07

306 16 0
                                    

Sultan masih tertidur pulas, sementara Hanna bangun lebih cepat seperti biasanya. Melaksanakan salat subuh hingga membaca selembar Al-Qur'an. Semalam mereka sudah tidur berdua, dan Sultan terus memanggilnya Arimbi. Ada perasaan sedih yang menikam hati beserta pikiran Hanna, tapi dia terlalu lelah untuk menyuarakan isi hatinya. Sultan tetap memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan perasaan Hanna.

"Mas bangunlah," lirih Hanna sambil mengguncang sedikit pundak Sultan.

Semalam juga Sultan memintanya untuk memanggil dirinya dengan sebutan Mas Sultan, karena Arimbi biasa memanggil seperti itu. Hanna tidak menolak, dia selalu menurut apa yang Sultan perintahkan.

"Mas, bangun, sebentar lagi matahari terbit." Hanna tidak putus asa, meski berulang kali Sultan mengusirnya.

"Pergilah, aku masih mengantuk."

"Sholat subuh dulu, Mas," pinta Hanna.

Sontak Sultan mengernyit, dengan sebelah mata terbuka menatap Hanna yang tengah menunggu, dan bertanya. "Kamu menyuruhku sholat?"

Hanna mengangguk. Tidak butuh waktu lama Sultan pun bangkit mengambil handuk, lantas menuju kamar mandi untuk mandi dan bersuci. Di bangku rias Hanna tersenyum, mengamati dalam diam. Dia benar-benar menunggu Sultan selesai melaksanakan kewajiban satu itu.

"Alhamdulillah, aku senang melihat kamu pakai koko, Mas." Hanna berjalan mendekati Sultan.

"Apa aku terlihat lebih tampan?" tanyanya mulai narsis, Hanna tersenyum.

"Bangunlah setiap adzan berkumandang, laksanakan sholat subuh di masjid. Maka ketampananmu akan terus bertambah."

"Kamu wanita yang shalihah." Sultan menatap wajah manis Hanna, lalu membelainya lembut.

"Hmm, baiklah, sekarang aku ingin menjenguk bunda. Jika kamu perlu sesuatu bisa panggil aku Mas." Hanna memberi pesan. Setelah Sultan mengangguk wanita itu pun pergi.

Arimbi. Sultan tersenyum teringat waktu dulu bersama Arimbi. Istrinya itu memang tidak dapat tergantikan. Tidak akan pernah. Sekalipun sudah ada Hanna, Sultan masih mengingat istri pertamanya. Sudah dua hari ini Sultan sibuk bekerja sehingga tidak sempat menjenguk Arimbi, dia hanya menunggu kabar dari Ratih saja.

Sebelum Sultan menikah dengan Hanna, hari libur memang untuknya. Seharian mereka habiskan bersama. Jadi sekarang sementara Hanna mengurus bunda, Sultan akan mendatangi Arimbi.

"Pagi, Tuan." Ratih menyapa.

Ekspresinya agak terkejut melihat Sultan mengenakan koko lengkap dengan peci yang bertengger.

"Pagi, bagaimana keadaan istriku?" jawab dan tanya Sultan sembari mendekati Arimbi yang tercenung.

"Seperti yang terlihat, Tuan, Nyonya Arimbi baik-baik saja. Bahkan, ada peningkatan." Ratih sengaja membuat Sultan penasaran.

"Katakan apa yang telah terjadi?"

"Kemarin itu Nyonya Arimbi telah menyebut nama Nona Hanna dengan sangat fasih saat dirinya mengenalkan diri." Suara Ratih terdengar begitu semangat, menceritakan kejadian kemarin.

"Siapa Hanna? Di rumah ini tidak ada yang bernama Hanna." Tatapan Sultan berubah tajam, dan juga mengerikan.

"Ma-af," cicitnya ketakutan.

Sultan pun berdecih, suasana hatinya mendadak berubah. Lelaki itu hanya melirik Arimbi sekilas, lantas pergi menuju kamar bunda. Hanna sudah melanggar perjanjiannya tempo lalu. Mereka telah sepakat tidak ada lagi nama Hanna di rumah ini, akan tetapi kebaikan Sultan dia salah gunakan. Seharusnya kedua wanita itu memang tidak boleh bertemu atau akan celaka.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang