Kebenaran membantingku berkali-kali, membangunkan aku dari sesuatu yang kupikir hanya imajinasi. Sulit dipercaya namun benar adanya. Mengutuk diriku sebagai yang paling bersalah rasanya tidak akan menuntaskan apa-apa, atau menangis terseduh-seduh saja di pojok ruang sembari menatapnya juga tidak akan menyelesaikan masalah. Hari ini tak pernah kutahu sebelumnya, sebab memang kemarin ini masih jadi rahasia dan esok lagi-lagi menjadi rahasia, karenanya aku harus bersiap siaga.
Tentang rasa yang selama ini bersembunyi dibalik kata-kata menyebalkan manusia Freezer itu, aku sudah berkenalan. Meskipun malu-malu, aku menyapanya, tapi dia diam saja. Apa dia marah karena aku terlambat peka. Atau dia benci sebab menganggapku menyia-nyiakannya. Aku tidak tahu apa jawabannya sebab dia masih saja membisu. Sudah bulan ketiga aku selalu bercerita pada Si Freezer yang masih saja tak mau bicara. Aku sudah meminta maaf dan berterima kasih padahal dua kalimat itu yang dulu sangat sulit keluar dari mulutku untuknya. Aku juga sudah memohon padanya agar membuka mata kembali, tapi dia tidak peduli. Apa yang menyenangkan saat menutup mata, hanya gelap dan sesekali titik putih yang bisa dilihat jika kamu sedang beruntung.
"Yardan, kamu gak capek tutup mata terus? Bangun dong. Ayo berantem!"
"Tahu gak, kemarin aku dikerumunin orang. Kalau gak ada Didi mungkin aku udah diangkut."
"Kalau kamu di sana, mungkin kamu yang bakal dikerumunin. Tapi enggak sih, mereka pasti takut sama kamu."
"Kamu kan serem! Nyebelin lagi, mana ada yang mau sama kamu."
"Kecuali orang bodoh sih."
"Dan aku.... mengaku bodoh sekarang."
Iya, aku bodoh sebab berbicara sendiri setiap hari dan aku bodoh sebab menyukainya.
Sekarang rutinitasku setiap hari, berangkat ke sekolah bersama sahabatku dan juga Joni, membaca novel tebal juga masih menulis cerita. Lalu setelahnya pulang, tapi tidak ke rumah. Aku akan menemui Si Freezer yang masih saja terlelap di rumah sakit. Karena terlalu lama, ruangannya bahkan sudah kami setting menjadi seperti kamarnya. Aku akhirnya berkenalan dengan mamanya, aku tak menyangka mamanya benar-benar menyayangiku dan tahu banyak tentang aku padahal aku tak pernah bertemu sebelumnya. Papanya seorang tentara, hanya beberapa kali pernah datang, tapi terpaksa harus pergi lagi. Bisa kutebak, wajah datar Yardan diwarisi dari papanya itu. Mereka hanya berbeda sedikit, Yardan menyebalkan sedangkan papanya menyenangkan. Bunda juga selalu datang setiap sore sehabis bekerja di butik. Ia akan mampir membawakan makanan sekaligus menjemputku pulang, aku akan datang lagi besok sepulang sekolah.
Saat wekeend, di ruangan Yardan akan sangat ramai. Fazaira, Didi dan kawan-kawanku yang lain akan datang. kami akan bercerita banyak dan membujuknya untuk bangun. Meskipun kami belum pernah berhasil. Tapi setidaknya dengan kehadiran mereka mama Yardan akan merasakan bahagia, tidak lama-lama larut dalam kesedihan.
Tentang waktu itu aku tak akan lupa. Tidak akan.
Flashback
Aku membuka mata, pandangan pertamaku adalah senyuman Yardan yang selama ini tak pernah kulihat. Tatapannya yang kali ini terlihat teduh memberiku kekuatan. Pelan tapi pasti aku meraih tangannya. Menggenggamnya kuat dan berusaha sekuat yang kubisa. Orang di bawah sana masih menatap kami dengan perasaan yang luar biasa khawatir.
Aku akhirnya bisa naik. Yardan mengelus dadanya legah. Aku sangat bersyukur Allah menyelamatkanku lewat Yardan, laki-laki datar yang tak pernah kutatap ramah.
"Sudah kubilang, berhenti membuat orang khawatir!" ucapnya masih menatapku kesal. Aku menunduk tak mau lagi membalasnya kali ini aku mengaku salah. Tapi, tiba-tiba....

KAMU SEDANG MEMBACA
R A S A
Roman pour AdolescentsKisah ini tentang Ayesha, si gadis penyuka sepi namun juga bukan pembenci ramai. Bersama sahabat-sahabatnya kisah SMA dilaluinya dengan banyak cerita. Prinsipnya laki-laki idaman itu yang seperti ayah, humoris dan romantis. Jadi, jangan heran jika a...