32

171 3 0
                                    

Begitu mendapat telepon dari kepala Kades, Sultan dan Leo langsung bergerak cepat. Keduanya melupakan apa yang sedang mereka rencanakan. Tidak Sultan maupun Leo menunjukkan kekhawatiran masing-masing. Wanita itu mempunyai tempat di pikiran Sultan dan Leo, meskipun kadarnya berbeda, tetapi mereka satu tujuan. Yakni, ingin memiliki Hanna seutuhnya dengan ruang perasaan yang berbeda pula.

"Aargh! Ini semua salahku." Sultan membanting stir mobil, kepalanya yang pusing terasa semakin berat.

Perasaan bersalah semakin menggerogoti pikiran Sultan, yang tengah kacau dan berantakan. Jika malam itu tidak terjadi, maka Hanna akan tetap tinggal di rumah. Tidak pulang ke desa, apalagi sampai dirinya celaka. Sultan takut sesuatu yang sudah lama dia nantikan terancam pergi.

"Jangan terus menyalahkan dirimu. Fokuslah menyetir, kita harus segera tiba di rumah sakit." Tegur Leo, sejak tadi lelaki itu memang lebih memilih diam dan berdoa untuk Hanna.

"Aku tidak bisa setenang kamu, Leo. Bagaimana kalau calon anakku tidak bisa diselamatkan? Aku benar-benar menjadi lelaki yang tidak berguna."

Kedua tangan Leo mengepal, ditatapnya Sultan dengan geram. "Sekali lagi kamu mengatakannya, aku tidak akan segan menonjokmu."

Di saat seperti ini pun Sultan sanggup mengesampingkan Hanna, dan lebih mengkhawatirkan calon anaknya. Sungguh! Leo tidak habis pikir. Jika Hanna mendengarnya, maka wanita itu akan semakin sedih.

Sultan tidak menyahut, hanya saja dia menambah kecepatan mobil. Rumah sakit dari terminal kereta tidak jauh. Namun, karena keinginan yang besar untuk segera tiba, perjalanan pun jadi terasa panjang dan melelahkan.

"Oh, itu Paman dengan Pak Kades."

Sesampainya di rumah sakit Leo langsung keluar mobil, sementara Sultan berusaha menghubungi Marlina untuk menanyakan kabar istrinya Arimbi. Ternyata paman Hasan sudah menunggu kedatangan mereka, yang terbilang cukup lama. Menghampiri lelaki tua itu, dengan perasaan luar biasa cemas Leo bertanya tentang Hanna yang kabarnya kritis.

"Bagaimana keadaan Hanna, Paman? Apakah dia sudah sadar?" tanyanya.

"Paman, bagaimana bisa terjadi?" Dari arah belakang Sultan memotong pertanyaan Leo.

Mengingat keadaan anaknya Hasan kembali menangis, tubuhnya terguncang kuat. Lelaki itu sangat menyesal telah meninggalkan Hanna seorang diri di rumah, seharusnya dia tetap menjaganya dengan baik. Hasan tidak pernah mengira kerusakan listrik akan berdampak fatal. Kedatangan Hasan yang terlambat memperburuk kondisi Hanna, bahkan dokter kulit menyatakan dia nyaris tewas.

"Semua terjadi sangat cepat bertepatan dengan waktu subuh. Api naik dan menyambar dengan kilat, sehingga menutupi jalan pintu masuk, sementara Hanna masih di dalam kamar." Pak Kades menjelaskan, saat Hasan tidak sanggup berkata-kata.

Leo menutup wajahnya, menahan gejolak panas yang akan keluar dari matanya. Dia sungguh terpukul. "Lalu, bagaimana keadaan Hanna sekarang, Pak?"

"Kondisinya sangat memprihatinkan, dia belum juga sadarkan diri. Bahkan, wajahnya nyaris tidak bisa dikenali."

"Astaghfirullah, Hanna." Pertahanan Leo roboh, air matanya pun mengalir.

"Apakah janinnya selamat?" Sultan menatap pak Kades penuh harap.

Lelaki tua itu hanya menggeleng, sebagai jawaban atas ketakutan Sultan selama di perjalanan. Tanpa memedulikan kehancuran Sultan, Leo pun berlari masuk ke rumah sakit. Dengan sigap Leo langsung menuju ruangan dokter, untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Kemungkinan terbesar Leo ingin memindahkan Hanna ke rumah sakit luar negeri, yang jauh lebih bagus dan memperoleh perawatan khusus.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang