Sudah banyak waktu yang kami lewati bersama Adhit. Rasanya aku belum siap jika harus merindu pada tingkah-tingkah konyolnya. Dia tidak akan melupa bukan, pada kami yang selalu dibuatnya terpingkal juga kesal dalam waktu yang bersamaan. Bukannya aku suka sepi, tak ada Adhit yang mengganggu di sampingku bukannya menjadikan aku tenang. Tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku ingin sepi bersamanya bukan tanpanya.
Flashback
Siang ini pelajaran Fisika di kelas kami. Seperti biasa pelajaran susah ini selalu saja membosankan ditambah lagi guru tercinta kami yang membawakan mata pelajaran fisika hobi sekali menjelaskan sembari membelakangi kami dan menutup papan tulis sehingga apa yang ditulisnya tak nampak oleh kami. Adhit sebagai ketua kelas pernah mewakili kami, berbicara baik-baik tentang keluhan kami bersama. Kami tidak mengerti darimana angka-angka yang memenuhi papan tulis itu berasal jika saat menjelaskan pak Makmur -guru kami- seperti hanya berbicara pada dirinya sendiri. Tapi Pak Makmur malah salah paham, katanya kami menggurui. Ketika kami ditanya oleh beliau dan tak bisa menjawab, kami yang dituduh tak memperhatikan. Ah, serba salah.
Untungnya aku tak pernah mendapat semburan Pak Makmur sebab aku selalu terlihat rajin mencatat pada saat pelajarannya. Padahal jika kamu duduk di dekatku seperti halnya Adhit, kamu juga akan tahu sebenarnya apa yang sedang kulakukan.
"Dhit, Kalau di hutan ada putri yang tersesat binatang apa yang lebih dulu ditemukan?" tanyaku setengah berbisik pada Adhit yang sedari tadi juga terlihat sibuk.
"Ular," jawabnya masih sibuk menulis di secarik kertas.
"Ihh, Adhit serius dong. Aku gak suka ular. Nih yah, aku lebih baik masuk di kandang Singa daripada masuk di kandang ular."
"Kalau aku memilih untuk tidak masuk di kandang hewan buas seperti itu. Ngeri, Sha!" balasnya dengan ekspresi lucu.
"Yeh, aku juga milih masuk kandang Singa yang gak ada singanya kali," ucapku yang dibalasnya dengan tawa. Tapi, kau tahu, aku menyesal membuatnya tertawa. Pak Makmur mendekat ke arah kami.
"Khmm!"
Adhit masih tidak sadar padahal aku sudah memberinya kode dengan tatapan mata, tapi mengapa dia tak peka juga.
"Khmmm!!!" suara Pak Makmur lebih keras kali ini. Ketika kulihat Adhit mulai menyadari keberadaan Pak Makmur di belakangnya ia terlihat ragu untuk menoleh sedangkan aku, memilih melanjutkan aktivitas pura-pura menulis materi kami hari ini. Tak mau ikut campur meskipun ini salahku membuat lelucon yang menjadikan Adhit menjadi pusat perhatian Pak Makmur. Hal yang sama juga hampir dilakukan Adhit namun, kertas di hadapannya yang sedari tadi sibuk ditulisinya dirampas cepat oleh Pak Makmur.
"Adhitama dan Ayesha, silahkan keluar!"
"Loh, kenapa Yesha juga pak?" tanyaku dengan ekspresi bingung.
Pak Makmur mengangkat kertas milik Adhit. Ah, sial! Adhit benar-benar mau merasakan tinjuku. Jadi, sejak tadi dia sedang melukisku disertai caption di bawahnya. "Ini Yesha yang lagi pura-pura catat materi padahal lagi bikin dongeng untuk anak-anak kami kelak," tulisnya.
"Pak, tapi pak..."
"Coba mana catatan materi kamu?" Pak Makmur membuatku terdiam. Aku tidak sedang mencatat materi seperti yang kamu tahu dan Adhit benar aku sedang asik melanjutkan cerita fiksiku.
"Gak ada kan?! Berarti Adhitama benar. Iya nggak Dhit?"
"Iya dong pak," jawabnya dengan tampang tak berdosa. Aku yang sudah kesal menatapnya tajam.
"Ya sudah, tunggu apa lagi. Sekarang kalian keluar!"
"Yah, jangan dong pak. Kami sangat suka pelajaran fisika gak mau ketinggalan," ucapnya memohon. Aku memutar bola mataku kesal, apa Adhit tidak tahu apa yang dilakukannya adalah perbuatan sia-sia. Aku pasrah dan memilih keluar sebelum diusir untuk ketiga kalinya. Sebelum keluar aku membisik Fazaira untuk mempertahankan konsentrasinya dan memahami materi dengan baik agar ia bisa menjelaskan pada kami sepulang sekolah.
Tapi, tatapanku berubah datar saat aku melihat apa yang sedang mereka lakukan, tatapanku dibalas dengan cengingiran.
"Astagfirullah, Yardan dan Faza main ular tangga pak!" seru Adhit saat sudah berdiri di sampingku. Aku yang tak habis pikir dengan bocah itu refleks menginjak kakinya yang berhasil membuat dia meringis. Yardan dan Fazaira juga terlihat gelagapan, bingung mau menyembunyikan mainannya dimana, ucapan Adhit barusan sudah membuat Pak Makmur menatap intens keduanya.
PLAKKKKK!
Pak Makmur memukul meja keras, kesal dengan tingkah murid-muridnya yang manis ini. Kami berempat berhamburan keluar sebelum Pak makmur semakin marah. Penjelasan Yardan yang berputar-putar tanpa ujung membuat guru kami tercinta sampai semarah itu.
"Yeyy, bebaaasss!" seru Adhit saat kami sudah berjalan keluar. Kami dihukum harus hormat pada bendera di tengah lapangan sampai mata pelajaran Pak Makmur selesai hari ini.
"Kok kamu bego sih!" Yardan yang kelihatan kesal menjitak kepala Adhit keras.
"AWWWWW!" ringisnya.
"KALAU KAMU GAK EMBER, TADI AKU UDAH PASTI MENANG ADHITTT!" Fazaira juga ikut melampiaskan kesalnya dengan berteriak tepat di telinga Adhit.
"DUHHHHH!" aduhnya sembari menutup telinga.
Dia menatapku dengan muka memelas, sebenarnya aku juga sudah ingin melampiaskan kesalku akibat ulahnya tadi, tapi tak jadi. Kasihan.
Kami hormat di bawah terik matahari, meskipun matahari tak sepenuhnya menyerang aku dan Fazaira sebab tubuh tinggi Yardan menghalangi cahaya ke arah kami, tapi lelah tetap kami rasakan. Ada jeda panjang. Kami terdiam lama sedang meredam amarah di dada masing-masing, tapi Adhit si usil itu sudah mencari keributan lagi. Ia sengaja menarik-narik ujung jilbab Fazaira dari belakang lalu berekspresi pura-pura tak tahu apa-apa.
"Yesha!"
"Apa?"
Ia sempat menuduh aku pelakunya karena orang di sampingnya adalah aku dan Yardan. Adhit berdiri di samping kiriku hanya cekikikan.
Sekali lagi Adhit melakukan tingkah usilnya.
"Yardan!"
"Apa?"
Yardan juga dituduh.
Dan lagi-lagi, Adhit melakukannya.
"ADHIT GILAA!!" Amarah Fazaira akhirnya meledak, Adhit yang menyaksikan kekesalan kawan kami yang satu itu hanya tertawa terpingkal-pingkal sembari berlari menjauh. Aku dan Yardan juga dibuat tak bisa menahan tawa menyaksikan Adhit dan Fazaira yang kini berkejaran di lapangan. Fazaira yang kelewat kesal bahkan sudah melepas sepatunya lalu melempari Adhit dengan penuh emnosi.
***
"Ayesha Aurora Dipta!"
"Ayesha Aurora Dipta!"
"Ayesha Aurora Dipta!" aku mendongak, menatap Pak Makmur yang sedari tadi menyebut namaku. Aku pasrah jika harus diusir keluar lalu diminta hormat pada bendera di siang yang terik ini. Berharap Adhit akan datang, berdiri di sampingku untuk melindungiku dari terik yang menyerang dengan tubuhnya yang lebih tinggi dariku. Tapi sepertinya Pak Makmur sedang baik hari ini.
"Sudah beberapa hari ini kamu terlihat tidak semangat belajar. Guru-guru yaang lain juga mengatakan hal yang sama. Apa kamu tidak rindu tersenyum seperti biasanya?"
"Ayesha lupa caranya pak," jawabku jujur.
Nyatanya menjadi setegar bunda tidak semudah yangkupikirkan. Kehilangan terlalu kejam, memporak-porandakan rasa, sekuat apapunaku berusaha untuk lupa, luka selalu berhasil menyelinap masuk danmeruntuhkannya. Fazaira menatapku teduh,ia pasti sudah kehabisan akal untuk membuatku tersenyum lagi atau sudah lelahmelakukannya. Yardan di sampingnya seperti tidak peduli, lagian aku juga tidakmembutuhkan pedulinya, jadi lupakan saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
R A S A
Teen FictionKisah ini tentang Ayesha, si gadis penyuka sepi namun juga bukan pembenci ramai. Bersama sahabat-sahabatnya kisah SMA dilaluinya dengan banyak cerita. Prinsipnya laki-laki idaman itu yang seperti ayah, humoris dan romantis. Jadi, jangan heran jika a...