Squel

307 2 0
                                    

Selepas kepergian Arimbi, waktu tidur Sultan jadi tidak menentu. Terkadang Sultan bisa tidur lebih cepat, atau tidak dapat tidur semalaman. Kehilangan Arimbi seakan-akan membawa pergi sebagian hidupnya, yang belum bisa Sultan terima. Setiap kali memejamkan mata senyum manis Arimbi muncul beserta gelak tawanya yang renyah, hal itu membuat Sultan kesulitan untuk mengendalikan hidupnya seorang diri.

Kehadiran Hanna yang berwajah Arimbi ternyata sama sekali tidak membantunya melupakan sang pujaan hati. Sultan terus mengingat dan membayangkan Arimbi, bahkan dia merasa bersalah pada Hanna.

"Maafkan aku," rintih Sultan di dalam remang lampu tidur, menatap Hanna yang terlelap.

"Aku sudah berdosa padamu, mungkin tidak termaafkan." Membelai sisi wajah Hanna, wanita itu mengerang rendah saat merasa terganggu.

Sultan menarik tangannya kembali, menatap dalam pada wajah Hanna yang polos. Itu wajah cintanya Arimbi. "Kalian sudah memiliki wajah yang sama, cantik dan menawan hati. Tapi ... Entah kenapa aku tidak bisa mencintai kamu seperti Arimbi."

Mengusap wajahnya beberapa kali, dengan lembut Sultan mengecup kening Hanna yang tertutup rambut.

"Kamu wanita yang baik, aku tidak pantas untukmu." Sultan terus berkata.

Hingga detik ini, setelah istrinya Arimbi meninggal sekalipun Sultan masih belum bisa mencintai Hanna yang tulus mencintainya. Akan tetapi, Sultan tetap ingin Hanna tinggal di rumah, menjadi sesosok istri yang baik bagi sang suami, meski rasanya dia tidak pantas. Satu yang menjadi keyakinan Sultan, jika suatu saat perasaannya akan tumbuh.

"Selamat tidur, aku berjanji akan terus berusaha. Meski rasanya terlalu berat dan tidak mungkin." Mengecup kening Hanna dengan lembut, kemudian Sultan mengambil posisi yang nyaman.

Perlahan, Sultan memejamkan mata, dan tersenyum saat melihat Arimbi di dalam gelapnya tidur. Tidak lama dari itu Hanna membuka matanya, jantung dan dadanya berdebar kuat seirama.

"Kenapa dengan pikiranku?"

Dulu Hanna sangat berharap Sultan melakukannya setiap kali mereka akan pergi tidur, tetapi sekarang dia merasa jika sebuah kecupan sudah berlebihan. Hanna tidak mengerti kenapa, terlebih lagi senyuman Leo yang menenangkan hadir di ingatan. Kehadiran sekaligus pengertian yang Leo berikan telah mempengaruhi bagian hati Hanna.

"Apa aku sudah menyukai Leo?" Dengan pemikiran seperti itu Hanna terus memandang wajah Sultan, mencoba mencari getaran yang dulu.

"Astaghfirullah! Tidak mungkin." Kilah Hanna, lantas mengangkat setengah badannya dan dia mulai bersandar.

Hanna jadi merasa bersalah pada diri sendiri, terutama pada perasaannya yang sudah berkhianat. Seburuk apapun Sultan sebagai seorang istri Hanna tidak patut mengkhianatinya, apalagi dengan sahabat suaminya. Tidak terbendung lagi air mata Hanna jatuh, sangat takut atas apa yang dia dapati nanti. Dia telah berdosa, Allah pasti marah jika kita tidak bertaubat.

"Maafin aku, Mas." Hanna membelai pipi Sultan, mengecupnya perlahan, lalu mencoba tidur kembali.

***

Tidak ada yang aneh dengan Leo, hanya saja lelaki itu terlihat lebih pendiam. Sultan mengundang Leo makan malam bersama setelah tertangkapnya Ratih, sebagai bentuk rasa terima kasihnya. Untuk pertama kali Hanna keluar dari rumah megah Sultan, dan berada di dalam ruangan yang sangat menakjubkan. Dengan hati sedikit resah Hanna melirik lelaki di sebrang mejanya, Leo masih enggan bersitatap bahkan selalu membuang muka. Jujur! Hanna jadi bingung.

"Bagaimana dengan proyek terbarumu, Leo?" tanya Sultan tiba-tiba mengendurkan situasi yang tegang.

"Cukup baik, dan kemungkinan minggu depan aku akan pindah ke Amerika."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang