34. Merapikan Kenangan

247 17 4
                                    

HAPPY READING🤗

♥♥♥

Mengapa silam dijadikan benci yang tersimpan, sedangkan dikemudian hari bisa menjadi pelajaran tuk menjemput bahagia.

-Author-

"Kenapa malah diem berdiri disitu?"
Heran Alicya pada Devin yang berdiri disisi motor hitamnya. Alhasil Alicya mengulang empat langkahnya menghampiri Devin.

"Engga jadi lah, Cya. Lain hari aja," Alicya mengernyitkan dahinya mendengar Devin yang mengurungkan niat menjenguk Rindra, papanya. Pasalnya sedari kantin tadi, Devin begitu kekeh untuk kemari, sampai-sampai berdrama dengan guru piket bahwa kakaknya dirawat di rumah sakit. Adik laknat memang. Tidak sia-sia dramanya mendapat izin guru piket dan satpam untuk menyudahi jam sekolah terlebih dahulu, padahal waktu baru menujukkan pukul 14:35.

"Selagi ada waktu, kenapa harus lain hari?"

"Rasanya kok gini banget, padahal cuma mau ketemu papa kandung."

"Vin... ada aku di samping kamu." Alicya memberanikan diri menautkan jemarinya dengan Devin, membuat kedua pemilik hati yang sedang kasmaran penuh ketenangan. Sedetik kemudian bibir Alicya tersenyum simpul, seolah isyarat bahwa setelah ini semuanya akan baik-baik saja. Kaki Devin yang semula tak bergeming, kini mengikuti langkah kaki Alicya.

"Bahkan aku gak perlu milikin dunia, kalo milikin kamu aja udah buat aku bahagia." Gumam Devin dalam hati, tanpa disadari bibirnya membentuk bulan sabit, dan perasaan berkecamuknya seolah berformasi tenang dan tersusun.

Hening, satu kata menggambarkan ruang temu yang disediakan lapas. Rindra, hero Devin semasa kecil yang selalu dibanggakan di depan teman-temannya kini mengalami berbeda, selalu diam dengan tatapan kosong sejak dijadikan tahanan atas kasus pembunuhan terselubung dan penculikan Silvi. Devin menatap nanar papanya yang kini hanya diam menatap kosong seolah tak ada yang menarik di dunia sekitarnya tuk ditanggapi.

"Pa, Maafin Devin baru jenguk papa sekarang" lirihnya setelah bermenit-menit tak bersuara.

Devin membuka ranselnya dan menunjukkan sebuah foto usang yang di dalamnya terdapat dirinya, kakak, serta orang tuanya.

"Kelas 5 SD, sewaktu jam pulang papa jemput jemput Devin. Tapi Devin lebih milih main di lapangan sama temen sekolah. Devin bandel banget gak mau pulang, sampe-sampe papa maksa Devin dengan nggendong dipundak," HAHA, tawanya dibuat-buat dalam hati mengingat kelakuannya masa kecil.

"Tapi papa gak butuh banyak waktu buat jemput kak Indi pulang. Iya, dia beda. Lebih penurut, pinter, mandiri, tapi pemaksa kayak papa. Ternyata papa engga ngajak kita pulang ke rumah, melainkan tempat baru berkumpul kita, yang sekarang tinggal kenangan." Caffe star, tempat yang dimaksud Devin. Sumber penghasilan sekaligus kebahagiaan yang sengaja Rindra bangun.

"Devin inget nasehat papa, saat kita bukan diposisi sekarang dan belum punya semuanya. Kalo salah satu diantara kita ada yang lapar, maka yang lain pun harus lapar. Karena kita keluarga, harus merasakan suatu hal bersama. Tapi seiring berjalannya waktu, nasehat itu luntur. Papa lupa sama keluarga, seolah prioritas papa hanya perusahaan. Kak Indi yang masih 16 tahun, dipaksa ngehandle caffe." Memoar Devin jelas terputar, sedang, yang diujarkan hanya diam. Samar-sama Rindra menitikkan air matanya, dengan keadaan yang masih tak bergeming menatap kosong hadapannya.

Devin menarik nafasnya, menetralkan dirinya agar tidak kelepasan. Entah emosi bahkan menangis. Ia akan merasa banci bila hal itu terjadi. Meski ia sadar, Alicya yang disisinya sudah menitikkan air mata dalam gemingnya.

Devilicya [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang