Seperti pagi-pagi biasanya aku selalu semangat membuka loker. Meskipun pengirimnya tidak rahasia lagi, tapi rasanya aku selalu dibuat terkejut. Namun tampaknya pagi ini ada yang berbeda. Kemarin kurasa Arbian baik-baik saja, tapi mengapa bunga matahari yang ada di loker pagi ini sudah layu juga isi suratnya kali ini kurasa ada yang aneh.
"Aku salah sebab menganggap semua rasa semanis cokelat. Melihatmu menjadikan lidahku lumpuh sampai lupa kalau rasa pahit juga adalah rasa."
From: kawan semesta
Aku menatap bunga matahari yang sudah layu, bukannya kemarin kami sudah berdamai. Mengapa aku berpikir bahwa Arbian sedang marah sekarang. Aku harus meminta penjelasan, aku tak mau hanya karena rasa yang hadir tiba-tiba membuat aku kehilangan Arbian sebagai teman yang baik.
Aku sudah mau beranjak menghampirinya yang mungkin ada di kelas, tapi aku dicegat oleh seorang teman. Dia berlari menghampiriku, memberitahukan sesuatu yang membuatku naik pitam. Ini masalah besar, siapapun pelakunya tak akan kumaafkan. Aku mengikuti langkahnya untuk melihat apa yang sedang terjadi sebenarnya.
Aku membekap mulut kaget saat melihat Joni sudah ada di atap sekolah berlantai dua itu. Siapa yang tega sekali mengerjaiku begini. teman-temanku juga sudah ada berdiri berkumpul, tapi hanya ikut mendongak menatap sepedaku di atas sana karena memang tak tahu harus berbuat apa.
"Siapa yang ngelakuin ini?!" tanyaku dengan nada marah. Tak ada yang menjawab, semuanya diam saja. Aku tak tahu mereka sedang menyembunyikan siapa pelakunya atau memang benar-benar tak tahu.
"Aku tanya sekali lagi. Siapa yang ngelakuin ini?!" jawabannya tetap sama. Diam tanpa kata, ada beberapa yang menunduk saja ada juga yang menatap kasiha. Aku tak suka.
Dengan amarah yang tak bisa kutahan lagi, aku berlari menuju tangga kemudian mencari cara untuk sampai di atap sekolah ini. Memang ada jalannya, tapi sedikit berbahaya. Beberapa teman sudah menghentikanku namun aku tak peduli. Aku harus menyelamatkan Joni. Itu sepeda kesayanganku yang tak bisa digantikan dengan sepeda lain semahal apapun. Setelah susah payah, akhirnya aku sampai di atap. Aku sekuat tenaga menenangkan hatiku yang sekarang diserang takut saat menyadari aku sedang berada di ketinggian. Lututku bergetar saat melangkahkan kaki di tembok pinggir atap, mencoba meraih Joni yang masih jauh di depanku. Aku hanya berpegangan di sebuah balok yang memang terbantang di sana juga hanya menginjak di pinggir dinding bangunan itu yang hanya memuat satu sepatu.
Teriakan kawan-kawanku di bawah sana membuat aku semakin takut, tapi aku mencoba tak menghiraukan. Apapun yang terjadi, aku harus membawa Joni ikut turun. Di bawah sana semakin ramai, guru, teman-teman dan semua penduduk sekolah mungkin sudah ada di sana. Aku tidak berani menoleh ke bawah. Terlalu mengerikkan.
"Ayesha... turun. Kamu jangan nekat!"
"Yesha! Turun.... kamu ngapain sih?"
"Ayesha. Turun...."
"Turun Yesha!!!"
"Ayesha kamu jangan nekat!"
"Yesha! Kamu apa-apaan sih. Kamu ngapain. Ya Allah. Turun Yesha!"
Suara teman-temanku bersahutan di bawah sana. Fazaira mungkin sudah menangis atau bahkan mungkin sudah menelpon bunda saking khawatirnya. Aku tetap melanjutkan langkahku pelan. Sedikit lagi, aku akan meraih Joni. Sedikit lagi aku akan berhasil lalu turun. Aku juga tidak mau berlama-lama di sini. Takut. Tapi...
"AAWWWW!!!"
"Yeshaaaaaa!!!!!!!!!"
Aku salah berpijak, sekarang aku benar-benar takut. Aku terpeleset dan hampir saja jatuh, andai saja tanganku tidak cepat berpegangan pada apa yang tadi kupijak. Aku menangis, mungkin beberapa detik lagi aku akan jatuh ke bawah sebab tanganku yang bergetar rasanya tidak kuat menahan tubuhku lebih lama lagi. Jika aku harus mati sekarang semoga Adhit tahu, aku sedang berkorban untuk menyelamatkan benda yang sangat kami sayangi. Semoga bunda tidak lama menangis jika harus kehilangan lagi. Semoga Fazaira bisa menemukan sahabat yang tidak membuatnya selalu khawatir sepertiku, semoga Yardan bisa tenang tanpa teman berdebat seperti aku.
"DASAR KERAS KEPALA!"
"Yardan?"
Apa yang sedang dia lakukan di sini. Dia menatapku kesal bercampur khawatir, posisinya ia sedang ada di atap, mengulurkan tangannya ke arahku tapi, aku tidak akan meraihnya. Ini terlalu bahaya. Aku ikhlas jika memang harus jatuh. Ya Allah, aku tidak ada niat untuk bunuh diri.
"Pegang cepetan!" teriaknya keras.
"Aku gak bisa," ucapku sembari menangis.
"Bisa. Kamu pasti bisa!"
"Pergi Yardan. Percuma."
"Gak ada yang percuma. Sekarang kamu tutup mata kamu." Aku mengikuti instruksinya.
"Dengarkan aku. Kamu hanya perlu percaya bahwa kamu bisa naik sekarang. Bayangkan, di sini mimpi kamu yang banyak itu sudah menanti. Sedikit lagi, kamu bisa mendapatkannya. Satu langkah lagi, cukup pegang tanganku dan kamu akan mencapai semuanya. Ini mudah. Kamu pasti bisa, Queen Aurora."
Aku membuka mata, pandangan pertamaku adalah senyuman Yardan yang selama ini tak pernah kulihat. Tatapannya yang kali ini terlihat teduh memberiku kekuatan. Pelan tapi pasti aku meraih tangannya. Menggenggamnya kuat dan berusaha sekuat yang kubisa. Orang di bawah sana masih menatap kami dengan perasaan yang luar biasa khawatir.
Aku akhirnya bisa naik. Yardan mengelus dadanya legah. Aku sangat bersyukur Allah menyelamatkanku lewat Yardan, laki-laki datar yang tak pernah kutatap ramah.
"Sudah kubilang, berhenti membuat orang khawatir!" ucapnya masih menatapku kesal. Aku menunduk tak mau lagi membalasnya kali ini aku mengaku salah. Tapi, tiba-tiba....
"YARDAN!!!!!" jerit orang-orang di bawah sana. Aku membekap mulutku tak percaya. Aku menangis keras dan hampir ikut jatuh andai saja tangan kekar polisi yang tiba-tiba sudah ada di sini menahanku. Yardan terjatuh dari ketinggian yang tak bisa kutebak. Aku menangis meronta-ronta, memukuli Reza yang sudah diborgol tangannya. Dia pelakunya, dia dengan sengaja mendorong Yardan sampai ia terjatuh.
Saat sudah tiba di lantai bawah, aku berlari membelah kerumunan. Memeluk Yardan yang sudah tak berdaya dengan tubuh yang kini dipenuhi darah. Fazaira dan semuanya juga sudah menangis. Aku tidak mau melepas pelukanku dari tubuh Yardan sampai mobil ambulance yang akan membawanya ke rumah sakit datang. Jika sampai terjadi sesuatu pada Yardan, aku tak akan memaafkan diriku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
R A S A
Teen FictionKisah ini tentang Ayesha, si gadis penyuka sepi namun juga bukan pembenci ramai. Bersama sahabat-sahabatnya kisah SMA dilaluinya dengan banyak cerita. Prinsipnya laki-laki idaman itu yang seperti ayah, humoris dan romantis. Jadi, jangan heran jika a...