19

294 14 0
                                    

Di ruang tunggu Sultan memainkan jari jemarinya dengan gusar. Sudah setengah jam berlalu, dokter tidak kunjung keluar. Perasaan Sultan jadi tidak keruan. Pikirannya sekarang bercabang, tidak hanya memikirkan Arimbi, tapi juga mencemaskan Hanna yang sedang kritis. Sultan sadar telah melakukan kesalahan yang sangat fatal, terhadap istri dan calon anaknya.

Melirik jam tangannya, Sultan bangkit ke sudut ruangan. Mengambil ponsel, Sultan tidak ada pilihan selain menghubungi Leo. Memberitahu apa yang terjadi, dan meminta bantuan. Jika sudah seperti ini otak Sultan jadi bekerja lambat, hanya Leo satu-satunya teman yang dapat dipercaya.

"Aku butuh bantuanmu," ujar Sultan begitu mendengar suara 'halo' Leo.

"Ya, sekarang. Akan aku jelaskan padamu di sini." Memutar bola matanya, sesekali Sultan mengecek pintu ruangan Hanna.

Berharap dokter yang menanganinya memunculkan batang hidung.

Berdecih jengkel, genggaman Sultan pada ponsel mengeras. Di sebrang telepon Leo memarahinya seperti anak kecil. "Omelanmu membuat kepalaku semakin mau pecah. Bisakah segera membuat keputusan? Katakan ya kalau bisa, dan tidak kalau kamu enggan menolongku."

Sejenak Sultan terdiam, menunggu jawaban dari Leo. Saat lelaki itu bersedia datang Sultan sedikit lega.

"Katakan pada kedua temanmu jaga istriku Arimbi dengan baik. Jika ada sesuatu yang mencelakainya, maka aku tidak segan-segan mematahkan kedua kaki mereka berdua." Ancaman Sultan tegas dan tidak main-main.

Bertepatan dengan sambungan telepon terputus dokter pun keluar. Arah pandangnya langsung jatuh kepada Sultan. Tanpa berpikir panjang Sultan menghampirinya, menatap dokter itu dengan penuh tanya. Berharap istri dan calon anaknya dalam keadaan baik-baik saja. Soal biaya berapapun Sultan akan menanggungnya demi mendapatkan seorang anak.

Sudah lama sekali Sultan berharap, mendambakan seorang keturunan.

"Apa Anda keluarga dari pasien?"

"Ya, saya suaminya. Bagaimana keadaan istriku dan janinnya?" tanya Sultan langsung ke inti. Sungguh, dia tidak sabar untuk informasi satu itu.

"Saya sangat takjub dengan kuasa Allah, sebab janinnya masih bertahan di dalam rahim istri Anda. Jangan khawatir, keduanya dalam keadaan baik. Hanya saja sekarang janin dalam keadaan sangat lemah. Istri Anda juga mengalami luka yang cukup serius. Apa dia mengalami kecelakaan?"

Memalingkan wajah, Sultan cukup kaget mendapat pertanyaan demikian, tapi dia harus tetap tenang. "Soal itu saya tidak tahu, karena baru pulang dari luar negeri. Jadi, apakah mereka bisa langsung dibawa pulang?"

"Untuk saat ini istri Anda perlu dirawat dengan intensif. Dia masih belum sadar. Banyak luka di wajahnya, dan itu membutuhkan waktu pemulihan."

"Lakukan yang terbaik, Dok." Sultan menepuk pundak lelaki dewasa itu, lalu meninggalkannya menuju ruang darurat.

Bagaimanapun, Sultan perlu melihat langsung keadaan Hanna. Sikapnya yang kelewatan nyaris merenggut nyawa keduanya. Sultan memang tidak pantas untuk Hanna. Kebaikan wanita itu selalu menjadi penyebab kemarahan Sultan, dan itu berlaku dalam setiap waktu. Jika saja Hanna berkenan melaporkannya ke polisi, maka Sultan akan terkena sanksi.

Menatap dalam wajah Hanna yang penuh luka, Sultan merutuki dirinya sendiri. Keadaan Hanna yang sangat memprihatinkan atas perbuatannya, membuat hati Sultan teriris. Kali ini dia mengaku salah. Kesadarannya terlambat, dan Sultan sangat menyesal.

"Maafkan aku," katanya begitu pilu.

Tidak ada jawaban. Hanya ringisan kecil yang keluar dari mulut robek Hanna. Padahal Hanna belum sadar, itu saking sakitnya.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang