Flashback
Sejak perkenalan di hari pertama menyandang status siswa SMA waktu itu, kami memutuskan untuk berteman. Apalagi kami berempat sama-sama di ruang kelas sepuluh satu. Aku dan Fazaira yang sudah janjian duduk berdampingan nyatanya tak terealisasikan. Fazaira lebih memilih duduk di sebelah Yardan lalu meminta aku dan Adhit duduk di belakang mereka. Entah mengapa saat itu aku tak banyak protes. Mungkin terlalu bahagia melihat kawan baikku sedari tadi tersenyum atau bahagia karena Adhit yang di sebelahku? Entahlah.
Awalnya canggung duduk berdampingan dengan Adhit, tapi lama-lama tidak lagi. obrolan kami semakin nyambung saat objeknya adalah nenek. Aku baru tahu nenek punya cucu di Jakarta karena memang sebelumnya tak pernah kutanya dan nenek tak ada alasan untuk menjelaskan.
Hari kedua duduk di samping Adhit sudah membuatku sedikit nyaman, karena sudah berlatih di rumah, gugupku sedikit berkurang. Kubuka obrolan pagi ini tentang aku dan nenek. Waktuku panjang, tak ada guru yang masuk pagi ini. Kata Adhit, ketua kelas kami yang terpilih kemarin. Guru olahraga yang seharusnya masuk di jam pertama tidak bisa hadir karena ada urusan keluarga yang tak bisa ditinggalkan.
Aku banyak bercerita tentang nenek yang menyayangiku. Dulu saat bunda masih mulai merintis usaha butiknya, ia hampir tak punya banyak waktu di rumah. Akibatnya Ayesha kecil tak ada teman bermain, hanya bertemu kawan-kawan di sekolah dan kesepian setelahnya. Aku dititipkan bersama nenek dan dijemput bunda saat pekerjaannya sudah selesai.
Saat bersama nenek banyak hal yang bisa kulakukan. Bikin kue, lari-larian, main petak umpet, bikin puisi, atau menggambar di dinding kamar. Kata nenek, kamar itu tak ada yang punya, aku bebas mau melukis apapun di dindingnya bahkan membuat seisinya berantakan juga tak apa, dengan syarat setelah bermain aku membantu nenek mengemas.
"Jadi, coretan di kamarku itu kamu yang gambar?" tanya Adhit yang kujawab dengan senyum kikuk.
"Kamarmu di lantai dua yang bercat biru?" tanyaku yang dijawabnya dengan anggukan. Aku terdiam sejenak,"Aku sudah pernah mau hapus, tapi nenek bilang tidak usah. Cantik katanya," sambungku jujur.
"Cantik?" ia bertanya demikian dengan mimik yang terlihat mengejek.
"Iya, cantik. Itu karya terbaik anak 9 tahun makanya nenek tidak mau itu dihapus." Ia mengangguk sembari tersenyum, masih dengan ekspresinya yang mengejek, tapi bukannya marah aku malah ikut tersenyum.
"Kenapa main sama nenek? Kenapa tidak main sama ayahmu kalau memang bundamu lagi bekerja." Aku diam tak menanggapi pertanyaannya kali ini. Aku mencoba terlihat biasa saja di hadapannya, sebenarnya hatiku sudah tahu jawabannya hanya saja bibirku masih berat mengungkapkan. Aku menarik napas, mencoba tersenyum meskipun tak terlihat tulus.
"Aku mau. Sangat mau bermain dengan ayah, tapi fotonya tak bisa diajak bermain," nadaku kubuat santai namun, masih terdengar berat.
Fazaira yang sedari tadi sibuk mengobrol dengan Yardan berbalik saat mendengar nadaku yang memberat. Matanya tajam menatap Adhit. Tanpa kami duga, buku yang tadi berada di hadapannya dan Yardan melayang tepat di kepala Adhit.
"AWWWWW!" jeritnya.
Aku menatap Fazaira dengan tatapan melotot, kebiasaan bocah itu selalu bertindak sebelum sadar. Kulihat Yardan juga bingung dengan tingkah Fazaira.
"Kamu mau bikin Ayesha sedih yah? Hah?! Udah tau Ayesha gak pernah ketemu ayahnya, kamu malah nanya-nanya lagi. Emang kalau kamu udah nanya terus dia jawab, ayahnya Ayesha bisa hidup lagi?" teriaknya dengan emosi yang tak tertahankan.
KAMU SEDANG MEMBACA
R A S A
Teen FictionKisah ini tentang Ayesha, si gadis penyuka sepi namun juga bukan pembenci ramai. Bersama sahabat-sahabatnya kisah SMA dilaluinya dengan banyak cerita. Prinsipnya laki-laki idaman itu yang seperti ayah, humoris dan romantis. Jadi, jangan heran jika a...