Part 26

70 9 0
                                    

Sampai saat ini hanya Fazaira yang sering datang ke rumah. Mengajak mama mengobrol yang gayanya memang hampir mirip dengan Dea. Mama sudah lebih baik semenjak Fazira rutin datang ke rumah bercerita pada mama tentang banyak hal yang tidak semuanya kutahu. Tapi ada satu hal yang membuatku suatu ketika tercengang sebab mama tiba-tiba menanyakan perihal Ayesha. Mama juga menasihatiku untuk mengalah pada gadis itu, juga pernah meminta agar ia kukenalkan pada mama. Bisa kupastikan Fazaira yang menceritakan semua ini padanya.

Aku sebenarnya sudah ada niat untuk memperkenalkan Aurora pada mama, tapi semenjak Adhit pergi Aurora berubah sendu, ia tidak bisa diajak berdebat ataupun berbicara biasa. Aku dan Fazaira sudah berusaha membujuknya agar kembali menjadi Aurora seperti biasa, tapi itu tidak mudah. Suatu malam aku merasa rindu pada suaranya, sudah beberapa hari ini aku tidak mendengarnya mengomel. Akhirnya kuputuskan untuk menelponnya, dengan modus mengingatkan tentang tugas matematika yang memang harus dikumpulkan besok. Ternyata dia benar belum mengerjakannya, aku sangat bahagia saat dia menelpon memberitahukanku kalau buku paketnya sedang ada pada Fazaira. Dia hendak meminta bantuanku, tapi pura-pura tak kuhiraukan. Setelah menutup telponnya aku langsung meraih jaket dan kunci motor serta membawa buku tugas matematika yang memang sudah kutuntaskan, aku tidak peduli dengan langit mendung dan malam yang sudah terlampau larut.

Malam itu aku sangat bahagia sebab bisa mengobrol dengan Aurora. Jaket putihnya juga masih ada di rumah, tidak akan kukembalikan jika dia tidak meminta. Keesokan harinya ia tersenyum dan mau berangkat bersama kami meskipun syaratnya harus memakai sepeda. Entah ide darimana yang membuatku membeli bunga matahari kesukaannya dan menulis kalimat di secarik kertas. Meskipun di hari pertama melakukan aksiku itu, hampir saja aku ketahuan sedang membuka lokernya yang memang kuncinya sekarang ada di tanganku. Aku mendapatkannya dari Adhit sebelum dia pergi. Karena merasa berhasil, menulis dan memberinya bunga matahari setiap hari menjadi rutinitasku.

Tapi ada satu hal lagi yang membuatku tak nyaman akhir-akhir ini. Aurora terlihat akrab dengan Arbian. Meskipun Didi dan Fazaira sudah sering kali mengingatkannya untuk menjauhi orang yang berpotensi melukai Aurora menurut mereka itu. Aku tak banyak bicara, pura-pura tak peduli saja pada Aurora yang berteman dengan Arbian. Tapi aku tetap membalas sapa Arbian setiap ia berkunjung ke kelas menemui Aurora.

Sudah kukatakan bukan, aku selalu menjaga Aurora dari kejauhan. Meskipun aku percaya Arbian benar berbeda dari Reza, tapi aku tetap harus selalu memantau pergerakannya jika bersama Aurora. Seperti hari ini, aku mengikuti mereka saat sedang bersantai di taman. Mungkin menurutmu aku sedang kurang kerjaan, tapi hanya ini cara yang bisa kulakukan untuk tetap memastikan Aurora dalam keadaan baik-baik saja.

Aku tersenyum kecut saat melihat Arbian menyodorkan es krim rasa stroberi pada Aurora, aku jelas tahu gadis itu menyukai es krim cokelat. Aku melihat es krim itu hanya meleleh di tangannya tanpa dimakan. Tak lama kemudian, aku melihat Arbian menggenggam tangan Aurora. Ingin mengatakan sesuatu, tapi jedanya lama sekali. Ia berbasa-basi dan akhirnya meluncurkan kalimat yang selama ini ingin kuutarakan juga. Kulihat Aurora tersenyum, mungkin dia juga mempunyai rasa yang sama terhadap Arbian. Aku tidak bisa mendengar jawabannya, hatiku rasanya tiba-tiba dipatahkan. Sakit. Rasa yang tak pernah kuinginkan tiba-tiba memenuhi dadaku. Aku tidak pernah secemburu hari ini. Aku pergi, sepertinya Aurora tak perlu dijaga lagi. Hatinya sudah diserahkan pada Arbian. Semoga laki-laki itu bisa menjaganya dengan baik.

Pagi ini kuputuskan untuk menulis surat terakhir dan menyimpan bunga matahari terakhir di lokernya. Setelah ini aku tidak akan mengganggunya lagi. Dia 'pacar orang' sekarang. Sebenarnya aku mau benar-benar tidak peduli bukan berpura-pura lagi, tapi seorang teman tiba-tiba menghampiriku saat sedang membaca buku di kelas. Fazaira dan Didi juga sudah dibuat panik olehnya. Katanya Aurora ada di atap sekolah menyelamatkan sepedanya yang tergantung di sana. Aku berlari membelah kerumunan dan benar gadis nekat itu sudah ada di sana, dia pasti takut, tapi memaksakan diri. Orang-orang bersahutan memanggil namanya, memintanya turun. Pihak sekolah sudah menghubungi kepolisian dan aku buru-buru berlari mencari jalan yang tadi dilewatinya untuk ke sana.

Gadis itu benar-benar keras kepala, ini pasti karena sepeda milik Adhit itu yang ingin diselamatkan. Sebelum sampai, aku dicegat oleh Reza dan tiga orang temannya.

"Mau kemana? Mau sok jadi pahlawan kesiangan nolongin cewek bodoh itu?" tanyanya membuatku naik pitam. Aku tak menjawab, tapi kepalan tanganku yang mengeras sudah kulayangkan ke wajahnya. Aku menghajar mereka habis-habisan kemudian akhirnya berlari ke atas. Aurora sudah bergelantungan dengan tangisnya yang tak bisa ditahan. Tangannya bergetar, mungkin tak kuat lagi.

"DASAR KERAS KEPALA!"

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang