Suara gemuruh hujan di luar berhasil membangunkan tidur seorang lelaki yang tengah risau. Membuka sedikit gorden jendela kamarnya, mata Leo langsung disuguhkan pemandangan menakjubkan. Hujan petir dan kilat menyatu menjadi satu. Entah kenapa pikiran Leo langsung tertuju kepada Hanna. Wanita malang itu selalu ada dalam pikirannya di setiap waktu. Apalagi cuaca alam yang buruk, telah membangkitkan rasa cemasnya dua kali lipat. Apakah sekarang Hanna bisa tidur nyenyak?
"Sudahlah, Le. Dari dulu takdir kamu memang sulit mendapatkan seorang wanita." Suara wanita di belakangnya terdengar begitu mengejek.
"Setidaknya, aku pernah jatuh cinta. Tidak sekarang, pasti suatu saat nanti aku akan mendapatkan wanita itu." Leo berkata penuh keyakinan.
Ratih tertawa, rasanya dia seperti bukan berbicara dengan Leo. Sejak mengenal Hanna lelaki itu memang banyak berubah, terutama hatinya. Ketika dulu Ratih menyinggung soal cinta, Leo tampak tidak peduli, tapi kali ini seolah-olah jiwanya bangkit.
"Kupikir Sultan tidak akan begitu saja melepaskan Hanna," ujar Ratih. Dia sengaja membuat Leo naik darah. "Istrinya Arimbi itu tidak mungkin sembuh, aku tidak membiarkannya."
Leo berbalik, lama-lama kupingnya terasa memanas mendengar setiap ocehan Ratih yang berbisa. Tunangan sahabatnya itu selalu saja dendam dengan Sultan dan Arimbi, padahal kejadiannya sudah lama sekali. Dia gagal menikah karena suatu masalah hingga membuat Angga meninggal. Bedanya Sultan tidak tahu tunangan Angga itu adalah Ratih, yang sering berkeliaran bebas di rumahnya dulu.
"Sampai kapan kamu akan berhenti?" tanya Leo, begitu menusuk dan tajam.
"Mungkin, sampai Arimbi atau aku yang meninggal dunia." Ratih berkata tegas, wajahnya cantik, tetapi sangat licik dan berbahaya. "Tapi sekarang aku ingin bermain-main terlebih dulu."
"Aku jadi berpikir jika kamu di balik Arimbi tidak bisa disembuhkan."
"Haha, tepat sekali. Sejak aku tahu tujuanmu aku langsung bergerak cepat, dan putar otak mencari ide." Ratih menerangkan, aktingnya tempo lalu sukses memperdaya Sultan dan Hanna.
"Sialan! Aku sudah capek mencari cara, kamu malah membatalkannya." Leo mengumpat, sedang Ratih hanya tertawa keras.
Meremas kepalanya Leo jadi frustrasi sendiri. Menghadapi Ratih memang membutuhkan kesabaran yang ekstra. Wanita itu selalu mempunyai seribu cara untuk menghancurkan hubungan Sultan dan Arimbi, entah sampai kapan, yang jelas Leo tidak bisa melarang maupun menghentikan. Keloyalan Angga membuat Leo terus merasa hutang budi, dan dia juga menghargai Ratih tunangannya itu.
Seolah tanpa beban Ratih berbaring di tempat tidur Leo, yang terasa empuk dan nyaman. Lelaki itu hanya memandangnya datar. Sejak Angga meninggal dunia, Leo membebaskan Ratih mendatanginya kapanpun dia inginkan. Ini bermula sejak Ratih nyaris gila ditinggal pujaan hati, Leo tidak tega sehingga menampungnya sampai wanita itu benar-benar kuat.
"Leo, kamu tidak ingin mencoba denganku?" Ratih membuka cardigan atasnya, berusaha menggoda Leo.
Tersenyum geli, Leo pun menghampiri Ratih yang sedang menerapkan beberapa pose, lantas menarik tangannya bangkit. "Pindahlah ke kamarmu, Ratih. Aku tidak akan pernah tertarik padamu."
"Huu, payah!" balas Ratih dengan jengkel, disusul bantingan pintu.
Selepas kepergian wanita licik itu Leo baru bisa bernapas lega. Tangannya mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Untuk seperkian detik Leo menatapnya, menimbang sesuatu yang cukup berat untuk dilakukan. Namun, bayangan wajah Hanna seakan terus menghantuinya, dan Leo merasa jika dia harus menelepon Sultan.
Tepat di nada sambung ketiga telepon diangkat oleh sang empunya, belum sempat Leo menyapa, Sultan sudah memakinya dengan suara yang berat.
"Mengganggu saja!" bentaknya, lalu panggilan diputus sebelah pihak.
***
Hanna menarik kain apapun yang mudah dijangkau untuk menutupi tubuh setengah telanjangnya, lantas beringsut naik ke bagian atas ranjang. Dari tempatnya Hanna bisa melihat perubahan wajah Sultan, tetapi dia enggan berkomentar. Sekilas Sultan melirik Hanna yang menatapnya, sambil lalu lelaki itu memunguti pakaian miliknya dan Hanna. Akibat menerima telepon Leo gairah Sultan hilang, tergantikan dengan rasa lapar.
Tanpa bertanya Hanna pun menerima pakaian yang Sultan berikan, lalu dia kenakan dengan cepat. Semenjak tahu Sultan pandai berakting perasaan Hanna selalu diliputi was-was. Tidak hanya malas melakukan hubungan seksual, mengobrol dengannya juga menimbulkan rasa yang tidak enak.
"Arimbi, bisa kamu buatkan aku sepiring nasi goreng?" tanyanya pelan, dia duduk tepat di sisi Hanna.
"Ya, tentu saja bisa," jawab Hanna, dan bangkit dari tempat tidur.
Seakan teringat sesuatu Sultan menahan pergelangan tangan Hanna, hingga wanita itu kembali berbalik. "Aku tidak melihat kalungmu."
Sontak jantung Hanna bertalu. Soal kalung Hanna lupa mengenakannya kembali setelah memilih bertahan dengan Sultan. Bayangan buruk yang kerap menimpanya otomatis berputar di kepala Hanna. Dia mulai ketakutan.
"Anu ..." Hanna kesulitan menjawab.
Akan tetapi tidak seperti biasanya Sultan malah tersenyum, seolah geli melihat Hanna yang gugup. "Tenanglah, aku tidak akan marah."
Saat Sultan mengusap sisi lehernya mati-matian Hanna tidak bergidik, sekalipun dia sangat merinding. Setiap gerakan yang Sultan lakukan sekarang terasa mengerikan bagi Hanna, bahkan auranya yang telah berubah baik sama sekali tidak menggugah hatinya lebih dalam. Perasaannya jadi waspada.
"Anu, kemarin aku melepasnya, dan lupa mengenakannya kembali."
"Hmm, tidak masalah." Sultan terkekeh.
Dengan begitu Hanna buru-buru bangkit. Dia hanya ingin cepat menyelesaikan tugasnya, membuat Sultan kenyang, dan tidur nyenyak. Jujur saja, saat Sultan berada di dekatnya semakin membuat Hanna takut, bahkan tidak bisa tidur semalaman. Dalam hidupnya paman selalu berpesan agar hati-hati dengan orang yang pandai berakting, karena mereka tidak bisa dipastikan baik buruknya, sekalipun suami sendiri.
Menata nasi goreng di piring, Hanna menambahkan daun sop dan tomat. Sebagai seorang istri Hanna tetap menjalani tugasnya dengan baik, di samping rasa takut yang besar. Dia tentu tidak ingin menjadi istri durhaka, apalagi sekarang tengah mengandung.
"Aromanya sangat enak." Sultan menghirup aroma nasi goreng yang baru Hanna masak.
Hanna hanya tersenyum kikuk. Dalam diam wanita itu mengamati suaminya menyantap nasi goreng. Cuaca dingin seperti ini memang paling bisa membuat perut lapar. Sesaat Sultan mengangkat kepalanya begitu teringat Hanna, dengan perhatian dia mengambil sesendok dari piringnya, lalu mengarahkan pada sang istri.
"Ayo, Sayang, buka mulutmu. Ini enak sekali, aku belum pernah menyuapimu kan?" pinta Sultan sangat lembut.
Meski sedikit ragu Hanna menerima suapan pertama Sultan, mereka saling tatap, dan tersenyum. Sikap Sultan benar-benar beda, mulai dari caranya berbicara sampai tatapannya yang lembut. Hanna mencoba menghargai kebaikan Sultan, dengan berpikir jika semua ini untuk calon anaknya yang membutuhkan perhatian lebih.
"Mas, boleh aku bertanya?" tanya Hanna memberanikan diri.
Sambil mengelap mulutnya Sultan mengangguk, dan menatap Hanna. "Tentu saja boleh, Sayang."
"Hm, kenapa kamu berbeda, Mas?" Hanna meremas kedua sisi dasternya, berharap Sultan tidak marah. "Apakah kamu berakting lagi? Untuk menjebakku, kemudian menghukum."
Bukannya marah Sultan malah terkekeh geli, seakan pertanyaan Hanna sebuah lelucon. Bangkit dari tempat duduknya Sultan menuju rak dapur, lalu kembali dengan membawa pisau. Hanna melotot, bahkan kakinya sudah bersiap untuk lari, kalau saja Sultan terlambat dua detik.
"Jika suatu saat nanti aku ketahuan berbohong, kamu bisa membunuhku menggunakan pisau ini." Tantang Sultan, menaruh pisau tersebut di antara dirinya dan Hanna.
Melihat keseriusan Sultan hati Hanna melunak, dan perasaannya kembali membuncah. Akankah Hanna harus memercayainya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomansaMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...