Part 4

146 19 1
                                    

Flashback

Kami berjalan di sepanjang koridor menuju kelas, tiba-tiba pandangaan kami terarah di sudut kantin yang terlihat ramai.

"Adhit, kita ke sana dulu yah. Aku penasaran, kenapa di sana rame banget. Mungkin ada diskon di kantin kali yah," ucapku sembari menarik lengannya agar langkahnya mengikutiku.

Kami tiba di kerumunan orang-orang dengan perasaan bingung, tak ada suara sendok dan garpu yang saling beradu, tak ada teriakan pesanan yang saling berlomba. Hening. Sepertinya aktivitas makan sedang dipending. Aku mencoba menerobos kerumunan tapi, tak bisa. Kutatap Adhit dengan wajah putus asa, mungkin lebih baik aku menepati janji untuk mengantarnya ke ruang kelas.

"Ayoo," ajakku, tapi dia menahan.

"Awass! Air panas, air panas!" teriaknya membelah kerumunan. Adhit menarik lenganku, kami berlari menuju barisan depan. Aku tersenyum puas saat sudah berhasil, meskipun kami dihadiahi sorakan dari orang-orang yang merasa ditipu.

"Mungkin suaramu semerdu kicauan burung di telaga,

Mungkin gengganganmu seangkuh pohon yang berdiri di sana,

Mungkin juga elusanmu selembut angin yang mengusap kepala,

Namun, semua hanya perkiraanku saja.

Sebab, kita tidak pernah benar-benar bersapa.

Yardan.... Aku mencintaimu meskipun tak ada jumpa."

Aku terdiam, hampir tak percaya jika saja suara tepuk tangan dan siulan di ruangan ini tidak meyadarkanku tentang apa yang baru saja kusaksikan. Itu puisi untuk ayah hanya saja ada tambahan di bagian kalimat akhirnya. Ingin sekali rasanya menghilang seketika saat orang dengan tingkat kepercayaan tinggi melambaikan tangan ke arahku dari atas meja yang dipijaknya. Aku menyembunyikan wajahku di balik punggung Adhit, malu sekali. Aku mengutuk nama Fazaira dalam hatiku. Bocah itu benar-benar tak kupahami jalan pikirannya. Jadi ini alasannya sejak pagi tadi terlihat senyum-senyum sendiri, bertingkah aneh meminta doa padaku dan wangi yang tiba-tiba semerbak, entah ia memakai berapa botol parfum hari ini.

Yardan, lelaki datar yang baru kami temui kemarin sudah membuat sahabatku bertingkah 'gila'. Dan parahnya, aku, Fazaira, dan Yardan satu kelas sekarang. Aku tidak bisa membayangkan kegilaan apa lagi yang bisa dilakukan Fazaira jika Yardan menolaknya kali ini.

"Gila, itu lagi nembak?" Adhit ikut bertepuk tangan dan aku memilih menepuk jidat.

Kami masih menyaksikan adegan heroik itu, kulihat Yardan berjalan dengan wajah dinginnya ke arah Fazaira. Sejujurnya aku ikut deg-degan dengan kelanjutan cerita mereka, kesalnya semesta seperti mempermainkanku, waktu melambat.

Aku menggigit ujung kuku saat jarak Yardan dan Fazaira semakin dekat, aku yakin Fazaira ada di tingkat gugup paling tinggi sekarang. Kulihat pipinya merona bak tomat busuk, tangannya sibuk memainkan kertas putih yang kuyakin itu adalah salinan puisi ayah yang tadi dibacanya.

Yardan berhenti, ia mendongak ke arah Fazaira yang berdiri di atas meja. Hanya mendongak sedikit, sebab Yardan juga tinggi. Seperti saat pertama kali bertemu, wajah lelaki itu masih begitu. Tanpa ekspresi. Aku menggerutu sendiri, kalau sampai ia membuat malu sahabatku di depan sana aku berjanji akan menghampirinya dan menamparnya keras. Kukumpulkan keberanian untuk itu, kemungkinan buruk yang bisa terjadi, lelaki datar itu pasti akan marah padaku, tapi jika dia macam-macam aku yakin Adhit tak akan tinggal diam.

Skip. Aku menghelah napas legah, adegan menampar Yardan sepertinya tidak akan terjadi. Ia menarik lembut tangan Fazaira, memintanya turun dari sana. Kemudian menyeretnya pergi. Riuh tepuk tangan kembali pecah. Entah mengapa aku ikut tersenyum bahagia, tapi, tunggu! Mereka kemana? Bagaimana kalau Yardan menyakiti Fazaira karena tingkah gadis itu membuatnya malu. Itu tidak boleh terjadi, aku menarik lengan Adhit lalu berlari mengikuti mereka.

"Mau kemana sih, Sha?" tanya Adhit saat langkah kami sudah melambat. Aku tak tahu Fazaira dibawa oleh Yardan kemana. Bagaimana jika firasat burukku benar-benar terjadi.

"Kita harus cari Fazaira," jawabku. Adhit terlihat bingung, itu sudah jelas karena dia belum mengenal Fazaira.

"Yang tadi, yang gila di kantin. Itu sahabatku," ucapku kesal. Adhit tersenyum singkat yang hampir membuatku melayang, tanpa kuduga pandanganku ia arahkan ke sebuah bangku panjang di bawah pohon besar yang rindang. Di sana ada Fazaira yang terlihat bahagia mengobrol bersama Yardan. Sepertinya Yardan tidak macam-macam, Fazaira aman.

"Ayesha!" teriak Fazaira saat menyadari keberadaanku. Aku melambaikan tangan pelan, kulihat Adhit di sampingku sudah tersenyum lebar sembari mengacungkan dua jempolnya ke arah Fazaira.

Fazaira membalas lambaian tanganku, memintaku ke arahnya. Tanpa diminta, Adhit sudah mendahuluiku. Aku ikut mengekor di belakangnya.

"Cieee-cieee," Adhit langsung menyerang keduanya. Fazaira tampak malu-malu sedangkan laki-laki di sampingnya masih tak berekspresi. Apa yang disukai Fazaira dari laki-laki datar itu, tidak ada yang menarik.

"Hai," Fazaira menyapa Adhit sembari berjabat tangan. Mereka berkenalan, pun dengan Yardan dan Adhit. Seharusnya aku juga ikut berkenalan dengan Yardan, aku hanya mengenal namanya lewat perkenalan pagi tadi di kelas, aku yakin dia sudah lupa atau bahkan tak menyimak saat giliranku memperkenalkan diri. Aku juga tak mau lebih dulu menyapanya, gengsi.

"Nah, kalau ini Ayesha. Dia sahabatku yang tadi kuceritakan," akhirnya Fazaira yang memperkenalkanku. Yardan mengulurkan tangannya sembari tersenyum tipis. Uhh, ternyata dia tahu juga caranya tersenyum meskipun jika dibandingkan dengan senyum Adhit, senyum Yardan tak terlihat seperti senyum. Tipis dan singkat. Aku tetap menjadi anak baik seperti pesan bunda meskipun hatiku sebenarnya sudah terlanjur tak respek padanya. Aku membalas uluran tangannya ramah. Tahukah kamu, aku sedang bertopeng.

Kami mengobrol banyak meskipun hanya Fazaira dan Adhit yang mendominasi percakapan, kami menghentikan celoteh basa basi yang hampir basi saat bell sudah memaksa kami masuk kelas.

***

R A S ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang