Sultan menatap nanar wajah Arimbi yang tenang. Kedua matanya masih tertutup, mengeluarkan deru napas yang teratur. Untuk ke sekian kalinya Sultan menghela napas. Rasanya sudah lama sekali dia menunggu. Ternyata menyembuhkan orang sakit itu berat. Arimbi tidak kunjung siuman setelah menjalankan operasi. Cemas? Tentu saja. Berulang kali Sultan menangis untuk Arimbi, bahkan dia sampai tidak selera makan.
Perlahan, Sultan mengecup kening Arimbi yang terasa dingin. Memberi kekuatan padanya agar tetap bertahan. Menyeka ujung matanya, Sultan pun beranjak meninggalkan Arimbi dengan perasaan kecewa. Di luar Leo telah menunggu. Jadi, Sultan harus segera menemuinya untuk mendapatkan informasi penting tentang rumah.
"Ada apa?" tanyanya terkesan dingin.
Sebagai sahabat Leo sangat mengerti dengan perasaan Sultan. Dia cukup memakluminya, dan berkata tegas. "Aku mendapat email dari Pak Kades, mengenai istri keduamu."
"Apa ada masalah?" Sultan mulai tertarik dengan perkataan Leo.
Membuka ransel hitamnya, dengan cepat Leo mengeluarkan laptop milik Sultan yang dia kendalikan. Tanpa berkata lagi Leo menunjukkan email yang baru masuk. Seketika rahang Sultan mengeras, dan matanya juga memerah. Dalam sekali baca Sultan sudah memahaminya, jika Hanna mengadukan seluruhnya pada sang paman. Sultan tidak bisa tinggal diam.
"Kenapa kamu terlihat sangat marah?" Leo tampak begitu peduli.
"Si pembawa sial ini mencari gara-gara denganku."
"Bukankah kamu tidak mencintainya? Dia hanya meminta cerai, bukan meminta nyawamu." Sergah Leo, entah mengapa dia juga kebawa emosi.
Mengepalkan tangannya, ingin sekali Sultan meninju wajah jenius Leo. Akan tetapi, semampunya dia tahan. Mungkin kalau kehadirannya tidak begitu penting untuk Arimbi, maka pukulan sudah melayang. Sultan pun beranjak mengabaikan Leo yang tengah menunggu jawaban. Di sudut ruang Sultan menelepon seseorang, untuk menyakinkan dugaannya.
Dia Marlina. Menceritakan semua.
Tentang kedatangan sang paman, sampai dia menemukan Hanna dalam keadaan hancur. Marlina menyembunyikan pengaduan Hanna terhadap pamannya. Suara Marlina yang gugup, menambah keyakinan Sultan jika telah terjadi sesuatu.
"Aku harus segera pulang," kata Sultan menghampiri Leo kembali.
"Bagaimana dengan istri pertamamu?" tanya Leo pura-pura tidak mengerti.
"Aku mempercayakannya padamu, dan kedua rekanmu. Aku harus menyelesaikan masalahku dengan istri yang di rumah," jawabnya tergesa-gesa.
Tanpa menunggu jawaban Leo, Sultan berlalu menuju ruangan Arimbi. Dia berpamitan dengan cepat, dan juga mengambil beberapa barangnya yang penting. Lantas, Sultan menuju ruang dokter memberitahu kepulangannya. Dokter tidak mempersulit, apalagi hampir seluruhnya Leo yang ambil rujukan untuk penanganan Arimbi.
Tidak butuh waktu lama Sultan telah tiba di bandara, membeli tiket, dan keperluan yang lain. Di saat tengah menunggu awak pesawat memanggil namanya, Sultan melihat Ratih bersama seseorang. Sekali lagi Sultan menatap wanita itu tidak percaya. Ratih yang biasa Sultan lihat sederhana, tetapi kini sebaliknya. Dia sangat menakjubkan.
"Ah, tidak mungkin. Dia bukan Ratih," kilahnya, menahan langkah kakinya yang hendak menghampiri wanita itu.
Meninggalkan ruang tunggu, Sultan pun bergegas menuju pesawat saat petugas memanggil namanya. Kerap kali Sultan menolak panggilan yang masuk. Mulai dari panggilan Marlina sampai nomor yang tidak dikenal. Sultan mendengus kasar, waktunya tak banyak untuk menjawab telepon apalagi menanggapi panggilan Kades.
"Merepotkan." Sultan kembali mematikan ponsel.
Yang jelas saat ini Sultan ingin segera menemui Hanna, dan memberinya peringatan. Jika dia ingin sekali cerai Sultan bisa melakukan, tanpa campur tangan orang lain. Pengaduannya terhadap sang paman membuat nama baiknya tercoreng, dan Sultan murka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomanceMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...