Satu bulan sudah berlalu semenjak dokter menyatakan Hanna hamil. Nomor ponsel Sultan masih belum bisa dihubungi. Tidak ada kabar darinya, membuat Hanna semakin cemas. Untung saja Marlina selalu mengingatkan akan kehamilannya. Kendati demikian rasa takut itu tidak bisa hilang seutuhnya, nasihat Marlina hanya mengurangi rasa gelisah bukan mendamaikan hati.
Sama seperti Hanna, Marlina sebenarnya juga merasa cemas, mereka tidak mendapat informasi apapun. Ruang keduanya untuk mencari berita sangat terbatas. Setiap hari Marlina selalu berusaha menelepon, bahkan tembus sampai ratusan kali. Namun, hasilnya tetap nihil. Tidak ada yang bisa Marlina perbuat selain menyemangati, dan menghibur Hanna.
"Ini susunya, Non." Marlina menaruh segelas susu tepat di depan Hanna.
Mengangguk sekali, Hanna menatap Marlina dengan gusar. "Bagaimana, Bu, apa teleponnya masih belum aktif?"
"Belum, Non. Baru saja tadi saya hubungi, sepertinya Tuan benar-benar sibuk," kata Marlina, Hanna hanya tertunduk lesu.
Seharusnya, Hanna mendapatkan perhatian lebih dari Sultan, tetapi kenyataannya malah berbanding terbalik. Bukan perhatian yang Hanna dapatkan, melainkan pengharapan. Dia berharap sekali Sultan mengingatnya, dan menanyakan kabar. Namun, hingga detik ini, hanya kekecewaan yang Hanna terima. Tidakkah Sultan ingat jika memiliki dua istri?
Menghela napasnya Hanna tersenyum getir. Jatuh cinta sendirian memang menyakitkan. Mengusap perutnya berkali-kali, Hanna memanjatkan doa yang terbaik untuk dirinya dan janinnya. Hanna harus bisa menerima jika Arimbi lebih membutuhkan Sultan.
"Bu, hari ini kita memasak apa?" tanya Hanna, setelah menghabiskan segelas susu hamil.
Marlina tampak berpikir. Memasak memang tugasnya, tapi ada kalanya dia juga mengalami kebingungan. "Hmm, Nona mau dimasakin apa?
Ditanya seperti itu Hanna hanya menggeleng. Sesekali dia mengelus perutnya yang terasa mual.
"Kalau Nona pengen makan sesuatu, bilang saja, Non. Hamil muda nafsu makan memang menurun, tapi kita harus mengisinya dengan nutrisi yang cukup. Jadi, enak tidak enak Nona harus makan, walaupun sedikit."
"Iya, Bu. Tapi beneran belum pengen apa-apa," jawab Hanna apa adanya.
Marlina mengangguk mengerti. Dia sangat menyayangi Hanna seperti anaknya sendiri. Semua kebutuhan dan keperluannya selalu wanita itu perhatikan dengan baik.
"Oh, iya, Non. Setelah masak nanti saya mau keluar sebentar. Ternyata sudah banyak stok kita yang habis. Jadi saya harus pergi sendiri, tidak bisa belanja online, Non."
"Hm, lama ya, Bu?"
"Kemungkinan paling cepat satu jam. Nona tidak boleh keluar ya sama Tuan?" tanya Marlina memastikan.
Meski ragu-ragu Hanna mengangguk lambat. Sebenarnya Marlina tahu, tapi dia hanya ingin Hanna mengakuinya sendiri, karena semenjak menikah dengan Sultan wanita itu tidak pernah keluar rumah. Hanna tidak hanya wanita yang baik, tetapi dia juga istri shalihah. Mematuhi segala peraturan Sultan sekalipun itu di luar keinginannya.
"Iya sudah, Non. Sekarang saya masak dulu ya. Nanti kalau selama saya di luar ada apa-apa, Nona bisa telepon saya menggunakan ponsel nyonya Arimbi. Ponselnya ada di kamarnya." Sambil berlalu menuju dapur Marlina terus berbicara, Hanna mengikutinya.
Setiap hari Hanna memang selalu membantu Marlina memasak di dapur. Kegiatan itu cukup mengalihkan risaunya perasaan Hanna, walau hanya sesaat. Untungnya Marlina begitu terbuka dan tidak melarang. Mereka melakukan bersama dengan hati riang.
Saat Marlina mengeluarkan mangkuk yang berisi daging dan tulang, Hanna mengamatinya, lalu menghela napas. Ingin sekali Hanna menegur Marlina, tapi dia tidak kuasa. Wanita itu tidak pernah bisa meninggalkan tugasnya yang aneh. Memasak sop iga setiap hari walaupun tidak ada yang makan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Arimbi ✓
RomansaMenikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, da...