21

154 6 0
                                    

Dengan langkah besar Sultan menuju ruangan dokter yang menangani istrinya Arimbi. Sudah seminggu lebih Sultan menunggu, tanda-tanda Arimbi akan bangun masih belum terlihat. Pikirannya sedang buruk, jadi apapun yang membuat Sultan cemas, maka dirinya akan membayangkan sesuatu yang tidak diinginkan. Sosok Arimbi sangat berharga bagi Sultan, bahkan lebih berarti dari nyawanya sekalipun.

Suster mengiringi langkah Sultan saat mencapai pintu ruangan yang dituju. "Dok, ada yang ingin berbicara."

"Baik, silakan duduk," pinta dokter.

Tanpa memberitahu tujuannya lebih dulu dokter itu sudah paham. Arimbi bukan pasien pertama yang lelaki itu tangani. Kemampuannya tidak pernah diragukan, tapi kali ini dia juga tidak mengerti di mana salahnya sehingga pasien enggan membuka mata. Dia sudah melakukan yang terbaik, bahkan menyelidiki kasusnya sampai tuntas.

"Sampai kapan saya harus menunggu?" Sultan menuding lelaki di depannya dengan tatapan tajam.

Frans tersenyum hangat. Dia sudah sering berhadapan dengan orang seperti Sultan, dan tidak menjadi masalah baginya. Apalagi Leo telah menjelaskannya jauh sebelum ini, jadi Frans tidak lagi terkejut. Ketika orang lain menghormati titel dokternya, kali ini Frans seolah-olah tidak dihargai.

"Kita harus menunggu," katanya penuh kewibawaan, di luar perkiraan Sultan menggebrak meja.

Wajahnya merah padam dengan api yang sudah naik ke ubun-ubun. "Sampai kapan? Aku sudah menunggu lebih dari apa yang Anda janjikan."

"Ya, menunggu sampai pasien sadar. Saya hanya seorang dokter, bukan Tuhan yang bisa mengatur hidup dan mati seseorang." Frans sedikit memundurkan pundak Sultan yang maju.

Tubuh Sultan melemas, kesadarannya telah kembali saat mengingat bahwa Allah yang berhak mengatur. Dengan napas tidak beraturan Sultan berbalik arah, lalu meninggalkan meja dokter.

"Tunggu ..." Dokter Frans menahannya, dengan cepat menyusul langkah Sultan.

"Ada apa?" tanyanya tidak semangat.

"Saya memiliki dua pilihan untuk istri Anda." Frans sengaja menggantungkan kalimatnya, hendak mengetahui reaksi Sultan terlebih dulu. "Satu di antaranya memberikan obat tambahan guna merangsang kesadarannya lebih cepat, hanya saja dia akan hidup tidak seperti usianya."

"Apa maksud Anda?"

"Maksud saya dia akan hidup seperti anak kecil, dengan tingkah, karakter, bahkan cara berbicara."

"Lalu, apa yang kedua?" Sultan tampak tidak sabar.

"Sedang pilihan yang lain, tentu saja menunggunya sampai dia sadarkan diri tanpa kepastian. Bisa bangun dan sembuh, atau tidak bangun sama sekali. Menurut hasil pemeriksaan, istri Anda sangat sulit untuk hidup normal."

Jantung Sultan rasanya bagaikan diremas, sakit bukan main. Ternyata usahanya sekarang juga akan sia-sia. Setiap hari Sultan tersiksa melihat Arimbi kesakitan dengan berbagai selang yang terhubung di tubuhnya, dengan menaruh harapan sembuh. Malangnya takdir Allah berkata lain.

Sultan merasa tidak berguna sebagai suami. Kesembuhan Arimbi adalah hal yang paling Sultan harapkan di dunia ini setelah mendapatkan anak. Tanpa menjawab pertanyaan dokter, Sultan berlalu begitu saja. Dia butuh waktu untuk berpikir, karena bukan perkara mudah menentukan pilihan yang tidak membantu sama sekali.

"Setidaknya, aku akan menunggu sampai besok," gumam Sultan, berlari kecil menuju ruangan Arimbi.

Mata Sultan melotot bahkan nyaris keluar. Di depan kedua matanya Sultan melihat ada seseorang yang menyelinap masuk. "Woi! Siapa kamu?"

Menyadari kedatangan Sultan orang itu dengan cepat melompat keluar jendela, dan mengempaskan botol kaca yang berisi cairan. Entah apa? Yang jelas Sultan mencurigainya, apalagi ini bukan yang pertama.

***

Kondisi Hanna berangsur kembali pulih. Wajah lebamnya sudah membaik dengan perawatan ekstra yang terus Leo awasi. Tidak hanya itu, perasaan Hanna pun juga tampak jauh lebih baik. Wanita itu jadi sering tertawa dan tersenyum, apalagi saat Leo datang berkunjung. Mereka menghabiskan banyak waktu dengan bercerita yang menyenangkan, tidak jarang Leo juga mengajak Hanna bercanda. Menikmati hidup seolah tanpa beban, bahkan Leo pikir Hanna telah lupa dengan suaminya Sultan.

Drtt! Drtt! Perhatian keduanya langsung teralihkan pada suara getaran ponsel yang khas.

Leo pun mengambil benda pipih itu, keningnya mengerut saat membaca nama Sultan. "Halo."

Di samping lelaki itu, Hanna hanya diam memerhatikan. Mendengarnya berbicara sampai melihat reaksi Leo.

"Ya, aku serahkan semua padamu."

"Aku sama sekali tidak meragukan kemampuan dokter Frans, hanya saja kamu sedang tidak beruntung."

"Itu hakmu Sultan, aku tidak tahu apa yang terjadi ke depannya nanti."

Wajah Hanna spontan berseri. Mendengar nama Sultan bagaikan mendapat undian. "Apakah itu Mas Sultan?"

Otomatis Leo meliriknya sekilas. Melihat kebahagiaan Hanna membuat Leo berinisiatif menyerahkan ponsel padanya, tanpa meminta persetujuan dari Sultan. Sebab Leo tahu sahabatnya itu akan menolak.

"Halo, Mas. Ini aku, kamu apa kabar? Bagaimana keadaan Mba Arimbi?" Dengan penuh semangat Hanna menyapa Sultan, suaranya terdengar sangat ceria.

Akan tetapi semua itu tidak berlangsung lama. Dalam sekejap mimik wajah Hanna berubah menjadi muram. Kedua matanya menatap layar ponsel dengan sedih. Sampai hati Sultan mematikan sambungan teleponnya saat Hanna berbicara. Apakah dia tidak ingin mengetahui kabar Hanna dan calon anaknya? Tentu setelah kejadian mengerikan.

"Berikan ponselnya, Hanna. Aku akan memarahinya!"

Melihat kekecewaan Hanna, Leo jadi geram. Sikap acuh Sultan terhadap Hanna memang sudah kelewatan. Leo semakin yakin jika perpisahan adalah jalan satu-satunya. Semaksimal mungkin Leo berjanji akan membantu Hanna agar terbebas dari Sultan terkhusus hatinya yang telah buta.

"Sial! Tidak aktif." Leo menggerutu.

"Leo, aku tidak apa-apa," ujar Hanna seraya menghapus air matanya yang tidak kunjung berhenti.

Hati Leo teriris melihatnya, sungguh dia tidak tega Hanna terus menerus diperlakukan tidak adil oleh Sultan. "Kamu harus mengikuti apa kata pamanmu. Sultan tidak akan berubah."

Saat Leo memeluknya tangis Hanna pecah, tidak sanggup menahan rasa sesak di dada. Ancaman pamannya sangat menakutkan. Mereka sudah bertemu dan bermusyawarah secara kekeluargaan. Leo menghadapinya dengan sangat baik, sehingga sang paman membatalkan menuntut Sultan.

"Tapi ..." Hanna menarik napasnya dalam, takut menyuarakan isi hatinya di hadapan Leo. "Aku tidak bisa."

"Kenapa, Hanna? Dia tidak pantas untukmu, aku berani bertaruh jika banyak lelaki di luar sana yang menginginkan cintamu." Leo berkata penuh kesungguhan, Hanna terisak.

"Posisinya sekarang aku lagi hamil, Leo. Aku tidak bisa berpisah dalam waktu yang dekat." Di sela isakkan Hanna menyampaikan alasannya.

Mengusap puncak kepala Hanna, Leo lega mendengarnya. Jika sudah seperti ini tidak ada alasan bagi Leo untuk memendam perasaan terlalu lama. Hanna juga sudah putuskan keinginan berpisah, itu pilihan yang tepat. Hanya saja Hanna harus menunggu sampai melahirkan. Bagi Leo itu tidaklah lama.

"Aku bersumpah, Hanna, akan selalu menjagamu sampai waktu itu tiba." Dengan mantap Leo berikrar di depan Hanna langsung. "Tidak aku biarkan Sultan melukaimu lagi, semampunya aku menjaga hati dan dirimu."

Hanna menatap wajah serius Leo, dia sangat terharu mendengar itu semua. "Oh, Leo. Aku sangat berterima kasih."

Di balik tembok Marlina mengintip, dan menyaksikan semua. Leo dengan Hanna berpelukan seperti pasangan kekasih. Tidak hanya melihat, Marlina juga mendengarkan semua pembicaraan keduanya. Wanita itu menghela napas, terlalu banyak ujian yang menimpanya belakangan ini. Marlina tidak tahu harus berada di pihak siapa. Sultan atau Hanna?

Arimbi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang