah benar, mencegah mereka masuk ruang BK. Jika, guru tahu mereka akan dapat masalah." itu suara lelaki datar tadi. Ia ada di tengah kerumunan siswa lain, entah darimana penjelasan itu ia dapatkan. Tapi terdengar tidak mengada-ngada dan masuk di logika.

Aku mencari keberadaan Fazaira, hendak mengajaknya pulang. Namun, batang hidungnya tak juga kutemukan. Ternyata, dia ada di barisan depan yang mengelilingi lelaki datar itu, sudah kuduga. Mengajaknya pulang secara baik-baik rasanya tidak mungkin, maka kupilih jalan lain. Kuseret ia menjauh dari sana, memaksanya pulang bersamaku. Aku sudah tak sabar menceritakan hal menakjubkan ini pada bunda.

***

"Orangnya guaannteeng banget bunda."

"Gak, bund. Biasa aja."

"Postur tubuhnya pas."

"Terlalu tinggi."

"Gak gendut, gak kurus."

"Mata kamu katarak yah, Ra? Jelas-jelas kurus begitu dibilang gak kurus," ucapku saat rasa kesal sudah sampai di ubun-ubun. Fazaira terus menceritakaan tentang lelaki datar itu dan sialnya bunda mau saja mendengarkan celotehnya. Semua yang ingin kuceritakan pada bunda diterbangkan angin sore ini, tentang aku yang pemberani tidak akan seberapa di mata bunda sebab ia sudah sangat percaya dengan cerita Fazaira. Kulihat dari binar matanya, bunda juga mengagumi lelaki datar itu seperti Fazaira.

"Oke, sekarang Ayesha yang cerita. Hal hebat apa yang ingin diceritakan pada bunda?" bunda mengarahkan pandangan kepada aku yang sudah memperlihatkan wajah kusut minta disetrika.

"Gak jadi!" jawabku datar.

"Iya bunda, gak jadi. Tadi itu Ayesha juga pasti mau cerita tentang laki-laki itu, tapi semua bagian sudah kuceritakan," timpal Fazaira diikuti cengengesan yang menjengkelkan.

"Auuu ahhh!" ucapku singkat lalu bangkit dari kursi ruang keluarga menuju kamar. Fazaira ikut mengekor di belakangku. Menarik ujung jilbab yang kukenakan usil.

"Apaan sih, Ra?" aku berbalik, lelah dengan tingkahnya yang sedari tadi menggangguku.

"Bikinin puisi," jawabnya dengan nada memohon. Aku diam melongo, sejak kapan dia suka puisi. Bukannya setiap aku membuat puisi dia akan berkomentar seperti haters. Norak, jadul, lebay, etc.

"Bukannya kepsyen puisi di sosmed itu lebay, kenapa gak pakai kepsyen keren yang berbahasa inggris hasil translate om gugel," ucapku meledek.

"Ihh, ini bukan buat kepsyen di sosmed. Aku mau buat puisi untuk pangeranku," jawabnya yang membuatku sedikit geli.

"Si muka tembok yang tadi? Ya sudah bikin sendiri. Jangan minta aku yang bikin. Aku gak bakal mau. Titik," ucapku final lalu berlalu meninggalkannya.

Beberapa saat kemudian ia datang lagi, menggangguku yang sedang asik membaca novel. Permintaannya masih sama, minta dibuatkan puisi dan jawabanku belum berubah, "Gak mau!" aku tenggelam dengan bacaanku dan tak lama kemudian hilang kesadaran karena teramat lelah, aku tertidur.

Aku membuka mata saat suara azan di masjid dekat rumahku sudah berkumandang, jendela kamarku juga sudah tertutup, bunda beberapa kali masuk membangunkank, namun pura-pura tak kudengar.

Kupandang sekeliling, sepi. Fazaira pasti sudah pulang. Aku keluar kamar menghampiri bunda yang sudah siap dengan mukenahnya.

"Bun, Fazaira sudah pulang dari tadi?" tanyaku yang dijawab anggukan oleh bunda.

"Hmm, pasti besok kita marahan lagi," ucapku lesu.

"Loh, kenapa? Tadi bunda liat Fazaira seneng-seneng aja pas pulang."

"Seneng bunda?" tanyaku bingung.

"Iya, dia juga titip terima kasih sama kamu. Bunda juga bingung."

"Habis ngapain dia," aku jadi khawatir.

***

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang