02

513 25 0
                                    

Hanna baru saja bangun dari tidurnya yang tidak nyaman. Serangan terus mengganggu alam bawah sadar Hanna, seperti petunjuk bahwa hidupnya di rumah ini tidak akan aman. Keringat mengucur deras dari dahi ke pipinya dengan napas tidak beraturan. Mimpi itu bagaikan nyata. Ya Allah! Hanna menangkup dadanya yang masih belum stabil. Keinginannya untuk melarikan diri semakin besar saat membayangkan Sultan berubah menjadi monster mengerikan seperti di dalam mimpi. Kejam dan bringas.

"Selamat malam, Nona Arimbi." Secara tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, menampilkan seorang wanita bertubuh gempal dengan senyuman terpaksa.

Wanita itu masuk tanpa memedulikan Hanna yang bersidekap ketakutan. Dengan tajam kedua mata Marlina berputar seakan mencari sesuatu, dan tertawa saat menemukan barang yang dicari. Ransel milik Hanna. Tangannya yang tegap merengut ransel tersebut, lantas melemparnya ke luar pintu.

"Bu, kenapa kamu membuangnya? Itu pakaianku yang aku bawa dari desa."

"Kami akan membakarnya! Kenakan pakaian Nyonya Arimbi, kamu bisa memilihnya dengan bebas di lemari." Marlina menunjuk lemari yang terletak di sudut ruang. Masih tersenyum sinis.

"Ka-lau aku boleh tahu siapa Arimbi?" tanya Hanna terbata-bata. Ketakutan.

"Jangan konyol! Kamu bertanya siapa itu Arimbi? Itu dirimu Nona cantik."

Untuk ke sekian kali Hanna berjengit kaget setiap mendengar jawabannya yang kasar dan keras. Marlina sangat sinis, tampak tidak menyukai Hanna. Akan tetapi sebagai pekerja Marlina tak bisa membantah selain mematuhi segala perintah Sultan tuannya, yang sekarang telah memiliki dua Arimbi.

Bagaimanapun bagi Marlina, Nyonya Arimbi tidak pernah tergantikan. Di saat Sultan tidak mendampinginya, maka Marlina bebas bersikap dan berekspresi sinis di depan wanita asing yang berusaha mencuri tempat Arimbi.

"Apa Arimbi sudah bangun?" tanya sebuah suara, yang Hanna yakini milik Sultan. Lelaki yang memanipulasinya.

"Sudah Tuan, tapi Nona Arimbi keras kepala, dia tidak mau mengenakan pakaian yang ada di lemari." Marlina memberi jawaban sendiri, padahal Hanna belum menjawabnya.

"Kamu bisa keluar sekarang, dan bakar seluruh pakaiannya." Sultan menendang bokong Marlina keluar, lalu membanting pintu kamar.

Spontan jantung Hanna berdetak kencang, rasanya seperti hendak keluar. Tatapan Sultan menghunjam keberaniannya yang hanya tinggal seujung kuku. Tubuhnya semakin meringkuk dengan getaran halus, bahkan ingin teriak saja pun tidak mampu Hanna lakukan. Setiap gerakan Sultan bagai ancaman teror yang siap menerkam. Saat Sultan berhasil naik ke ranjangnya Hanna mulai terisak, tak kuasa menahan rasa takutnya yang kian menjadi.

"Bisakah kamu tidak menangis?!" bentak Sultan sambil mencekoti tulang pipi Hanna, matanya berapi-api.

"A-ku ..." ucapan Hanna tercekat.

"Kubilang jangan menangis!" Sultan semakin menekannya, bahkan tubuh Hanna sampai terentak-entak di kepala ranjang yang terbuat dari besi.

"Saakiit, aku mohon lepasin." Hanna merintih, barulah Sultan melepasnya.

Napas Sultan memburu, menatap nyalang ke arah Hanna yang tampak mengembalikan kesadarannya. Akibat keanarkisan Sultan yang memboikot tubuhnya membuat pandangan Hanna berputar. Wanita rapuh itu membuang muka saat Sultan menghirup aroma lehernya, berusaha untuk tidak menangis atau ajal akan menjemput.

Sejenak Sultan mengangkat kepalanya. Dia menatap Hanna yang terpejam, lalu berbisik rendah. "Hmm, tubuhmu sudah harum, tapi aku tidak suka."

Lelaki itu bangkit seraya menarik Hanna turun dari ranjang. Tanpa berkata apapun Sultan menyeretnya menuju kamar mandi yang berada di ujung ruangan. Dia mendorong Hanna ke dalam, lalu menguncinya bersama dirinya. Mandi bersama mungkin bukan ide yang buruk, tapi Hanna takut jika Sultan melakukan hal yang tidak wajar selama mereka mandi.

"Buka bajumu. Aku akan memandikanmu, dan menyabuni tubuhmu pakai sabun yang biasa Arimbi gunakan," kata Sultan.

"Aku tidak mau." Hanna membantah.

"Buka atau aku akan merobeknya?" Sultan merapatkan giginya. Marah.

***

Sambil menangis Hanna mematut dirinya di depan cermin. Sultan memaksanya agar tampil cantik pada acara makan malam yang dia adakan. Hanna tidak berpikir untuk memoles wajahnya, baginya dapat bersikap tenang itu sudah keajaiban luar biasa. Orang-orang sudah berkumpul, dari kamarnya Hanna bisa melihat halaman rumah yang penuh oleh kendaraan roda empat. Entah siapa yang Sultan undang? Yang jelas Hanna tidak tahu menahu tujuan Sultan menikahinya.

"Nona Arimbi, bisakah sedikit lebih cepat? Tuan Sultan menunggumu."

"Iya, sebentar lagi," jawab Hanna.

Mungkin, jika Sultan mengenalkan dirinya di hadapan khalayak ramai akan menjadi suatu hal yang mengagumkan. Akan tetapi bagaimana jika Sultan mengenalkannya sebagai Arimbi? Hanna tak habis pikir kenapa nama wanita itu terus mengikutinya seperti bayangan yang tak kasat mata.

"Nona, apa kamu baik-baik saja?" tanya wanita muda yang bernama Ratih. Dia menyampirkan kerudung putih di kepala Hanna hingga menutupi sebagian wajahnya.

"Mungkin aku hanya sedikit gugup." Hanna menjawab, dan menerima uluran tangan dari Ratih.

Seperti dalam sebuah drama seluruh pasang mata mengarah pada Hanna begitu wanita itu menunjukkan diri. Orang-orang menatapnya penasaran, tidak sedikit dari mereka berbisik. Di saat Ratih pergi barulah Sultan datang menjemputnya, menggandeng lengan Hanna dengan sangat mesra. Tak ada seorang pun yang melewatkannya. Kehadiran Hanna di tengah acara bagaikan suatu hal yang berharga.

"Selamat datang dan menikmati hidangan yang ada. Malam ini aku beritahukan kepada rekan sejawat bahwa istriku Arimbi telah kembali." Sultan mengambil tangan Hanna, lalu mengecupnya cukup lama.

Saat tepukan tangan memenuhi lantai pertama Sultan pun menggiring Hanna untuk naik ke atas, meninggalkan riuhnya para tamu, dan masuk ke ruangan lain yang sudah dihias. Terdapat hidangan menggiurkan di atas meja, dengan kepulan asap yang masih terlihat mengitari semangkuk sop iga. Hanna juga memerhatikan sekeliling sambil berdecak kagum, menikmati keindahan perlak perlik lampu di sepanjang jalan mereka. Untuk sejenak Hanna bagaikan terhipnotis oleh pemandangan dan perlakuan manis Sultan terhadapnya.

"Arimbi, apa kamu menyukainya?" Deg! Seketika rasa bahagia itu menguap ke udara. Langkahnya Hanna terhenti.

Kini, Hanna pun sadar. Jika semua ini bukan untuk dirinya, tetapi Arimbi. Tubuhnya menjadi kaku dan berat untuk mengikuti kemana langkah Sultan. Pasalnya lelaki gagah itu terus menggandeng bahkan menyeret Hanna saat menyadari dirinya sudah enggan.

"Sop iga makanan kesukaan Arimbi. Kamu harus memakannya." Sultan berkata setelah mendudukkan Hanna.

"Aku bukan Arimbi!" bantahnya keras.

Braak! Dengan mata berapi-api Sultan memukul meja di depannya. Emosi lelaki itu memang tidak terkontrol. Dia bisa menjadi lembut dan keras dalam waktu yang sama. Melihat Sultan sudah kesetanan nyali Hanna menciut kembali, wajahnya pun pucat sepucat-pucatnya dengan tubuh yang mulai bergetar ketakutan. Akan tetapi setan telah menguasai Sultan hingga lelaki itu gelap mata dan menghancurkan seluruh makanan yang terhidang di meja makan. Kemudian menyiksa istrinya Hanna sampai merasa puas.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang