14

264 14 0
                                    

Tidak tinggal diam Hanna juga ikut andil dan membantu Sutan mengemas barang. Meski tidak membawa banyak barang, ternyata juga membutuhkan dua ransel besar. Hanna memasukkan beberapa pakaian sehari-hari Arimbi, beserta alat yang memang sering dibutuhkan seorang wanita. Semua Hanna lakukan dengan ikhlas, hanya mengharap ridho Allah dan sang suami.

Hatinya memang sakit, tapi akalnya masih sehat. Hanna tidak mungkin membenci atau membalas kejahatan seseorang padanya, apalagi orang itu adalah suaminya sendiri. Cepat atau lambat Hanna percaya kesabarannya akan berbuah manis. Suatu saat nanti.

"Arimbi, apa kamu melihat pakaian dalamku?" Sultan bertanya kepada Hanna yang tengah menata barang bawaan mereka.

"Sepertinya tidak, sebentar Mas, akan aku lihat di jemuran belakang." Hanna pun meninggalkan kerjaannya.

Hanna berlari kecil agar cepat sampai, dan memberikan barang yang dicari Sultan. Tanpa berkata apapun Sultan menerimanya, lalu kembali pada kamar Arimbi. Lelaki itu memang sedang sibuk mengurus Arimbi istri pertamanya untuk berangkat ke luar negeri. Sedangkan Marlina fokus menyiapkan makanan, menurut kabar Leo juga ikut sarapan bersama.

"Hmm, sepertinya sudah semua." Menutup resleting ransel, Hanna pun menaruhnya di tempat yang terjangkau mata.

"Baiklah! Sekarang aku membantu Mas Sultan mengurus Mba Arimbi." Hanna berjalan dengan penuh semangat.

Pasalnya, Sultan memberi kelonggaran pada Hanna yang ingin bertemu sang paman. Selama Sultan dan Arimbi pergi Hanna diperbolehkan menerima tamu, dengan syarat tidak boleh keluar rumah. Bagi Hanna itu sudah cukup, yang penting Sultan tahu apa impiannya sejak lama.

Hanna tidak perlu mengetok pintu terlebih dulu, karena pintu kamar Arimbi selalu terbuka lebar. Di sana Sultan tengah memegang sisir, dan cepolan rambut. Lelaki itu menatap keduanya dengan bingung. Melihat wajah bodoh Sultan membuat perut Hanna tergelitik, tapi dia berusaha menahan tawa sampai suaminya sadar sendiri akan kedatangannya.

"Oh, kebetulan sekali kamu datang. Bisakah kamu mengurus rambutnya? Sementara aku akan mengangkut ransel ke dalam mobil." Suara lelaki itu tampak gugup. Sepertinya Sultan malu dengan Hanna yang serba bisa.

"Ya, berikan sisirnya padaku, Mas." Hanna mengulurkan tangannya, Sultan pun menyerahkannya berikut cepolan.

Melihat ke arah Arimbi, perlahan Hanna mendekatinya, dan tersenyum manis. Rambut wanita itu memang sangat berantakan, tapi entah kenapa wajahnya masih terlihat cantik. Arimbi tidak seperti orang sakit pada umumnya. Hanna duduk tepat di depan Arimbi, menatapnya kagum. Ada sesuatu yang menarik darinya, dan tidak ditemukan pada wanita lain. Hanna percaya itu.

Dalam diam Sultan menatap gelagat Hanna yang berusaha mengambil perhatian Arimbi. Tidak ada yang patut dicurigai, tapi rasanya Sultan masih belum percaya pada Hanna. Dia takut Hanna mencelakai Arimbi. Mengingat sikapnya yang kurang baik terhadap wanita itu membuat Sultan selalu waspada, karena Hanna bisa melakukan apapun kepada cintanya.

"Maaf, ya Mba." Hanna mulai meraih sedikit rambut Arimbi yang panjang. "Rambutnya harus dirapiin dulu."

Setelah Arimbi mengangguk, Hanna baru berani melakukannya dengan benar. Bersosialisasi dengan orang seperti Arimbi memang membutuhkan sabar yang ekstra, tidak boleh gegabah, apalagi sampai memaksa. Hanna tidak tamat sekolah, tapi untuk masalah seperti ini dia cukup mahir mengatasi.

"Nama kamu Hanna?" Di luar dugaan Arimbi menanyakan hal yang tabu.

Sultan belum juga pergi. Lelaki itu terus memerhatikan Hanna, bahkan enggan berpaling sedikitpun. Hanna meliriknya takut, mengantisipasi respons Sultan yang selalu tiba-tiba.

"Benar Hanna?" tanyanya lagi.

Menggigit bibirnya Hanna mencoba berpikir, mencari jawaban yang tepat.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang