Part 12

91 12 0
                                    


Semilir angin mengusap wajahku perlahan, aku memejamkan mata mencoba mendapatkan ketenangan, Yardan lagi-lagi membuatku naik pitam. Si Freezer itu mengapa selalu saja membuat ulah, tapi tampak biasa-biasa saja seolah tak terjadi apa-apa. Kalau sampai terjadi sesuatu pada Adhit, aku pasti tidak akan memaafkan Yardan.

"Ayesha!" teriak Fazaira keras. Di belakangnya Yardan berjalan dengan angkuh. Aku membuang pandangan, tak habis pikir dengan Fazaira. Apa yang membuat gadis itu bisa mencintai Yardan setengah mati. Apa yang menarik dari manusia freezer seperti Yardan. Ia tak pandai berekspresi dan sepertinya dia tidak punya bahagia lalu apa yang diharapkan dari laki-laki seperti dia.

"Pulang yuk." ajak Fazaira saat sudah berdiri di sampingku.

"Kamu duluan aja Ra," balasku tanpa menoleh.

"Ayesha, mending kita pulang bareng aja deh. Kamu gak mau kan bunda khawatir karena kamu pulangnya telat." Aku pura-pura tak mendengar, pandanganku kuarahkan lurus ke depan menyaksikan air telaga yang tenang.

"Joni ada di luar yah. Tadi Adhit pergi gak bawa Joni," ucap Fazaira lagi. Aku menangguk sebagai balasan.

"Kamu kenapa sih, Sha? Masih kesel soal yang tadi yah?"

Aku tak menjawab.

"Yardan mau minta maaf nih," lanjut Fazaira.

"Gak. Saya gak mau mintaa maaf. Orang saya gak salah kok," ucapnya datar. Aku menoleh melihat dia yang juga menatapku. Benar-benar manusia gak punya hati.

"Lihat, dia gak mau minta maaf Ra! Minta dijedotin kali kepalanya biar dia sadar dan jadi ingat kesalahan apa yang udah dia lakuin."

"Pertama, kaki Adhit terkilir bukan salah saya, saya pikir kamu juga lihat itu. Dan yang kedua saya tidak tahu kalau keberadaan Adhit harus disembunyikan dari papanya sendiri jadi jangan salahkan saya kalau saya bicara jujur saat ditanya."

"Pertama, kalau kamu tidak menerima tantangan Reza, Adhit gak bakal cedera dan yang kedua, kamu gak usah sok suci Yardan!" ucapku ketus lalu bangkit meninggalkan mereka berdua di tepi telaga.

Sore ini aku pulang bersama Joni, sepeda ontel yang dibeli Adhit setelah membaca puisiku di bawah pohon rindang. Katanya ia ingin mewujudkan satu per satu mimpiku. Meskipun tak bersepeda bersama Ayah, aku sudah sangat bahagia karena bisa bersamanya. Bagiku Adhit segalanya, dia bisa menjelma menjadi Ayah, menjadi kakak, menjadi sahabatku, atau apapun itu yang pasti dia membuatku sangat nyaman. Ia tak pernah menyakitiku sedikitpun.

Aku sampai di rumah saat sudah benar-benar petang. Masjid di dekat rumah sudah berkumandang pertanda malam akan segera datang. Aku mengerutkan kening saat melihat mobil yang terparkir di depan rumah. Ini bukan mobil bunda juga bukan mobil Tante Syida-Mama Fazaira yang biasa datang- aku memasuki rumah namun, tidak ada siapa-siapa.

"Assalamu'alaikum, Yesha pulang." teriakku saat baru membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam," jawab bunda dari dalam dapur. Aku menghampiri bunda yang sedang sibuk memasak, aku sudah siap jika harus dimarahi karena terlambat pulang lagi.

"Bunda, maaf telat pulang."

"Gakpapa, tadi Ra telpon katanya kamu ada belajar bersama yah." Fazaira pasti bermaksud baik, ingin menyelamatkanku dari omelan bunda. Aku mengangguk saja.

"Bun, di depan mobil siapa?"

"Mobil papanya Adhit," jawab bunda.

Aku menatap keluar, rumahku dan rumah nenek -tempat Adhit tinggal- memang berhadapan. Mengetahui bahwa papa Adhit ada di sana mengapa aku menjadi tambah khawatir begini. Bagaimana jika Adhit diseret paksa ke Jakarta, apa aku akan kehilangannya. Tidak! Itu tidak boleh terjadi.

"Bunda, aku mau ke rumah nenek yah."

"Eh, mau ngapain? Baru pulang juga. Kamu mandi dulu habis itu ganti baju, shalat dan baru boleh keluar."

"Tapi, bunda."

"Ayesha..."

Aku pasrah, dengan muka ditekuk aku menaiki anak tangga menuju kamarku. Saat membuka pintu kamar dan menyalakan cahaya, sebuah kertas putih di atas kasur menarik perhatianku. Aku tersenyum saat membacanya. Seharian ponselku mati, itu mengapa tak ada yang bisa menghubungiku, tapi Adhit selalu tahu caranya.

"Bunda, tadi Adhit ke sini?" teriakku dari atas.

"Iya, katanya mau kembaliin buku kamu," jawab bunda juga setengah berteriak. Aku tersenyum lebar lalu bergegas mandi dan shalat maghrib.

***

Aku bangun sangat pagi, tak sabar menyambut hari ini yang sepertinya akan sangat menyenangkan. Aku melepas diri dari pelukan selimut tebal yang membuatku nyaman semalaman. Tulisan Adhit di kertas putih kemarin membuatku sangat bersemangat untuk bangun pagi.

QUEEN, BESOK JANGAN BANGUN TELAT! KUJEMPUT PAGI-PAGI YAH, AKAN KUTUNJUKKAN TEMPAT RAHASIA. -ADHIT-

Tok...tok...tok..

"Yesha, bangun sayang. Udah subuh nih. Bangun dulu yuk," kudengar bunda sudah ada di depan kamar, mengetuk pintu yang sebenarnya tak kukunci. Aku membuka pintu dengan penampilan yang sudah mengenakan mukenah putih.

"Udah bangun dong," ucapku sembari tersenyum ke arah bunda yang terlihat terkejut. Ini memang jarang terjadi.

"Tumben kamu bangun tanpa dibangunin." Aku hanya membalas dengan cengiran khas. Sampai aku ingat bahwa belum meminta izin pada bunda tentang rencana Adhit yang akan mengajakku pergi ke suatu tempat pagi ini.

"Bunda, hmmm... Inikan hari libur, Yesha mau jalan-jalan sama Adhit yah."

Bundaterdiam, tak banyak tanya seperti biasanya.

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang