12

251 16 2
                                    

Seluruh perkataan Leo, Hanna simak dengan baik. Kepeduliannya tampak begitu nyata. Hanna tidak tahu mengapa Leo sangat peduli? Sikapnya yang bijaksana dan lembut dengan mudah meluluhkan hati keras Hanna.

Menutup mata sejenak Hanna mulai gelisah dengan hidupnya. Akal dan perasaan Hanna tidak sejalan. Sejak awal membongkar makar Sultan, Leo terus meminta Hanna agar segera meninggalkan Kota. Namun, hatinya memilih tinggal. Bertahan di dalam ketidakadilan. Selain mencintai sang suami Hanna juga menyayangi bunda, beserta mengasihi Arimbi yang sakit.

Mereka semua membutuhkan Hanna.

"Hanna, aku bisa melihat kamu wanita yang baik. Kamu juga berhak bahagia, di sini bukan tempatmu."

"Tapi, aku hanya mempunyai suamiku." Hanna berkata getir.

"Suami hanya status, aku sungguh miris saat mengetahui wanita yang dijadikannya istri kedua adalah kamu."

"Leo, aku tidak ada pilihan selain bertahan. Mungkin, takdir hidupku memang sudah seperti ini, dan aku tidak bisa mengelaknya." Hanna tersenyum pahit. Membayangkan kepulangannya ke desa malah akan menambah beban sang paman.

Lelaki itu menghela napas panjang. Ternyata tidak mudah membujuk Hanna sekalipun itu semua untuk kebaikannya sendiri. Lagipula Leo tidak bisa memaksa, Hanna berhak menentukan jalan hidupnya tanpa mengambil saran dari siapapun.

"Terima kasih Leo, atas kepedulianmu, tapi sungguh aku tidak bisa meninggalkannya." Dengan sopan Hanna menolaknya, Leo mengangguk.

Tugas Leo hanya menyampaikan yang dia ketahui, tidak lebih. Meski hatinya sedikit kecewa, dan semakin cemas.

Hanna dan Leo terdiam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Sementara Arimbi yang berada di samping Hanna sibuk dengan sebuket bunga yang Leo berikan. Tidak lama dari itu Sultan pun datang memecah kesenjangan yang terjadi. Wajah lelahnya tampak bersemangat saat melihat Leo.

"Bro, maaf. Aku baru saja pulang." Sultan menepuk pundak kerabatnya itu, dan mereka pun tertawa.

"Tidak masalah, ada kedua Arimbimu yang menemaniku," jawabnya cepat.

Sultan melirik Hanna yang membuang muka. Mimiknya berubah tegang, tapi segera hilang saat Leo menegur.

"Bisa kita berbicara langsung? Aku tidak memiliki banyak waktu." Leo tampak gelisah, seakan diburu waktu.

"Bagaimana baiknya saja." Sultan sudah siap beranjak, tapi Leo menahannya.

"Kita bicarakan di sini saja. Aku tidak ada waktu lagi untuk sekedar minum kopi atau teh. Tidak mengapa kan?" Dengan lugas Leo mengatakannya, walau Sultan tampak enggan dia tetap mengiyakan.

Kerap kali Sultan mencoba mengusir Hanna, tetapi sesering itu pula Arimbi menolaknya. Karena jika Hanna pergi, maka Arimbi akan ikut. Namun, dia enggan berpindah. Sehingga mau tidak mau Leo harus membicarakan hal yang penting itu di hadapan kedua istrinya, Arimbi dan Hanna. Sebenarnya tidak menjadi masalah bagi keduanya. Hanya berita tambahan untuk kebaikan Hanna.

"Jadi, begini, istrimu Arimbi bisa disembuhkan. Hanya saja kamu harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit." Tanpa basa basi Leo langsung berbicara ke inti.

"Apa kamu meragukanku? Berapapun biayanya akan aku sanggupi, sekalipun aku harus menjual ginjalku."

"Ya, baik. Aku hanya mengingatkan. Jika sudah jelas seperti ini, maka akan secepatnya aku menghubungi rekanku itu. Dia telah banyak menangani pasien seperti istrimu Arimbi, dan dinyatakan sembuh."

"Leo, aku mohon, bawa segera dokter itu. Sudah lama aku menginginkan dirinya sembuh." Nada suaranya terdengar merintih. Sultan melirik Arimbi, tersirat kesedihan yang dalam.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang