33

245 4 0
                                    

Leo yang mengambil tindakan sendiri mengundang perdebatan di sepanjang lorong rumah sakit. Menurut Sultan dirinya yang lebih pantas melakukan hal tersebut, bukan Leo. Dengan ego masing-masing keduanya tetap pada pendirian. Leo sudah merasa tindakan yang diambil benar, sedangkan Sultan tidak ingin mengalah. Pihak rumah sakit sampai kebingungan mendengar perseteruan mereka, hingga Hasan dengan pak Kades datang meninjau.

"Aku suaminya, jadi aku yang berhak atas istriku Hanna." Tekan Sultan untuk ke sekian kalinya, Leo pun mendengus.

"Biarkan aku yang mengurusnya, urus saja Arimbi istri pertamamu."

"Hanna juga istriku, aku yang akan mengurus semuanya, dan batalkan pengajuanmu itu." Sultan memaksa.

"Astaga! Sultan. Hanna sedang kritis dan membutuhkan penanganan yang cepat. Anggap saja pihak rumah sakit yang mengajukan pemindahan itu, kita berdua tinggal mengikutinya saja."

Sesorang suster memijat pelipisnya yang terasa pusing. Sejak tadi wanita bertopi suster itu menatap Sultan dan Leo secara cepat dan bergantian. Namun, hasilnya masih belum bisa ditetapkan. Hasan sebagai pamannya Hanna juga bingung ingin berbuat apa, selain menonton dan menyimak.

Melihat situasi yang semakin memanas, akhirnya pak Kades mendekati Hasan, lalu membisikkan sesuatu. Tanpa pikir panjang Hasan langsung membuat keputusan, yang sulit ditentang oleh siapapun. Lelaki tua itu berpihak pada Leo, menyetujui pengajuannya tanpa memedulikan Sultan yang murka.

"Permisi, akan kami urus segera." Izin suster, kemudian mengikuti langkah Hasan dan pak Kades ke ruang darurat.

Sejenak Leo melirik reaksi Sultan, dan menunggu komentarnya. Akan tetapi Sultan malah membuang muka, lantas berlalu menyusul paman Hanna. Leo sedikit bernapas lega, dengan begitu Sultan tidak lagi mempersalahkan yang bukan merupakan kesalahan. Waktu mereka tidak banyak, Hanna harus secepatnya mendapatkan penanganan intensif untuk kelangsungan hidup.

Tidak tanggung-tanggung Leo langsung memilihkan rumah sakit yang terkenal di luar negeri. Dalam jangka tiga jam mereka sudah tiba di sana, menyaksikan beberapa pihak rumah sakit bekerja cukup gesit. Pelayanan yang baik dan cepat membuat hati Leo puas, bercampur rasa khawatir yang sangat. Menunggu hasil pemeriksaan.

"Maaf, pak Leo. Kita harus melakukan operasi secepatnya, untuk pemulihan yang lebih maksimal. Sebab, jika sudah terlalu lama maka pertahanan tubuhnya akan semakin melemah dan sulit menjakankan operasi."

"Ya, lakukan segera," jawab Sultan.

Suster menggaruk tengkuknya bingung. Dia bertanya kepada Leo, tetapi lelaki lain yang menjawab. "Umm, ya, baik."

Sepeninggal suster Leo memilih duduk di ruang tunggu, tidak seperti Sultan yang mondar-mandir seperti angkutan umum. Sang paman dan pak Kades menyerahkan pada mereka berdua. Leo tidak berpikir apapun selain mengharapkan operasi berjalan dengan baik. Wajah cantik Hanna yang tersenyum sudah terngiang di kepala Leo, apalagi gambaran dokter bedah wanita itu tengah duduk di pelaminan. Potret satu-satunya yang tersimpan di dalam dompet Sultan, itu foto terbaru.

"Suster, bagaimana keadaan istriku?" Pertanyaan Sultan menarik perhatian Leo. Lelaki itu pun segera bangkit.

"Operasi berhasil, hanya saja pasien kekurangan banyak darah, sekarang akan dipindahkan ke ruang ICU." Jelas suster dengan terburu-buru, dan meninggalkan keduanya yang tegang.

Dengan perasaan tidak enak, Leo pun beranjak mengejar langkah suster.

"Hei, kamu mau kemana?" tanya Sultan setengah berteriak.

Leo sedikit menoleh dan menjawab. "Aku ingin bertanya pada suster tadi."

Menatap ke arah ruang operasi, Sultan menahan dirinya untuk mengikuti jejak Leo. Masih ada dokter di dalam, dan dia akan mendapatkan penjelasan yang lebih akurat. Sultan sudah tidak sabar ingin bertemu Hanna berwajah Arimbi.

***

Darah kotor yang menggumpal di kepala Arimbi pecah saat terbentur cukup keras di lantai. Dokter menangani dengan tepat, membersihkan tumpukan yang sudah bersarang, dan memberikannya obat terbaik. Dalam hitungan jam Arimbi pun sadar seutuhnya, ingatannya pulih dengan air mata yang terus mengalir. Arimbi menangis tersedu-sedu. Menyadari jika hidupnya selama ini terancam oleh bayangan Wulan.

Wanita itu tidak terima dan dendam.

"Nyonya, jangan menangis terus." Bujuk Marlina, mengusap pundak Arimbi yang masih bergetar hebat.

"Ibu ... Aku takut. Apakah Mas Sultan masih lama? Aku ingin bercerita banyak hal padanya, sebelum publik tahu aku sudah sembuh," rengeknya.

Mengangguk paham, Marlina kembali mengeluarkan ponselnya, dan mencari kontak Sultan. "Sebentar, akan saya coba telepon lagi."

Tepat di nada sambung ketiga telepon diangkat. Marlina mengucap syukur, lantas memberikannya kepada Arimbi yang sudah berbinar. Sangat bahagia.

"Mas Sultan ..."

"Iya, ini aku Arimbi." Tangis wanita itu kembali pecah. Dia sungguh terharu.

"Bisakah kamu pulang sekarang, Mas? Aku ingin bercerita banyak padamu."

"Iya, Mas, kalau bisa secepatnya."

"Aku juga sangat mencintaimu," jawab Arimbi, membalas kalimat cinta Sultan.

Setelah telepon terputus, Arimbi pun bangkit menuju jendela yang terbuka lebar. Matanya penuh dengan air mata. Arimbi tidak pernah menyangka dirinya bisa sembuh, dan mengingat semua yang telah Wulan lakukan. Berawal dari kecelakaan itu, sampai penyamarannya sebagai perawat. Setiap hari Arimbi dicekoki obat berbahaya, awalnya dia memberontak, tetapi semakin lama daya ingatnya melemah dan jatuh. Wulan memaksa terus menerus sampai Arimbi bodoh.

Menyeka air matanya Arimbi sadari jika semua ini adalah karma. Balasan dari kehidupan untuknya, atas ulah yang dia kendalikan dulu saat Wulan masih sangat jelek dan kampungan. Arimbi sangat tidak menyukainya, apalagi saat mendapat kabar pertunangan Angga dengan Wulan. Segala cara Arimbi lakukan hanya untuk memisahkan keduanya, sampai berhubungan dengan Angga diam-diam. Tentunya di belakang Sultan dan Wulan, karena pada saat itu Arimbi sudah menjadi pacar Sultan.

"Aaw! Sa-kit." Arimbi berteriak sambil memegangi bekas luka di kepalanya.

"Nyonya Arimbi," Marlina mendekati Arimbi, lalu memapahnya ke ranjang.

Dengan cekatan Marlina menekan bel yang menempel di dinding, memanggil dokter maupun suster.

"Bu, apa kesalahanku masih bisa dimaafkan?" tanya Arimbi mulai ngelantur, Marlina mengangguk cepat.

"Semua kesalahan ada solusinya, apalagi nyonya Arimbi sudah menyesal dan berubah baik. Yakinlah, orang yang nyonya sakiti dulu pasti akan memaafkan." Hibur Marlina, dia cukup mengerti apa yang telah terjadi dulu.

Di lain tempat Ratih berdiri di depan rumah Sultan yang kosong. Tidak ada siapapun kecuali satpam yang duduk di kotak penjaga. Dengan malas Ratih menghampiri satpam tersebut, ingin menanyakan kemana semua orang pergi? Pasalnya hari ini Ratih sudah ada janji dengan Sultan. Mereka akan membahas soal pernikahan, mencari gedung, gaun, dan memilih undangan. Ratih ingin pernikahannya diadakan secepat mungkin, atau semua orang akan tahu betapa buruknya Sultan.

"Pak, maaf, semua orang pergi kemana ya?" tanya Ratih begitu sopan, tetapi satpam malah membuang muka.

Mendengus, Ratih mengeluarkan dua lembar uang bewarna merah, lalu menyerahkannya. "Aku tidak memiliki banyak waktu."

Dengan secepat kilat pak satpam menyambar uang tersebut, dan menyengir. "Tuan Sultan pergi dari tadi pagi menjenguk istri keduanya, sementara nyonya Arimbi siang tadi jatuh dari kursi dan langsung dibawa ke rumah sakit."

"Oke, apa rumah sakit biasa?" tanya Ratih menggebu.

"Sepertinya, iya. Coba saja nona cek ke sana." Satpam itu menjawab sambil memainkan matanya pada Ratih.

Sontak Ratih berdigik, lantas buru-buru meninggalkan rumah Sultan menuju rumah sakit yang sudah dia ketahui secara pasti.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang