Part 14

89 13 0
                                    


Pagi ini ada yang berbeda bunda tidak membangunkanku dan alhasil aku shalat subuh terlambat. Mentari juga begitu, tak ada yang mengintip lewat celah-celah jendela tak seperti biasa. Aku bangun dengan mata yang memberat, menyingkirkan selimut tebal yang memelukku semalaman lalu berjalan menuju jendela. Pantas saja, di luar awan sedang murung, mentari bersembunyi. Kulirik jam di atas nakas, masih pukul 06.05 biasanya Adhit akan datang pukul 06.30 untuk menjemputku.

Aku hanya butuh waktu 15 menit untuk bersiap-siap kemudian akhirnya menuruni anak-anak tangga ke lantai satu rumahku.

"Pagi, sayang," bunda yang sedang mempersiapkan sarapan di meja makan menyambutku hangat.

"Mengapa bunda tidak membangunkan Yesha?"

"Bunda pikir Yesha akan bangun sendiri seperti kemarin." bunda menghampiriku, mengusap lenganku lembut.

"Hari ini bunda yang akan mengantar Yesha ke sekolah. Mau kan?" lanjut bunda lagi.

Belum sempat aku menjawab, suara teriakan di depan rumah terdengar.

"Ayeshaaaa.....yuhuyy...YESHAAAAA!"

Aku mengerutkan kening, itu siapa pagi-pagi begini sudah ada di depan rumah. Aku melangkah keluar hendak memastikan dan ternyata itu Fazaira dan Yardan. Mengapa mereka ada di sini pagi begini?

"Selamat pagi queen. Ayuk kita cuss!"

"Eh, kamu Ra. Bunda pikir siapa," bunda ikut keluar.

"Heheh, Iya bunda. Ra datang jemput Si queen."

Aku tak tahu mengapa Fazaira tumben begini datang menjemputku padahal dia tahu kalau setiap pagi aku akan berangkat bersama Adhit.

"Aku berangkat bareng Adhit. Kalian duluan aja," ucapku.

"Tapi, Sha. Adhit gak bisa jemput katanya."

"Kata siapa? Tunggu aku panggil dia dulu."

"Eh, Yesha. Ra bener kamu sebaiknya berangkat bareng dia saja. Nanti kalau kamu terlambat bagaimana?"

"Tapi bunda. Yesha juga belum sarapan," protesku.

"Ra bawa bekal kok bunda nanti aku paksain Yesha makan di mobil aja," kali ini Fazaira yang menjawab. Bunda mengangguk pelan. Fazaira menyeretku paksa masuk ke dalam mobil.

"Hati-hati bawa mobilnya Yardan."

"Iya bunda," jawabnya dengan sedikit membungkuk dan tersenyum tipis.

"Nih, makan!" seperti janjinya pada bunda Fazaira memaksaku makan saat kami sudah duduk di dalam mobil. Dia duduk di samping Yardan dan aku duduk sendiri di kursi penumpang.

"Yesha, jangan bandel ih."

"Kalian kok tiba-tiba ada di depan rumahku pagi-pagi?" tanyaku tak mengindahkan ucapannya barusan. Fazaira menarik tempat bekal yang semula disodorkan ke belakang -tempatku duduk- lalu memakan sendiri bekal yang dibawanya.

"Kata Yardan, hari ini Adhit kan gak bisa masuk sekolah terus kita mikir kalau kamu gak sama Adhit pasti naik angkutan umum kan kasihan kamunya, ini juga malah mau hujan lagi. Makanya kita jemput aja."

"Yardan tau darimana kalau Adhit gak bakal masuk sekolah Ra?" tanyaku lagi.

"Ya Allah, Yesha. Yardannya ada di sini loh, di depan kamu ini Yardan. Kenapa kamu gak nanya langsung aja sih?!" balasnya tak habis pikir.

Aku menyandarkan tubuhku di sandaran kursi, malas sekali rasanya mengajaknya berbicara duluan, bisa-bisa moodku tambah rusak.

"Semalam Adhit nelpon saya," ucapnya datar.

"Apa katanya?" tanyaku lagi yang sebenarnya memang benar-benar kepo.

"Menurutmu, apa katanya?" bukannya menjawab dia malah bertanya balik.

"Yardan, kalau aku tahu, aku gak akan bertanya sama kamu!" balasku geram. Fazaira yang duduk di sebelahnya ikut tertawa melihat aku yang kesal.

"Ini lagi, ngapain ketawa-ketawa," ucapku ketus.

"Yesha, ngomong sama Yardan itu harus pake hati. Yardan, ngomong sama Yesha itu juga harus pake hati. Kalian kalau ngomong gak pake hati yah, bakal begini jadinya. Berujung pada pertikaian. Hahah."

"Dimana-mana ngomong itu pake mulut!" jawabku masih kesal.

"Iya, Ra. Emang bisa sama dia ngomong pakai hati? Dia kan gak punya hati."

"Yardan! Ihhhhh!"

Keduanya tertawa puas melihat aku yang semakin kesal. Aku memang tak bisa berdamai dengan Yardan sebab orang itu juga tampaknya tak mau berdamai denganku. Dia selalu saja membuat kesal dan tak pernah mau mengaku salah. Pagi ini aku berangkat tak bersama Adhit, ada apa dengannya yah, mengapa aku menjadi khawatir begini. aku meraih ponsel yang tadi kumasukkan di dalam tas sebelum berangkat. Bermaksud menghubungi laki-laki itu, tapi nomornya tak aktif.

"Kok, tumben yah nomornya Adhit gak aktif," gumamku pelan. Apa mungkin terjadi sesuatu pada Adhit? Mobil papanya di depan rumah juga tak kuperhatikan. Mobil itu masih terparkir di sana atau sudah tak ada yah.

"Ra, tadi waktu kamu ke rumahku lihat mobil hitam terparkir di depan rumah tidak?" tanyaku.

"Hmm, aku gak perhatiin tuh. Ada gak sih Yar?" dia bertanya pada Yardan. Laki-laki itu seperti sedang berpikir.

"Ada sih kayaknya."

"Alhamdulillah," ucapku sembari mengusap dada.

"Mobil nenek yang sering dibawa Kang Asep," sambungnya. Aku menatapnya serius.

"Mobil selain itu?" tanyaku lagi yang dijawab dengan gelengan kepala.

Aku memijat pelipis yang rasanya mulai memberat, aku takut apa yang ku khawatirkan benar-benar terjadi.

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang