06

291 22 0
                                    

Hari ini Ratih membawa Hanna menemui Arimbi yang sebenarnya, tadi pagi Sultan memerintahkannya sebelum berangkat kerja. Selama kedua wanita itu dipertemukan tidak ada hal yang rumit, Hanna cukup pandai menyesuaikan diri sehingga Arimbi mudah menerimanya sekalipun mereka baru pertama kali bertemu. Berkali-kali Ratih menatap Hanna yang barangkali ingin bertanya sesuatu.

Tidak sedikitpun Hanna putus asa, meski sulit mengambil perhatian Arimbi, dia terus saja mengajaknya berbicara seperti teman mengobrol yang asyik. Ratih yang melihat kesungguhan Hanna sampai geleng-geleng kepala. Sultan tidak salah memilih Hanna untuk dijadikan Arimbi kedua, dia wanita yang sangat baik.

Wajahnya begitu sejuk dan bersahaja.

"Halo, Mba, perkenalkan aku Hanna." Ini sudah yang kesekian kali Hanna memperkenalkan diri, tapi Arimbi masih belum merespons.

Pandangan Arimbi masih tertuju pada langit mendung. Objek langit memang menjadi pemandangan kesukaannya saat duduk di taman. Entah apa yang Arimbi pikirkan? Tatapan wanita itu seolah-olah berpikir, tengah menerka sesuatu. Namun, tidak ada yang tahu.

"Hmm, Ratih, boleh aku bertanya?"

Setelah Ratih mengangguk, Hanna pun bangkit mengambil beberapa langkah ke depan. Sedikit memisahkan diri.

"Ngomong di sini, Non. Tenang saja Nyonya Arimbi tidak mengerti apa yang kita bicarakan." Ratih berkata, enggan meninggalkan Arimbi pertama walau hanya sejengkal.

"Baiklah, aku hanya berjaga-jaga." Hanna kembali mendekat pada Ratih, lalu berbisik rendah. "Kenapa Mba Arimbi terlihat sangat sombong? Aku mengajaknya berkenalan, tapi dia tidak sekalipun menanggapiku, bahkan menoleh saja tidak."

Sontak Ratih tertawa, tidak menyangka ternyata Hanna sangat polos. Hatinya masih bersih, jauh dari berpikir buruk.

"Bukan sombong, Non, beliau tidak mengerti. Sejak kecelakaan dia jadi seperti orang asing, dan maaf bodoh."

"Maaf." Hanna jadi merasa bersalah.

Ratih hanya tersenyum. Memaklumi.

Kembali pada Arimbi, dengan lembut Hanna memberanikan diri menyentuh pundaknya, saat wanita itu menoleh dia pun tersenyum. Hanna langsung memperkenalkan dirinya dengan kalimat yang sama, sambil menepuk dadanya sendiri berharap Arimbi mengerti. Butuh waktu cukup lama.

"Hanna." Dengan fasih Arimbi menyebutnya, sontak Hanna gembira.

Terlebih lagi Ratih. Perawat itu sampai membelalakkan matanya tidak menyangka. Arimbi sulit sekali mengeluarkan suara, walau sepatah kata pun. Hanna berhasil membuat Arimbi bersuara lagi, ini suatu kemajuan dan kabar menggembirakan.

"Nyonya, akhirnya ..." Ratih menatap sang nyonya dengan perasaan haru, lalu berkata. "Tuan Sultan pasti sangat senang mendengar kabar ini."

Mendengar nama Sultan, Hanna pun mengerling. Perasaan kasihan pada Arimbi berangsur menghilang. Sejak pertama kali Hanna melihat Arimbi, tidak lebih dari seorang wanita yang menyedihkan. Namun, setiap Hanna teringat kekejaman Sultan terhadap dirinya membuat hatinya sedikit iri. Arimbi mendapat perhatian khusus oleh Sultan, sementara Hanna tidak. Padahal mereka kedua istri Sultan yang sah, tapi nasib keduanya berbeda.

"Loh, Nona ..." panggil Ratih saat melihat Hanna berlari pergi.

Sesampainya di kamar Hanna menangis tersedu-sedu. Merasa sakit hati dengan perlakuan Sultan yang tidak seimbang. Tidak semestinya lelaki itu menikahi dua wanita jika tak mampu berlaku adil. Hanna juga seorang wanita yang memiliki hati dan perasaan. Dia ingin dicinta dan mencintai. Hidup berumah tangga dengan normal seperti pasangan pada umumnya, bukan menjadi orang lain.

Arimbi tidak salah. Wanita itu hanya seorang istri yang malang. Hanna juga tidak meminta banyak, cukup Sultan mengakuinya sebagai istri yang lain, bukan Arimbi istri pertamanya.

***

"Arimbi, aku pulang!" Sultan berteriak, terdengar hingga ke kamar.

Dengan penuh semangat lelaki itu menuju kamar istrinya, dengan masih berseragam lengkap. Sultan baru saja pulang, dan orang pertama yang didatanginya adalah Hanna. Kebetulan Hanna baru selesai salat magrib, saat melihat Sultan dia pun bangkit, lalu menyalim tangan kasarnya. Hubungan mereka memang sudah jauh lebih baik semenjak Sultan mempertemukan Hanna dengan bunda.

"Apa kamu sudah makan?" tanya Hanna setelah melepas mukenah yang dia kenakan.

"Belum, aku ingin makan bersamamu." Sultan menyengir, lantas menyeret Hanna ke meja rias. Duduk di depan cermin.

Hanna tidak bertanya apapun saat Sultan mengeluarkan kotak kecil dari saku jasnya, lalu mengambil sebuah kalung yang cantik. Hanna tersenyum lebar, matanya sampai berkaca-kaca. Namun, perasaan bahagia itu lenyap begitu Sultan memakaikan kalung tersebut di lehernya, nama Arimbi terpampang jelas. Itu menyakitkan.

"Aku membeli hadiah untukmu sebagai permintaan maafku," kata Sultan, lalu mengecup puncak kepala Hanna.

"Kamu membelinya untuk Arimbi istrimu?" tanya Hanna, suaranya bergetar menahan tangis.

"Ya, tentu saja, kamu istriku."

Sejenak Hanna menghela napas, membiarkan air matanya menetes. Sultan memang keterlaluan, tidak berperasaan, dan egois. Berulang kali Hanna mengutarakan keengganannya terhadap bayangan Arimbi, tetapi dia tidak pernah mengerti. Sultan terus memaksa Hanna untuk menerima semua yang dia tetapkan.

"Kamu tidak menyukainya ya?" tuding Sultan, menatap Hanna bingung.

Buru-buru Hanna menghapus air matanya, dan memasang senyuman terbaik. "Aku hanya terharu."

"Ah, Sayang, ini tidak seberapa dengan apa yang telah kamu lakukan pada Bunda." Dengan lembut Sultan memeluk Hanna, meluruhkan rasa penatnya sepulang kerja.

Selepas Sultan mengganti seragam Hanna mengajaknya makan malam. Sebagai istri yang baik Hanna memasak makanan kesukaan Sultan. Sore tadi bunda bercerita banyak sekali mengenai Sultan, tentang karirnya hingga masa kecilnya yang menarik untuk didengar. Orang tua memang seperti itu, senang menceritakan hal yang paling berkesan baginya berulang-ulang, dan Hanna yakin beliau sudah bercerita pada Arimbi.

"Hmm, sepertinya enak." Sultan menghirup sepiring nasi goreng yang Hanna masak.

"Ya, aku memakai resep dari Bunda," jawab Hanna terlalu jujur.

"Haha, aku sudah tahu, kupikir kamu akan mengakuinya resep sendiri. Baru saja aku ingin menyanjungmu dengan kalimat yang romantis."

"Tidak perlu, aku lebih suka kalimat apa adanya dari suami yang pengertian. Khusus untuk diriku, bukan untuk orang lain." Hanna menyindir.

Menaruh sendoknya kembali Sultan menatap Hanna yang menuangkan air ke dalam gelas. Gejolak panas sudah mengelilingi kepalanya, tapi Sultan menahannya, enggan merusak momen yang baru saja dia perbaiki. Melihat reaksi Sultan, wanita itu pun mendengus. Semakin sering melihat Sultan emosi, ketakutan Hanna jadi berkurang karena sudah terbiasa.

"Makanlah, jangan marah terus." Bahkan, keberanian Hanna meningkat. Dia sudah berani menegur Sultan.

"Ya, baiklah. Kamu tidak makan?"

"Aku sudah kenyang. Tadi makan bareng Bunda," jawab Hanna.

Mengangguk sekali dengan begitu Sultan menyantap makanan kesukaannya itu, tidak sedikitpun dia berbicara selama makanan di piring belum habis. Begitu Sultan selesai dengan piring yang kinclong Hanna tersenyum. Bunda benar, anaknya yang aneh itu sangat menyukai nasi goreng rumahan. Maka Hanna akan sesering mungkin menyajikannya untuk sang suami.

"Ternyata masakanmu tidak jauh beda dari Arimbi." Sambil mengelap mulutnya Sultan berkomentar. Seketika senyuman Hanna redup.

Selalu Arimbi, Arimbi, dan Arimbi.

Tidak bisakah hidup Hanna berjalan apa adanya, tanpa bayangan Arimbi?

----------

Ramaikan dong! Ajak yang lain baca cerita ini. Tanpa dukungan dari kalian apalah artinya semua ini.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang