29

130 2 0
                                    

Adzan subuh berkumandang, Sultan bangun dengan kepala yang terasa sangat pusing. Tadi malam sepertinya Sultan salah memilih minuman. Dia tidak pulang semalam, tubuhnya jatuh saat hendak masuk ke mobil, itu yang Sultan ingat terakhir kali. Menyingkirkan selimut, spontan Sultan berjengit ketika melihat tubuh telanjangnya. Apa-apaan ini? Pikiran Sultan mulai kemana-mana, yang jelas dia tidak mengingat apapun setelah pingsan.

Wajah Arimbi dan Hanna otomatis muncul di matanya, seakan-akan Sultan sedang berhadapan langsung dengan kedua istrinya yang tampak begitu sedih. Ini sebuah pengkhianatan, dan Sultan merasa sangat bersalah.

"Hai, selamat pagi." Seorang wanita keluar dari toilet dengan handuk kecil yang digunakannya untuk mengeringkan rambut.

Sultan melotot, bahkan bola matanya nyaris keluar. Saking kagetnya begitu mengetahui dia telah bercinta dengan siapa. "Ratih? Kamu menjebakku?!"

Sontak wanita itu tertawa. Ratih tidak seperti yang Sultan lihat biasanya, dia tampak berbeda dan sangat nakal. Mulai dari penampilan, sampai suara tawa yang terdengar menjengkelkan.

"Oh, Tuan. Apa perlu aku tunjukkan padamu video kita semalam? Di situ jelas kamu sendiri yang menggodaku, dan permainanmu sangatlah panas."

Dada Sultan bergejolak, panas karena marah. Perkataan Ratih memancing emosinya yang sempat menghilang. Melilitkan selimut pada pinggangnya, dengan murka Sultan menghampiri Ratih yang masih tertawa mengejek.

"Apa maumu, hah?" Sentaknya sambil mengguncang kedua pundak Ratih.

"Tolong, jangan kasar. Aku memiliki bukti atas pertarungan hebat kita semalam. Tidakkah kamu takut aku membongkarnya? Reputasi baikmu akan hancur, Tuan yang pemarah."

Ancaman Ratih sukses membuat Sultan terdiam. Lelaki itu mengambil napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan diri untuk tidak menghajar wajah Ratih. Sampai detik ini Sultan masih menjunjung tinggi nama baik. Tidak akan Sultan biarkan seseorang pun merusaknya, apalagi orang itu Ratih.

"Oke, katakan apa maumu?" Sultan mengeram di sela gemelutuk giginya.

Mengibaskan rambutnya yang lembap Ratih menatap Sultan genit, lalu dia berkata tegas. "Nikahi aku, Mas."

"Sinting! Kamu pikir dirimu siapa harus aku nikahi?"

Lagi, Ratih tertawa bahkan lebih keras.

Setiap reaksi Sultan bagi Ratih lelucon yang sangat menghibur. Wajah lelaki itu memerah karena marah, tetapi dia tidak bisa melampiaskannya. Itu lucu.

"Semua terserah padamu, Tuan. Aku tidak memiliki hati seperti kedua istri yang ada di rumahmu, jadi jangan salahkan aku jika video itu tersebar."

"Kamu pikir aku peduli?" Tantangnya, sontak Ratih menganga. Memungut pakaiannya yang tercecer di lantai, Sultan berkata lagi. "Semua orang tahu aku tidak senonoh itu meniduri wanita murahan sepertimu, ketika di rumahku ada dua istri yang sangat cantik. Jangan pernah mengharapkan apapun dariku."

Sambil mengenakan sepatu Sultan melirik sinis Ratih yang membatu. Tanpa berkata lagi Sultan meraih kunci mobilnya di meja, lantas pergi meninggalkan Ratih yang terdiam seperti orang bodoh. Sultan bukanlah tandingannya. Menuju parkiran mobil, dengan perasaan bersalah Sultan mencoba menghubungi telepon rumah. Dia merindukan Arimbi dan Hanna. Kedua wanita itu pasti mencari dirinya yang tidak pulang sehari semalam.

Tepat pada sambungan ketiga Marlina menjawab telepon Sultan, suaranya terdengar sangat gugup dan khawatir.

"Halo, Bu. Ada apa?" tanya Sultan. Dia sengaja menghentikan langkahnya untuk mendengarkan yang lebih jelas.

"Tuan, Nona Arimbi menangis."

"Menangis kenapa?" Sultan panik.

"Anu, kata nona, Tuan selingkuh."

Jantung Sultan berhenti berdetak. Pikirannya langsung tertuju pada Ratih. Dengan perasaan dongkol Sultan balik arah, bahkan dia berlari menuju kamar hotel yang ditidurinya semalam. Ratih memang kurang ajar. Sultan tidak berpikir wanita itu akan memberitahu Hanna terlebih dulu.

Istrinya yang polos pasti telah mengira yang tidak-tidak.

***

Dari perasaan terdalam Hanna menangis sesegukan. Gambar yang baru saja Leo terima menyakiti hatinya lebih dari yang lain. Sultan tampak berada dalam satu selimut dengan seorang wanita di tempat tidur. Hati Hanna bagaikan disayat, sakit bukan kepalang. Rasa cemburu itu menguap dan menguasai jiwa Hanna untuk melampiaskannya ke dalam bentuk air mata.

"Hanna, kita belum tahu apa yang terjadi sebenarnya," tegur Leo sambil mengusap rambut Hanna yang halus.

Lelaki itu ketiduran di sofa semalam, sehingga masih berada di rumah Sultan. Tidak sedikitpun Leo berkata jelek tentang sahabatnya, apalagi sampai menunjukkan gambar yang baru saja dia dapatkan. Semua atas reaksinya yang mencolok, memancing Hanna untuk mengikuti arah pandang Leo. Akibatnya Hanna seperti yang terlihat, menyedihkan dan terpukul.

"Aku hanya ingin membangunkanmu, Leo. Sudah waktunya subuh." Hanna menyeka air matanya yang mengalir deras, lantas berlari menuju kamar.

Dengan bingung Marlina menatap Hanna yang berlari. Wanita itu baru saja dari belakang, menyiapkan dua gelas teh hangat. Tanpa berpikir panjang Marlina pun menghampiri Hanna yang tengah menangis hebat.

"Ada apa, Non?" tanyanya panik.

"Mas Sultan selingkuh, Bu. Hiks!"

Di luar Leo mengetuk pintu kamar Hanna, berusaha meminta izin untuk masuk, tetapi wanita itu tidak kunjung keluar. Merasa jika dirinya tidak dibutuhkan Leo pun beranjak. Kembali ke ruang tengah dengan perasaan gusar. Sebagai pengamat yang handal Leo membuka kembali gambar aib Sultan bersama seseorang. Wajahnya tidak terlihat karena tidur menyamping, tetapi Leo mengenal bentuk tubuh Ratih.

Sambil bertanya-tanya Leo mencoba menghubungi ponsel Ratih, rasanya seperti omong kosong. Sejelek apapun Ratih, Leo mengenal baik karakternya yang sangat menjaga kehormatan. Tidak mungkin wanita itu memberi pengalaman pertamanya kepada Sultan. Malaikat penolong Arimbi.

"Tuan ..." panggil Marlina, dengan sebuah ponsel di tangannya. Leo hanya memandang lesu, sungguh merasa bingung. "Nona Arimbi memanggilmu."

Spontan Leo bangkit. Mematikan sambungan teleponnya, Leo langsung berlari kecil menuju kamar Hanna. Dengan khawatir Leo mendekati Hanna, lalu duduk di ujung ranjang. Saat Hanna berbalik dada Leo terasa sangat sesak, melihat wanita yang di cintainya tampak begitu menderita. Kesedihan Hanna terlampau dalam.

"Leo, bawa aku pergi," katanya parau.

"Maksud kamu?" Leo berpura bodoh.

Jujur, Leo terkejut mendengarnya. Di samping Leo menginginkan Hanna, dia juga tidak bisa mengambil keputusan. Leo ingin Hanna bersabar dan tetap tinggal, membicarakannya baik-baik dengan Sultan, bukan pergi begitu saja.

"Leo, aku tidak sanggup lagi."

"Maafkan aku, Hanna. Sungguh! Aku tidak bisa membawamu pergi, karena Sultan akan menghajarku."

"Kalau begitu biarkan aku pergi sendiri." Hanna berkata dengan tegas.

"Aku mohon bersabarlah. Kita belum mendengar penjelasan dari Sultan." Semampunya Leo menahan Hanna, tetapi wanita itu tetap pada pendirian.

Hanna tampak sangat kecewa, marah, dan sakit hati. Semua bercampur menjadi satu, membuatnya tidak bisa berpikir jernih selain pergi dari rumah.

Saat Hanna mengenakan sandal, Leo sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Perkataan Marlina pun tidak lagi dia dengar. Hanna terus berlari menuju pintu keluar, dengan Leo di belakang mengejar. Menggapai tubuh Hanna yang bersikeras pergi, memeluknya sangat erat. Dia terus memberontak sampai tubuhnya terkulai lemah.

"Lepaskan aku, Leo. Aku ingin pergi."

"Tenanglah! Aku sendiri yang akan mengantarmu ke desa." Leo berbisik.

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang