35

127 0 0
                                    

"Oh, hai ..." Ratih menyunggingkan senyuman terbaik yang dia punya.

Arimbi membuang muka, semampunya mengatur napas yang sudah tidak stabil. Wanita itu akan semakin berani kalau melihat Arimbi ketakutan. Sejak awal mengenalnya Arimbi memang sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tunangan Angga. Malangnya dia malah bermain-main dengan api.

"Mau apa kamu ke sini?" tanya Arimbi ketus, tanpa menoleh sedikitpun.

"Hmm, aku mencari Sultan suamimu, kita ada urusan yang sangat penting." Ratih datang mendekat, kini dirinya berdiri tepat di sebelah Arimbi.

"Katakan apa maumu, Wulan? Aku sudah meminta maaf padamu, tetapi kenapa kamu selalu mengusik kehidupanku?" Tidak tahan Arimbi berteriak, matanya memerah panas.

Menaruh buah tangan yang dibelinya di atas meja, Ratih pun berdecak sebal. "Panggil aku Ratih, karena Wulan sudah mati."

Ratih mengangkat kepalanya tinggi, merasa bangga dengan nama barunya. Selama Ratih memakai nama Wulan dirinya selalu diserang banyak orang, terutama Arimbi, tetapi setelah dia menggantinya wanita itu menjadi kuat. Suatu keadilan bagi Ratih untuk membalaskan apa yang telah dia dapatkan di masa lalu. Sekalipun Arimbi sembuh, Ratih tidak gentar.

"Aku sudah lama memaafkanmu, tapi entah kenapa aku tidak bisa melupakannya." Ratih tertawa miris. "Kalian tidur berdua satu hari sebelum hari pernikahanku, sungguh tega."

"Kami hanya tidur biasa tanpa melakukan apapun, percayalah."

"Kamu pikir aku bodoh!" bentak Ratih.

Di samping kepala Arimbi, Marlina pun menganga. Terlampau kaget saat mengetahui Ratih adalah tunangan selingkuhannya Arimbi dulu. Kendati, Marlina cukup banyak tahu masalah percintaan Arimbi dengan Sultan di masa lalu. Wanita itu ketahuan selingkuh, tetapi tidak menghilangkan rasa cinta Sultan kepadanya, bahkan dia malah membenci Angga. Kedua lelaki itu bersiteru dan tidak bertegur sapa sampai Angga meninggal dunia.

Menyeka air mata yang mencuat keluar, Ratih tersenyum dalam tangis. "Tidakkah kamu sadar, Arimbi? Kamu sudah merusak masa depanku, dan menghancurkan impianku bersama kekasih yang sangat aku cintai."

Arimbi terus menggeleng, bola matanya memanas. Pengakuan Ratih membuat Arimbi merasa paling bersalah, dan sangat menyesal. Keisengan yang Arimbi lakukan adalah penyebab bangkitnya jiwa lain di dalam diri Wulan yang sekarang menjadi Ratih. Tidak terbendung lagi, akhirnya air mata Arimbi jatuh, napasnya naik turun menahan sesak yang menghimpit. Mengakui kesalahannya.

"Sekarang, aku ingin meminta sebagian kebahagiaan darimu, untuk mencairkan rasa sakit yang kutahan selama bertahun-tahun."

"Aku harus membayarnya dengan apa?" tanya Arimbi tidak mengerti.

"Izinkan aku dan suamimu menikah."

Jantung Arimbi seakan berhenti detak, matanya membeliak sempurna. Tidak adakah permintaan yang lain? Arimbi mengalami masa sulit yang cukup lama, dan sekarang waktunya dia memperbaiki hubungan dengan Sultan. Membuang muka Arimbi menahan gejolak panas di dalam dada, enggan memberikan jawaban. Dia membisu.

"Ah, iya, aku tidak perlu meminta izin darimu karena Sultan sudah berjanji akan menikahiku secepatnya. Maafkan aku, Arimbi, bukan maksudku mendahului Sultan untuk bercerita padamu. Aku hanya terbawa suasana." Ratih tersenyum lebar, seraya menepuk pundak Arimbi.

Merasa tidak nyaman Arimbi pun menoleh, menatap wanita itu tajam. "Apa maksudmu?"

"Ya, kami segera menikah, dan aku akan menjadi istri yang ketiga."

Untuk ke sekian kalinya Arimbi tertohok oleh pengakuan Ratih yang baru dia ketahui. Arimbi tidak ingat sedikitpun dengan wanita kedua suaminya, hal ini sungguh mengejutkan baginya setelah mendapat kabar pernikahan Sultan dengan Ratih. Air mata Arimbi jatuh lagi, ditatapnya Marlina dengan perasaan hancur, wanita tua itu hanya menghela berat.

***

Sudah berkali-kali Leo menghubungi nomor Sultan, akan tetapi tidak aktif. Perasaan dan pikiran Leo sedang kacau, tidak sejalan dengan hatinya yang menginginkan Hanna cepat pulih. Ini bukan soal suka tidaknya Leo atas perubahan wajah Hanna, sebab wanita itu juga masih memiliki keluarga. Di saat darurat seperti ini ponsel Sultan malah tak bisa dihubungi sama sekali.

"Halo, sister, bagaimana keadaanmu?" tanya dokter itu ramah dengan aksen barat. yang kental.

Dengan pandangan searah Hanna mencoba tersenyum, meski rasanya sangat sulit. "Alhamdulillah, baik, Dok."

Sementara dokter memeriksa Hanna, Leo masih sibuk dengan pikirannya. Jiwa Leo memang berada di sisi Hanna, tetapi rohnya melayang entah kemana. Leo tidak bisa mencintai Hanna dengan wajah Arimbi, itu akan membunuh impiannya sejak lama. Leo nyaris stres.

"MasyaAllah, perkembangan yang amat baik, sister." Dokter itu berkata lagi, memberikan informasi yang membuat Hanna semakin yakin untuk sembuh.

Menyiapkan beberapa butir obat, dokter menyerahkannya pada Leo. "Berikan obat ini setelah makan malam nanti ya, Pak."

Leo hanya mengangguk, lalu mengantar dokter sampai depan pintu. Mengambil segelas air yang tersedia, Leo pun meminumnya guna menghilangkan dahaga. Hanna tidak berkata apapun, Leo bisa melihat jika suasana hati wanita itu bahagia. Duduk di salah satu kursi yang berada tepat di sampingnya, Leo menatap sisi wajah Hanna yang masih diperban dengan perasaan sedih. Setelah ini Leo tidak bisa lagi melihat senyuman khas Hanna, melainkan Arimbi.

"Hanna ..." lirihnya parau, Hanna sedikit menoleh. Matanya berusaha melirik ke arah Leo.

Perasaan keduanya bertolak belakang.

Menunduk ke bawah Leo berusaha menyembunyikan kesedihannya, meski dia tidak kuasa. "Seberapa bahagianya kamu menikah dengan Sultan, dan dianggap wanita lain?"

"Kenapa kamu bertanya demikian?"

"Hanya ingin tahu perasaanmu, Hanna." Tekan Leo sedikit memaksa.

Pertanyaan Leo membuat Hanna jadi kembali bingung. Berbagai rasa bercampur menjadi satu saat Hanna mengingat kondisi pernikahannya yang berbeda. Hanna merasa bahagia sekaligus sakit dalam waktu bersamaan. Menjalin hubungan yang tidak sehat dengan suami orang dan lelaki pilihan pamannya. Untuk soal perasaan Hanna merasa bimbang, tentunya setelah kehadiran Leo.

"Leo, aku tidak bisa menjawab." Hanna memejamkan matanya, seakan sedang menanggung beban yang berat.

Melihat Hanna seperti tertekan Leo jadi kasihan, dan lelaki itu pun mengalah. Tidak seharusnya Leo bertanya hal yang sensitif di saat Hanna baru sadar, dan tengah berjuang untuk sembuh. Leo bangkit saat ponselnya berdering, dengan cepat merogoh sakunya dan melihat nama Sultan yang tertera. Sambil beranjak ke arah jendela Leo menjawab teleponnya dengan geram.

"Kemana saja dirimu?! Aku dari tadi menghubungimu, ini sangat darurat."

"Leo, aku sedang dalam masalah yang besar. Aku tidak bisa menjenguk Hanna dalam waktu yang lama, dan menitipkannya padamu. Secepatnya, aku akan memberi kabar begitu masalahku di sini selesai." Sultan berkata sangat cepat, bahkan tidak memberi Leo kesempatan berbicara.

Sebelum Leo mengatakan tujuannya, telepon sudah diputus sebelah pihak.

Dengan cemas Leo menatap layar ponselnya. Suara Sultan terdengar menggebu dan panik. Perasaan Leo jadi tidak keruan, karena tidak seperti biasanya Sultan panik seperti itu. Menghampiri Hanna yang menatap penasaran, Leo menggengam tangan Hanna yang terasa dingin dan kaku

"Semua akan baik-baik saja," katanya.

Saat Hanna ingin menangis Leo pun mengusap-usap punggung tangannya. Keadaan Hanna yang masih dalam tahap pemulihan membuat Leo tidak bisa memeluknya dengan erat. Jadi, yang Leo lakukan hanya menghibur, serta berusaha menenangkan hatinya yang gelisah. Apalagi setelah Hanna tahu jika Sultan tidak bisa menjenguk, wanita itu tampak semakin murung.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang