"Adhit! Ada yang cari itu," teriak seorang teman sekelas. Adhit yang sedari tadi fokus bermain rubik di sampingku bangkit.
"Keluar dulu yah," izinnya.
Aku mengangguk, membalas senyumnya yang manis. Aku dibuat jatuh untuk yang kesekian kalinya. Ia sempurna seperti ayah dalam cerita bunda. Humoris dan romantis, jika bersamanya aku tak pernah punya alasan untuk bersedih sebab katanya di kamus kehidupannya tak ada kata sedih.
"Aku...."
"Aku!"
"Aku!"
Aku menghentikan aktivitas membacaku, kualihkan pandangan ke arah pintu setelah mendengar suara gadis-gadis yang bersahutan. Seperti biasa, mereka lagi-lagi rebutan untuk memberi Adhit sesuatu. Mereka rombongan adik kelas yang prokernya berlomba memberi Adhit makan siang. Sudah kukatakan di awal bukan, Adhit memiliki banyak sekali penggemar sebab dia ramah dan suka tebar pesona. Tapi, aku tak pernah marah. Jika ditanya soal rasa mungkin aku memang benar merasakan sesuatu di dada seperti api yang membara, tapi itu tak pernah lama. Adhit meyakinkan bahwa mereka bukan siapa-siapa dan tak akan menjadi apa-apa.
"Eh-eh, ngapain ribut-ribut di sini? Mau aku laporin? Tiap hari kerjanya cuman bikin keributan aja di kelas orang. Kalau mau ribut, di kelas sendiri. Banyak tahu yang terganggu!" bentaknya tegas.
"Maaf kak," ucap mereka menunduk.
"Yaudah sini makanannya! Adhit lagi puasa," katanya lagi sembari mengambil makanan yang disodorkan padanya. Adhit yang menyaksikan itu hanya diam membeku ia tak mungkin marah pada Fazaira di depan adik kelas ini, bisa-bisa imagenya rusak. Aku hanya menggelengkan kepala sembari tersenyum saat menyaksikan Fazaira masuk dengan banyak makanan di pelukannya. Ia terlihat puas sekali.
"Maa syaa Allah, Kak Adhit puasa?"
"Huwaa, pengen dibimbing Kak Adhit."
"Calon imam yang sholeh banget."
Sahut mereka yang membuat aku dan Fazaira sontak terpingkal. Tak lama kemudian Adhit masuk dengan wajah datarnya, menatap Fazaira tajam dan sedikit menakutkan. Fazaira yang melihat itu hanya memamerkan senyum terbaiknya, ia memang tak pernah merasa bersalah meskipun yah, bersalah.
"Tengkyu!" ucapnya dengan senyum yang mengembang sembari mengangkat dua jempol ke arah Fazaira.
Aku merasa sedikit legah, setidaknya makan siangku kali ini tidak harus mendengar mereka beradu mulut. Yah, Adhit bahagia sebab imagenya di depan adik kelas semakin baik, dia tidak perlu mengusir mereka dengan cara kasar cukup tersenyum dan mengatakan dia sedang berpuasa akan membuat gadis-gadis kurang kerjaan itu menghilang dengan pujian-pujian yang dibawanya pulang.
Siang ini kami menikmati makanan dari adik kelas yang sebenarnya untuk Adhit. Saat Adhit hendak iku memakan, tangannya tiba-tiba di sentil Fazaira.
"Eh, gak boleh makan. Kamu kan lagi puasa."
Adhit menatapnya datar.
"Eheh, makan deh makan," ucapnya cengingiran saat melihat Adhit berubah kesal.
"Tunggu, Yardan mana?" tanya Adhit.
"Hmm, tadi sih bilangnya mau ke lapangan. Mau main basket katanya," jawab Fazaira.
"Ya ampun, sampai lupa. Hari ini kami main three on three."
Aku hampir saja tersedak.
"Minum...minum." Adhit menyodorkan botol air mineral ke arahku sedangkan Fazaira menatapku khawatir.
"Pelan-pelan dong, Sha."
"Three on three?" tanyaku sekali lagiuntuk menyaksikan bahwa aku tidak salah dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
R A S A
JugendliteraturKisah ini tentang Ayesha, si gadis penyuka sepi namun juga bukan pembenci ramai. Bersama sahabat-sahabatnya kisah SMA dilaluinya dengan banyak cerita. Prinsipnya laki-laki idaman itu yang seperti ayah, humoris dan romantis. Jadi, jangan heran jika a...