Part 8

117 15 1
                                    


Aku mengikuti langkah Adhit dengan rasa kesal yang sudah membuncang. Aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Yardan. Sudah kubilang aku tak apa-apa mengapa mereka harus membentangkan bendera perang seperti ini. Menerima tantangan dari Reza sama halnya memulai hidup yang tidak akan ada damai-damainya. Kami mengenal Reza sebagai orang yang tak pernah mau kalah, jika tak melakukan berbagai cara untuk mengalahkan lawan dia pasti punya cara untuk tidak pernah membuat orang yang disebutnya lawan itu tenang walau menang.

"Udah, Sha. Mereka pasti menang," ucap Fazaira yang berjalan di sampingku.

"Bukan masalah menang atau kalah, Ra. Kita sama-sama tahu siapa Reza. Dia pasti gak bakalan biarin mereka menang dengan mudahnya."

Adhit berhenti, lalu berbalik ke arah kami, ia tersenyum tenang. "Sha, percaya dong sama aku. Semua bakal baik-baik aja. Mereka pasti minta maaf sama kamu."

"Adhit! Aku gak butuh mereka minta maaf. Mau aku apain juga? Aku cuma gak mau kita berurusan sama mereka. Aku udah seneng kita hidup aman tanpa hama kayak mereka."

Adhit terkekeh, "Oke. Setelah aku kalahin mereka. Kita akan hidup aman," ucapnya dengan senyum yang selalu membuatku merasa beruntung.

"Woy! Cepet dong. Jangan jalan pengantin. Darimana aja sih? Dari tadi ditungguin juga," ucap Yardan setelah berlari ke arah kami.

Aku menatapnya dengan tatapan tak suka dan hanya dibalas dengan wajah tanpa ekspresi seperti biasa. Semua gara-gara dia, andai saja dia tidak seenaknya menerima tantangan dari Reza aku pasti tidak akan sekhawatir ini.

"Sorry bro, tadi ada gangguan dikit di kelas," jawabnya santai.

"Gimana nih, kita cuman berdua. Kan three on three, bisa kalah kita."

"Aku...aku..." seseorang yang sudah sangat kami kenal menghampiri kami dengan setengah berlari. Mulutnya masih mengunyah makanan.

"Serius kamu Di?" Fazaira menatap Didi di hadapan kami dengan ekspresi tak yakin.

"Iya, serius. Aku bantuin karena kalian udah baik ngasi makanan yang zuupeerrr banyak dan zuperrrr enak tadi."

"Makanannya kamu habisin semua, Di? Kita kan cuman suruh jagain makanannya. Boleh makan sih, tapi makan dikit aja." Didi teman kami yang memang terkenal rada 'gesrek' hanya menanggapi Fazaira dengan cengingiran.

"Udah, gakpapa. Nanti kita beli lagi, yang penting sekarang Didi ikut aku sama Yardan," ucap Adhit.

"WOY! LAMA AMAT, RAPAT DPR KALIAN?!" teriak Reza yang memang sudah sedari tadi ada di lapangan bersama teman-temannya. Pinggir lapangan juga sudah sangat ramai.

"Ayoo.. ayoo!"

Mereka bertiga berlari ke lapangan dan aku masih berdiri dengan perasaan yang tak karuan. Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi dan itu gak mungkin baik.

"Ra, Gimana nih?"

"Aku juga gak tahu, Sha. Padahal tadi aku baru mau nyendok tapi, gak jadi."

"Ra, aku bukan lagi ngomongin makanan! Ih, kamu pikirannnya makanan terus ih."

Aku hendak menerobos kerumunan untuk memberi dukungan di barisan paling depan, tapi karena sudah tak mungkin diterobos dengan mudah, aku menggunakan trik yang pernah dipakai Adhit, Fazaira mengikutiku.

"Awas! Air panas...air panas!" mereka memberi jalan dan kami berhasil mendapat posisi paling depan meskipun harus mendapat cibiran, tapi tak apa. Aku berdoa semoga kekhawatiranku tidak benar-benar terjadi. Semoga kali ini Reza bermain sehat.

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang