Yang Sebenarnya

695 104 6
                                    

Hampir seperti rutinitas biasanya, setelah menyelesaikan pekerjaan maka Airin akan pulang. Ia memilih untuk berjalan kaki, mungkin akan sedikit mengurangi rasa suntuknya.

Airin memandangi bunga yang ditanam oleh Pemerintah daerah setempat di pinggiran jalan. Sangat indah jika dilihat di sore hari, apalagi di tempat yang tidak banyak dilalui kendaran seperti ini. Tiba-tiba bayangan Brian muncul di pikiran Airin, ia berhenti tersenyum lalu sedikit menjauhi bunga-bunga itu. Bibirnya melengkung ke bawah, seakan sedang bersedih ketika mengingat memorinya bersama pria itu.

"Dia lagi apa ya? Tadi keren banget penampilannya. " Ujar Airin memberi pertanyaan pada diri sendiri. Tadi pagi Airin sempat menonton penampilan Brian dan Enam Hari lewat ponsel saat berangkat kerja. Dadanya merasa nyeri, sakit bila menyadari betapa tragisnya kisah cinta mereka. Namun, memang seperti inilah seharusnya. Airin berharap, Brian selalu bahagia dengan apa pun yang pria itu kerjakan.

Airin kembali berjalan, mencoba untuk menghiraukan bunga-bunga cantik itu. Ia merogoh tasnya, mencari sebuah benda yang disebut ponsel. Setelah dapat, Airin mencari kontak telepon Ayahnya. Ia menempelkan benda itu di daun telinga sembari menunggu sang Ayah menjawab.

"Halo, Nduk? Bapak masih ngasih makan ikan ini, kamu sudah selesai to? " Tanya Bapak Mansu dari sebrang sana. Airin tertawa kecil. "Sudah, Pak. Ini lagi jalan pulang. " Kata wanita itu menjawab.

"Lho? Kok nggak nunggu Bapak saja? Sebentar lagi Bapak berangkat! "

"Nggak usah, Bapak. Airin pulang sendiri aja, ini sambil jalan kaki. "

Di tengah-tengah obrolan Airin dan Bapak Mansu di telepon, terlihat sebuah mobil hitam berhenti tepat di samping Airin. Tentu saja Airin bingung, kenapa mobil itu berhenti di sampingnya?

Seorang pria tak dikenal keluar dari mobil itu dan langsung merampas ponsel milik Airin, di saat itulah sambungan telepon antara Airin dan sang Ayah terputus. Panik, Airin berusaha meminta ponselnya kembali.

"Apa-apaan? Kembalikan hp saya! " Kata Airin meminta, namun orang itu tidak menurutinya. Lalu satu orang lagi keluar dari mobil dan segera membekap Airin dengan sapu tangan yang sudah di beri sejenis obat bius sebelumnya. Wilayah yang dilalui Airin sedikit sepi sore ini, karena itu penculikan berjalan dengan lancar.

Setelah Airin pingsan, ia dibawa masuk ke dalam mobil. Dan, di sinilah ia sekarang.

Airin sudah terbangun dari pingsannya sedari tadi, namun karena matanya ditutup oleh kain hitam, maka dia tidak bisa melihat keadaan sekitar. Sedang ada di mana juga Airin tidak tahu. Posisinya sedang duduk, badan, tangan, dan kakinya diikat dengan erat. Ia benar-benar seperti tahanan Mafia.

Berkali-kali ia berteriak, meminta tolong kepada siapa pun yang mendengarnya. Namun sayang, tidak ada hasil apa pun yang ia dapat.

Samar-samar Airin mendengar suara pintu terbuka, serta suara langkah kaki yang sepertinya sedang mendekat ke arahnya.

"Siapa itu? " Tanya Airin.

"Nggak ngenalin suara saya to, Rin? "

Hanya dengan satu kalimat yang terucap, Airin langsung mengetahui siapa orang itu dengan mudah.

Seperti Brian yang mengenali Suho tadi.

"Pak Kuncoro? "

"Benar sekali! "

"Kenapa Bapak culik saya? Lepas! " Airin menghentak-hentakkan kakinya, berusaha untuk melepaskan diri.

Bapak Kuncoro menyebikkan bibirnya. "Kamu itu loh, susah sekali dibujuknya! Saya akan lepaskan, asal kamu mau menikah dengan saya. Bagaimana? "

Hai, Brian! | Day6 YoungK [completed] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang