31 : Celengan Rindu

5 1 0
                                    

Veli, Vilo, Silvi, dan Putra. Menggunakan sepeda motor mereka untuk ke rumah sakit.  Beruntung, Veli dan Vilo membawa sepeda motor.
Karena Silvi marah pada Putra, jadilah Silvi dengan Veli. Mereka berempat mampir ke toko buah, untuk membeli buah.

Silvi sudah melarang Veli untuk tidak membawakan apa pun namun, Veli tetap pada pendiriannya. Veli tidak ingin membuat mama dan papa Silvi, kecewa karena mereka berkunjung tanpa, membawa apa pun.

"yaampun, Veli ini ke banyakan tau."

Veli berdecak malas, "yaudah lah... Kan, yang penting mama sama papa elo seneng"

Silvi hanya mengangguk dan Veli segera membayar buah itu. Silvi menunggu Veli dalam diam, sedangkan Vilo dan Putra menunggu di luar toko buah.

"udah, selesai yukk.. Keluar, udah pada nunggu tuh"

"ok.. "

Mereka berdua, berjalan keluar Silvi melihat Putra, dengan malas. Sedangkan Veli tersenyum melihat Vilo.

"udah beli buahnya? Uangnya kurang nggak?" Veli menggeleng.

"enggak kok, tenang aja. Kalau uangnya kurang kan, ada kamu yang nambahin"

Vilo mengacak gemas rambut Veli, mereka seperti lupa, kalau mereka tidak hanya berdua.

"ekhemm... Lama banget sih pacarannya. Orang tua aku udah nunggu loh.."

Silvi memperingatkan agar Veli tidak lupa.

"iya... Ayo, kasihan orang tua Silvi nunggu"

Mereka kembali, menggunakan sepeda motor dan pergi ke rumah sakit. Mereka berempat sudah mengganti baju sekolah mereka dengan baju bebas.

Beruntung sekolah hari ini di pulangkan dengan cepat, sehingga tidak membuat mereka menjenguk sore hari.

Sesampainya di rumah sakit, mereka di pimpin oleh Silvi. Rumah sakit ini sepi karena mereka, masuk saat jam pagi. Sehingga tidak banyak yang datang untuk menjenguk.

"ini kamarnya, em.. Gue mohon jangan berisik ya, soalnya orang tua gue lagi tidur." Veli mengangguk menanggapi Silvi.

"ini kamar VVIP?" Silvi tersenyum dan mengiyakan pertanyaan Veli. "oh.. Ok"

Mereka masuk, dan Veli dapat melihat banyak alat yang terpasang, di tubuh mama dan papa Silvi.

"sini duduk, gue ke kamar mandi dulu ya.. "

Silvi masuk ke kamar mandi, dan yang lain duduk di tempat yang tadi di persilahkan oleh Silvi.

Ruangan ini hening, tidak ada yang bersuara mereka tidak tau apa yang harus di bicarakan. Sampai Silvi datang.

"kok diem aja sih? Bicara kek, kayak orang bisu aja" Silvi berbicara canggung.

"iya... Ini kamar VVIP bukannya mahal sih? Siapa yang bayar Sil?" Silvi menghela napas.

"yang bayar? Keponakan gue, dia kerjanya mantau perusahaan. Gue sebenarnya nggak mau papa sama mam gue.  Ada disini, tapi ponakan gue yang maksa yaudah deh"

Veli mengangguk dan melihat orang tua Silvi. "maksudnya mantau perusahaan itu, CEO ya?"

"iya.. Cuman, gue nggak mau ngakuin dia CEO."

"kenapa?"

"ya... Nanti, kalau gue bilang dia CEO, dianya jadi sombong. Nyebelin banget tau nggak sih."

"iya.. Iya..."

Hening lagi, mereka merasa ini bukan seperti biasanya. Jika biasanya Putra memancing pembicaraan, sekarang berbeda tidak ada yang mau berbicara.

"ini yakin, kita cuma mau diem kayak gini aja nih disini?" Veli akhirnya memancing pembicaraan.

"ya enggak lah, gue punya mulut dan gue bisa ngomong jadi gue bicara aja deh.. "

"tapi katanya tadi nggak boleh berisik" Putra menyahut, dan membuat hening lagi. "tuh... Kan, gue ngomong kalian malah hening, yaudah gue pulang aja ya."

"jangan.. " Silvi menahan tangan Putra, yang sudah menggenggam kunci motor. "jangan, elo kan punya tugas matematika. Gimana kalau kita selesain bareng mumpung, kita kumpul. Dan biar kita nggak gabut."

Veli dan Vilo setuju dengan Silvi. "iya.. Bener, elo kan punya tugas kita bantuin ok"

"ok, kalau gitu. Makasih ya.."

Mereka mulai belajar kelompok, tentang matematika yang di berikan pak Eko. Mereka semua sibuk beradu argumen. Hingga akhirnya mereka menemukan solusi untuk matematika itu.

Vilo juga ikut adu argumen dengan Silvi, sampai membuat Putra dan Veli bingung sendiri. Niat Veli untuk melerai mereka juga ikut pecah, dan berputarlah mereka bertiga di gelombang yang sama.

Adu argumen ini tidak berhenti sampai, Putra harus menghentikan mereka.

"berhenti cuy... Gue tau gue aja, yang nggak nyangkut tentang matematika ini. Tapi gue bisa mohon nggak sih nggak usah berisik, kasihan ortunya Silvi. Dan kalau kalian pengen tau, gue diem bukan berarti gue nggak paham ya, kalau kalian dari tadi bawa rumus yang sama tapi kalian pecahin. Kasihan lah.. Yang buat rumus, bingung juga ntar.." mereka bertiga menatap Putra dengan tatapan yang berbeda-beda. 

"yaudah.. Terus ini pakai caranya siapa dong?" Silvi melempar bukunya dengan kesal.

"kenapa kita nggak pakai, cara kalian satu per satu. Dengan begitu kita bakal tau, apakah jawaban dari rumus kalian itu sama apa enggak. Pinter dikit ngapa!" Putra mengambil buku mereka dan mulai, mencatatnya di buku coretan miliknya.

"nah.. Gue udah catet nih, rumus kalian, sama rumusnya pak Eko. Kita cari dulu dari rumus pak Eko, setelah itu baru rumus kalian."

Sekarang semuanya, berada di bawah kendali Putra. Dan mereka hanya mengikuti dari awal hingga akhir. Tidak ada adu argumen seperti saat cerdas cermat.

"nah.. Gini kan enak, nggak berisik."

Veli menatap Putra heran, sejak kapan Putra berubah. "elo kesambet, apa sih? Tumben bijak."

Putra tersenyum miring. "jelas gue keponakannya Mario Teguh. Dan sebenarnya gue udah bijak dari dulu. Cuman, kaliannya aja yang nggak sadar." Putra mengibaskan rambutnya dengan sombong.

Veli menarik kembali perkataanya tadi. Sedangkan Vilo dan Silvi hanya menghela napas malas.

"ini udah jam, setengah 5 loh..  Kalian nggak mau pulang?" Silvi melihat jam dinding.

"eh.. Iya bener, nggak nyangka loh, padahal tadi waktunya kayak lama."

Silvi membenarkan, perkataan Veli. "waktu emang gitu, di saat kita ingin lama waktu bakal cepat. Dan di saat kita ingin waktu cepat, waktu akan melambat."

"nah.. Ini anak didik gue. Gimana, bagus kan?" Putra menepuk pundak Silvi dengan bangga, sedangkan Silvi menghentakan tangan Putra dengan keras.

"sorry, ya.. Gue bukan murid didikan hasil elo ya."

Veli terkekeh, dan Vilo tersenyum melihat Veli terkekeh. Akhrinya mereka bertiga harus berpamitan pada Silvi, lalu pergi meninggalkan Silvi sendirian di rumah sakit.

"Putra.. Elo bawa motor gue aja, gue bareng Veli. Gue nggak tega, kalau Veli pulang sendiri." Putra memutar bola matanya malas. Namun, Putra juga mengiyakan.

"hati-hati.. Kalau ada mantan lewat jangan oleng sama penampilannya. Sekian dari gue, gue pulang dulu ya bay.."

"motor gue jangan lupa ngikutin gue"

"siyapp bos...."

Kini tinggalah mereka berdua. Vilo mengendarai sepeda motor dengan,  kecepatan sedang.

Akhrinya mereka sampai di rumah Veli.

"kamu hati-hati ya, jangan ngebut. Bilangin tuh ke Putra. Biar nggak kebiasaan ngebut."

"iya... Sayang ku."

Akhirnya mereka berdua pergi, dan Veli kesal dengan waktu karena mereka harus berpisah dengan terpaksa. Memasuk kan motornya ke halaman, mandi dan beristirahat itu yang di lakukan Veli sekarang.

Celengan RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang