37

137 0 0
                                    

Tanpa mendengarkan perkataan Sultan dan Marlina, Arimbi mengemasi seluruh barang-barang miliknya. Ternyata patah hati tidak sebercanda itu, dengan cepat perasaan cintanya berubah menjadi benci. Arimbi sangat muak terhadap sikap Sultan, yang seolah-olah tidak bersalah. Padahal semua sudah terlihat jelas di mata Arimbi, jika suaminya itu begitu dekat dengan Ratih dan berhubungan serius.

Sebagai suami yang sangat mencintai istrinya, Sultan melarangnya, bahkan lelaki itu sampai memeluk kedua kaki Arimbi agar menghentikan semua. Di bawah kaki Arimbi dengan tangguh Sultan menahan. Tidak hanya air mata yang jatuh, tetapi juga harga dirinya. Sultan melakukan itu semua semata untuk mengambil hati Arimbi, meski istrinya tidak mudah tersentuh.

"Arimbi, aku mohon padamu, Sayang. Toloong! Dengarkan penjelasanku dulu, semua tidak seperti yang kamu pikirkan," kata Sultan sambil menangis.

"Lepaskan, Mas. Aku sudah tidak percaya lagi dengan perkataanmu." Arimbi menarik paksa kakinya, lalu menendang dada Sultan menjauh.

Marlina dan Ratih sampai menganga melihat Sultan terjungkal. Lelaki itu tampak sangat lemah di hadapan Arimbi, tidak seperti berhadapan dengan Hanna yang malang. Ketika Sultan bangkit dan ingin mengejar Arimbi buru-buru Ratih menahannya dengan sekuat tenaga yang dia miliki.

"Jangan ikut campur urusanku!" Sultan memberontak, tujuannya kini hanya satu, mencegah Arimbi pergi.

"Tuan, tatapan wanita itu sudah berbeda, dan dia tidak mencintaimu lagi." Ratih berusaha meracuninya, tetapi Sultan tampak tidak peduli.

Lelaki menyedihkan itu terus berlari mengejar Arimbi yang keluar rumah, berharap bisa membawanya kembali masuk. Tanpa Arimbi, sungguh, Sultan tidak tahu hidupnya akan seperti apa. Dia sangat mencintai Arimbi sejak dulu, sekarang, dan selamanya. Bahkan, saat Arimbi ketahuan selingkuh pun Sultan tetap bertahan saking besarnya cinta.

"Arimbi, aku mohon jangan tinggalkan aku." Sekali lagi Sultan memelas, saat berhasil meraih tangan Arimbi.

"Keputusanku sudah bulat, aku ingin kita pisah!" Arimbi tetap pada pendirian.

"Tolong, beri aku kesempatan." Tidak menyerah, Sultan terus memasang wajah seakan paling menderita.

Sejenak Arimbi terdiam, hatinya mulai tersentuh dengan kesungguhan Sultan. Menatap bola matanya yang berkaca-kaca Arimbi jadi kasihan. Perlahan, jiwa kerasnya melunak dan membiarkan Sultan mengecup tangannya yang berkeringat dingin.

"Sayang ..." Panggil sebuah suara, refleks Arimbi menarik alih tangannya.

Sultan berbalik cepat dan merutuk saat mendapati Ratih yang masih mengganggu. "Pergi dari rumahku!"

"Kenapa berbeda, Sayang? Padahal tadi kamu menyuruhku menunggu di dalam, tapi kamu lama sekali. Maaf, aku sudah lancang menyusulmu."

Dada Arimbi kembali bergejolak sakit, keinginannya yang sempat goyah pun bangkit. Menyeka air matanya yang keluar begitu saja, Arimbi melangkah lagi bahkan sedikit berlari. Matanya yang penuh air mata membuat pandangannya mengabur, sehingga tidak melihat sebuah truk melaju cepat. Braaaak! Semua orang menoleh, melihat tubuh Arimbi terpental jauh.

"Arimbiiiii ...." Sultan pun berteriak.

Menghampiri tubuh tidak berdaya itu, kedua kaki Sultan melemas dan terjatuh tepat di hadapan Arimbi. Spontan Sultan menangis keras setelah memeriksa denyut nadinya yang sudah tiada. Tubuh Sultan bergetar hebat memangku Arimbi yang berlumuran darah membuat hatinya berantakan.

"Arimbi, kenapa kamu pergi tinggalkan aku?" Dengan histeris Sultan menyalahi dirinya sendiri.

"Katakan padaku jika semua ini hanya mimpi buruk." Sultan sangat frustrasi.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang